Oleh: Achmad Faisal
Hari Raya Iedul Adha adalah hari raya umat Islam yang seolah ingin menunjukkan ke seluruh umat manusia di seluruh dunia, bahwa umat Islam adalah satu, saling menghargai, membantu, dan peduli satu sama lain. Penyembelihan hewan qurban yang dagingnya dibagikan kepada seluruh umat Islam, meniscayakan pada hari itu semua umat Islam di seluruh dunia harus berbahagia, bahkan termasuk orang miskin sekalipun.
Praktik ritual ibadah qurban yang paling tertanam dalam benak umat manusia adalah praktik penyembelihan hewan qurban. Sebagai sebuah ritual, praktik penyembelihan ini tidak bisa digantikan dengan praktik lain, semisal mengurbankan dalam bentuk uang maupun hewan di luar hewan qurban yang sudah ditetapkan. Namun tentu saja kita bisa mencari makna dibalik simbol ritual penyembelihan tersebut. Makna dari simbol penyembelihan hewan qurban, bisa diartikan sebagai sebuah upaya untuk menyembelih ego dan kesombongan diri manusia, yang tujuannya adalah meraih derajat keikhlasan.
Sejarah Qurban
Hampir setiap umat dalam zamannya memiliki ritual qurban. Allah SWT berfirman:“Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (Qs. Al Hajj: 34).
Ibadah qurban dimulai sejak zaman Nabi Adam as, yang dipraktikkan oleh kedua anaknya, Qabil dan Habil. Namun Allah hanya menerima ibadah qurban dari Habil. Sementara ibadah qurban Qabil tidak diterima Allah SWT. Kenapa qurban Qabil tidak diterima Allah? Penyebabnya adalah karena Qabil tidak mau menyembelih ego dan kesombongannya, sehingga ia hanya mau mengurbankan harta paling jelek yang dimilikinya. Ia merasa hartanya merupakan hasil jerih payahnya sendiri, sehingga ketika Allah menyuruhnya untuk berqurban, egonya mendorong dia untuk mengurbankan barang dengan kualitas rendah. Sementara Habil berhasil menyembelih egonya sehingga memberikan qurban kepada Allah dengan harta berkualitas tertinggi yang dia miliki.
Peribadahan qurban ini kemudian dipraktikkan oleh Nabi Ibrahim, dimana yang harus diqurbankan adalah anak kesayangannya sendiri, Ismail a.s. Ismail adalah anak yang kelahirannya sudah ditunggu sekian lama oleh Ibrahim, dan ketika Ismail sudah mulai beranjak dewasa, justru Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelihnya. Tentu saja hal ini sangat berat dilaksanakan, namun keberanian Ibrahim dan Ismail untuk menyembelih ego dan kesombongannya, mendorong keduanya secara ikhlas melaksanakan perintah Allah tersebut.
Peribadahan Qurban kemudian dilanjutkan di zaman Nabi Muhammad SAW. Ibadah qurban di zaman Nabi terakhir ini memiliki aturan-aturan syariat, sebagai sebuah ibadah mahdloh (ritual). Allah SWT berfirman:
Aturan itu meliputi jenis hewan qurban dan klasifikasinya, waktu penyembelihan, serta ibadah-ibadah lain yang melingkupinya, seperti Ibadah haji, Shaum Arafah, Takbiran, hingga Shalat Iedul Adha. Ritual Ibadah qurban ini berlaku bagi seluruh umat Islam hingga akhir zaman. Dasar dari pensyariatan ibadah qurban ini adalah firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Hajj:36-37: “Dan telah Kami jadikan untuk kamu, hewan-hewan itu sebagai bagian dari syi’ar-syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika menyembelihnya dalam keadaan berdiri (Dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang menjaga diri dan orang yang meminta-minta. Demikianlah telah Kami tundukkan hewan-hewan itu untuk kamu agar kamu bersyukur. Tidak akan sampai kepada Allah, daging dan darahnya, tetapi yang akan sampai hanyalah ketaqwaan kamu. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah atas hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Sembelih Ego
Makna dari simbol ritual ibadah qurban ini adalah bagaimana umat Islam mampu menyembelih ego dan kesombongannya demi melaksanakan perintah tersebut. Mungkin sebagian orang dengan cukup mudah mampu menyisihkan hartanya untuk berqurban. Namun yang agak sulit adalah bagaimana umat Islam ini secara ikhlas melaksanakan ritual-ritual lain yang melingkupinya. Ketaatan kepada seluruh ritual secara kosisten, tanpa dikurangi dan dilebihi, inilah yang dituntut dari umat Muhamad, sebagai manivestasi dari keberaniannya menyembelih ego dan kesombongannya dan sebagai bukti ketaqwaan kepada Allah SWT.
Bagi bangsa Indonesia, ritual penyembelihan hewan qurban bukan hal yang sulit dan sudah mampu dilaksanakan dengan baik. Para pequrban setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Namun yang menjadi masalah kemudian bagaimana ibadah qurban ini tidak berhenti pada sebatas ritual saja, sleanjutnya adalah bagimana umat Islam di Indonesia mampu menyembelih ego dan kesombongannya sehingga segala aktivitasnya senantiasa berada pada nilai-nilai moral yang diridhoi Allah SWT.
