Oleh YUSUF BURHANUDIN
SETIAP tanggal 10 Zulhijah, umat Islam merayakan Iduladha berupa ritus penyembelihan hewan kurban. Namun begitu, hari raya kurban hendaknya tidak sebatas dimaknai rutinitas tahunan ritual penyembelihan hewan kurban, pembagian daging, dan “nyate” sepuasnya. Perlu penghayatan dan pemaknaan kontekstual antarzaman sehingga umat tidak terjebak berlomba sebatas peningkatan kuantitas kurban yang cenderung meningkat signifikan dalam setiap tahunnya, tetapi tanpa diiringi peningkatan kualitas mental pengorbanan umat di lain pihak.
Perenungan luhur dari warisan syariat paling tua tersebut memesankan misi ilahiyah agama dalam rangka memberdayakan kehidupan manusia (al-hayah al-insaniyyah).
Berbeda dengan umat Islam Indonesia yang lebih “meramaikan” Idulfitri, bagi Muslim di Timur Tengah, hari ini justru disebut Hari Raya Agung (kubra). Sebaliknya, hari Idulfitri dinilai Hari Raya Kecil (sughra).
Mula-mula tradisi kurban berasal dari keluarga Nabi Adam a.s. saat menitahkan kedua anaknya, Habil dan Qabil, berkurban. Hanya kurban Habil yang diterima Allah sementara kurban Qabil tertolak. Hal itu berakhir dengan pertumpahan darah. Inilah pembunuhan pertama di muka bumi, ketika seorang saudara tega membunuh saudaranya sendiri. Tragedi ini mengingatkan, manusia yang berkorban demi kepentingan nafsu bukan saja ditolak Allah, juga menyisakan kegetiran “mengorbankan” manusia lain. Hilangnya ketulusan vertikal kurban memiliki konsekuensi menciptakan dunia kanibalisme, seorang manusia tega memangsa manusia lain (Homo homini lupus).
Allah lalu meneladankan tradisi kurban melalui klan Ibrahim a.s. yang diperintahkan menyembelih putra kesayangannya, Ismail. Ibrahim menghadapi dilema; menyelamatkan putranya dan mengingkari Allah atau mengorbankan putranya demi titah-Nya. Menurut Ali Syariati (1997), Ismail tersebut, sesungguhnya simbol setiap sesuatu yang melemahkan iman, menghalangi perjalanan, dan memikirkan kepentingan sendiri. Ismail hanya simbol manusia, benda, pangkat, kedudukan, dan kelemahan diri. Ismail adalah simbol istri, pekerjaan, keahlian, kepuasan nafsu seksual, kekuasaan, dan lainnya. Semua kelemahan inilah yang harus disembelih dan dikorbankan demi mencapai kurban (kedekatan) diri kepada Allah.
Pada masa Nabi Muhammad saw., tradisi kurban menjadi penyembelihan hewan. Nabi saw. menetapkan syariat ini sesuai akar katanya, qaruba-yaqrabu-qurbanan, berarti persembahan hewan atau binatang tertentu (hayawanin makhshushin) yang disembelih pada waktu tertentu (waqtin makhshushin) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (Tabyin Al-Haqaiq, jilid 6, hal. 2).
Selain mendekatkan diri kepada Allah, tujuan disyariatkan kurban adalah dalam rangka bersyukur atas nikmat Allah. Ada empat nikmat besar yang dikaruniakan Allah yang wajib disyukuri. Pertama, penciptaan manusia dalam sebaik-baik bentuk (ahsan taqwim), (Q.S. At-Tin [95]: 4). Kedua, pengangkatan manusia sebagai khalifah di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30). Ketiga, karunia anggota tubuh. Keempat, nikmat iman dan Islam. Orang yang tidak bersyukur atas empat nikmat besar itu, disebut yang terputus (al-abtar). Mereka terputus dari nikmat Allah, nikmat Islam, dan berkah-Nya. Bisa jadi harta dan kekayaan banyak, namun tak berfaedah apa-apa dalam kehidupan. Inilah ciri orang yang terputus dari berkah Allah karena tidak mau salat dan berkurban.
Kurban menjadi titik pemberangkatan (inthilaq) hidup seorang Muslim untuk berikutnya mengabdi kepada sesama. Pengkhianatan misi ini, berarti pengkhianatan misi agama itu sendiri untuk memberdayakan manusia. Nabi memperingatkan, “Barang siapa memiliki kelapangan (harta) namun tidak berkurban, janganlah mendekati tempat salat kami!” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Baihaqi). Penghardikan Nabi ini, peringatan keras betapa seseorang “dianggap” sia-sia sekali pun tekun beribadah di masjid jika kering empati dan simpati pada penderitaan orang lain. Alquran bahkan menyebut mereka pendusta agama (Q.S. Al-Ma`un [107]: 1-3).
Begitu luhur spirit kurban, selain mengandung muatan vertikal-spiritual di mana niat kurban mesti karena Allah, juga bakti horizontal-sosial berupa pendistribusian daging kurban kepada kaum fakir dan miskin. Ini isyarat, konsekuensi mendekatkan diri kepada Allah adalah solidaritas sosial memberdayakan kaum miskin papa (mustadh`afin). Sekalipun demikian, bukan darah dan daging hewan kurban yang sampai kepada-Nya. Firman-Nya, “Darah dan daging kurban sama sekali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan kamulah yang dapat menggapainya.” (Q.S. Al-Hajj [22]: 37).
Berkurban tidak sekadar memotong dan mengalirkan darah hewan, lebih dari itu bermakna setelah kurban vertikal usai dilakukan, seiring darah mengalir dari hewan kurban sejatinya mengalir dalam setiap nadi dan jiwa pekurban mentalitas dan spirit pengorbanan horizontal berupa “penyembelihan” syahwat, egoisme, dan kepentingan kelompok demi menjunjung tinggi misi ilahi untuk memberdayakan sesama. Guru berkurban dengan ilmunya, pengusaha berkurban dengan harta kekayaan, politisi berkurban demi kemaslahatan umum, pemimpin berkurban dengan mendahulukan kepentingan rakyat banyak, dan seterusnya. Ketakwaan sosial inilah, sebagai misi utama kurban, yang berikutnya diharapkan tumbuh pascakurban.***
Penulis, alumnus Universitas Al-Azhar Mesir, staf pengajar STAIPI Garut.