Penguasa yang kurang peka terhadap kebutuhan rakyatnya, politisi korup, penegak hukum yang tidak adil, serta masyarakat yang kehilangan moralitas, adalah bentuk betapa bangsa Indonesia ini belum mampu menyembelih ego dan kesombongannya masing-masing. Takut kehilangan harta, jabatan, dan pengaruh membuat mayoritas anak bangsa begitu berani melanggar aturan, mempermainkan hukum, mengkriminalisasi orang yang tidak bersalah, menghukum yang lemah, dan membebaskan serta melindungi kekuatan bermodal besar. Moralitas menjadi hanya di atas kertas, nilai-nilai agama dan ketuhanan hanya ada di tempat ibadah, serta perilaku merusak lainnya adalah sebuah bukti bahwa bangsa ini belum mampu menyembelih ego dan kesombongannya sendiri, sehingga Tuhan hanya dijadikan sebagai alat untuk mempercantik image dan kesucian dirinya. Tuhan hanya menjadi tameng untuk melindungi kebobrokan dirinya.
Raih Keikhlasan
Rasulullah SAW bersabda“Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Hadits di atas menunjukkan betapa penting pelaksanaan ibadah qurban, walaupun hukumnya tidak sampai kepada wajib. Ibadah qurban juga bisa dianggap sebagai latihan menumbuhkan keikhlasan. Orang yang terbiasa berqurban ia akan terlatih untuk secara ikhlas menunjukan kepeduliannya untuk berbagi terhadap sesama.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu-bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah –sebagai qurban– di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya”. HR. Ibn Majah dan Tirmidzi.
Bangsa ini butuh pemimpin yang ilkhlas, bangsa ini butuh politisi yang ikhlas, bangsa ini butuh penegak hukum yang ihklas, bangsa ini butuh rakyat yang juga ikhlas. Individu-individu ikhlas inilah yang dibutuhkan oleh bangsa ini untuk bisa segera keluar dari kubangan krisis yang berkepanjangan.
Ikhlas, yang berasal dari bahasa Arab, secara bahasa bermakna “Membersihkan setelah sebelumnya kotor.” Ikhlas bukan berarti menyerah, ikhlas bukan berarti gratis, ikhlas adalah suatu proses. Proses pembersihan diri untuk menuju pribadi yang bersih, kontributif, dan produktif. Untuk menjadi pribadi-pribadi ikhlas ada beberapa langkah yang bisa ditempuh:
Pertama, Bersihkan diri. Aktivitas manusia tidak akan terlepas dari perilaku , pikiran, atau sikap yang kotor, baik disengaja maupun tidak. Membersihkan diri dengan konsisten terhadap perilaku kotor seperti iri, dengki, curang, tidak jujur, korup, menipu, menginjak bawahan dan menjilat atasan, adalah langkah pertama untuk menjadi seorang yang ikhlas.
Kedua, Perbesar diri. Artinya, seorang muslim harus terbiasa menerima pekerjaan-pekerjaan besar diluar aktivitas rutinnya. Tidak cukup jika kita mampu bersih sendirian, harus ada upaya untuk mengajak dan melindungi lingkungan dari kekotoran-kekotoran yang tadi disebutkan. Pemimpin yang bersih saja tidak cukup. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang mampu dan berani membersihkan lingkungan yang kotor. Terbiasa menerima pekerjaan besar, terbiasa memberikan lebih baik dari yang seharusnya, terbiasa mengorbankan diri untuk kepentingan orang banyak, bahkan berani mengorbankan citra diri, jabtan, dan kekuasaannya, jika memang dibutuhkan demi kepentingan yang lebih besar. Memperbesar diri artinya bersedia menerima pekerjaan-pekerjaan mulia tanpa harus selalu melalui hitung-hitungan transaksional
Ketiga, Harumkan diri. Setelah diri menjadi bersih dan besar, maka langkah selanjutnya adalah mengharumkan diri. Mengharumkan diri maksudnya adalah bagaimana seorang muslim mengisi hidupnya dengan melakukan hal-hal yang membahagiakan dan menguntungkan orang lain. Menolong, membantu, membangun, dan memberdayakan masyarakat akan membuat nama orang yang melakukannya menjadi harum.
Seorang muslim yang ikhlas adalah seorang yang dirinya bersih, terpanggil untuk berkontribusi membersihkan lingkungan sekitarnya, serta secara produktif melakukan aktivitas-aktivitas yang membangun dan memberdayakan. Perilaku muslim seperti inilah yang akan melahirkan individu yang ikhlas sebagai puncak tertinggi dari praktik ibadah qurban.
Ibadah qurban sudah semestinya melahirkan banyak kebaikan, sebagaimana yang disimbolkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” HR. Ahmad dan ibn Majah.
Simbol setiap helai bulu dan rambut itu satu kebaikan, mesti kita turunkan secara aplikatif dalam kehidupan kita sehari-hari. Qurban hendaknya mampu melatih kita untuk senantiasa menyebarkan kebaikan kepada seluruh penghuni bumi. Tentu hal ini berlaku bagi siapapun dalam profesi apapun. Kebaikan itu harus dirasakan oleh siapapun bahkan apapun yang berinteraksi dengan kita sebagai seorang muslim.
Jikalau pemimpin, politisi, penegak hukum, dan rakyat di negeri ini menyadari hal ini, sudah selayaknyalah Hari Raya Iedul Adha 1430 H kali ini menjadi momentum kebangkitan bangsa dan negara Indonesia, karena para pelaksana negeri ini mampu menyembelih ego dan kesombongannya, mampu menyebarkan kebaikan, mampu secara ikhlas mengorbankan kepentingan dirinya untuk meraih suatu kebahagiaan dan kesuksesan hakiki, yaitu di saat bertemu Allah SWT dengan hati yang damai (Qolbun Salim).