Loading...

09 March 2010

FatahKun

Perbedaan Tingkatan Orang yang Iman dalam Amal

Oleh : KH. Ikin Shodikin

Dari Abi Sa’id Al-Khudri r.a. dan Nabi SAW bersabda :”Ahli surga akan masuk surga dan ahli neraka akan masuk neraka. Kemudian Allah Ta’ala berfirman :” Keluarkanlah oleh kamu (Malaikat ) orang yang dalam hatinya ada keimanan seberat biji sawi”. Kemudian mereka dikeluarkan darinya sungguh telah menjadi hitam. Kemudian dilemparkan ke dalam sungai “Al-Hayat” , maka mereka bermunculan darinya seperti munculnya (tumbuh) biji-bijian dipinggir sungai. Apakah kamu tidak melihat bahwasanya dia muncul kekuning-kuningan yang menarik penglihatan (yang melihatnya) “,

Pada hadits ini dijelaskan bahwa pada hari kiamat nanti ketika setiap orang telah masuk ketempatnya masing-masing, di surga dan di neraka. Maka di antara orang beriman ada yang kadar dan nilai imannya tidak memenuhi syarat untuk menjadi ahli surga. Berarti mereka termasuk yang diungkapkan dalam Alquran “Khaffat mawazinuhu“, ringan timbangan amal baiknya. Oleh karenanya adzabunnar ini merupakan kaffarah , penghapus dosa sehingga pada waktunya dia memenuhi syarat ahli surga dan mereka mendapat sebutan “Aljahannaniyyun “.

Hadits ini mengungkapkan perbedaan tingkatan’ahli iman dalam amalnya, juga menunjukkan keutamaan iman, bahwa sekecil dan seberat apapun keimanan itu akan bermanfaat bagi pemiliknya. Hadits ini pun menguatkan penjelasan yang telah lalu. bahwa amal ” Baik ” yang dilakukan oleh seseorang tidaklah dinilai disisi Allah, seandainya amal baik itu tidak ada sandaran pokok yaitu keimanan. Oleh karenanya jelas sekali bahwa pengertian adanya hisaban itu hanya diberlakukan kepada orang yang ada dasar keimanan.

Sehubungan dengan hadits diatas, Abdullah bin mas’ud mengatakan : “Mereka diberi cahaya sesuai dengan amal mereka, diantara mereka ada yang diberi cahaya pohon kurma dan ada yang diberi cahaya seperti orang yang berdiri dan yang paling rendah adalah yang diberi cahaya pada ibu jarinya, sewaktu-waktu(seperti) padam dan kemudian menyala lagi “. Riwayat ini tiada lain mengungkapkan orang yang paling rendah derajat amal karena rendah kadar dan nilai keimananya. Jika mereka taubat dan mendirikan salat maka lepaskan perjalanannya.

Dari lbnu umar r.a. bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga mereka mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasulullah, mendirikan salat dan menunaikan zakat, Apabila mereka melakukan yang demikian, maka terpelihara darah dan harta mereka dari ancamanku kecuali dengan haq Islam sedangkan hisabannya terserah kepada Allah”.

Sebagaimana yang telah diungkap dalam Al-Qur’an, bahwa dengan diutusnya Rasulullah yang terakhir, ada tiga kelompok manusia yang mensikapinya; mu’min , kafir dan munafiq.

Hal itu akan berlangsung sampai yaumalqiyamah.

Oleh karena itu, ketika Rasulullah Saw. wafat sudah mulai timbul sikap dari sebagian mereka yang menampakkan kekufuran setelah sekian lama mereka sembunyikan. Di antaranya ialah penolakan pembayaran zakat kepada para petugas khalifah. Mereka beralasan bahwa zakat sudah tidak berlaku dan tidak wajib lagi, karena yang dituntut untuk mengambil zakat sudah wafat. Mereka beralasan dengan kata “Khudz” ambilah olehmu. Dlamir “Khudz” itu adalah Rasulullah Saw., maka setelah beliau wafat berarti tidak ada yang berhak untuk mengambil zakat.

Abubakar r.a. sebagai Khalifah mengambil tindakan tegas dengan cara memerangi mereka, beliau beralasan kepada yang mengingkari tindakannya, bahwa zakat itu merupakan haq Islam, dan beliau bukan memerangi yang tidak membayar zakat tetapi memerangi orang yang menolak hukum zakat. Umar bin Al-Khathab setelah mendengar alasan khalifah, menerima alasannya, karena hal itu hakikatnya adalah merupakan penjelasan dari Rasulullah Saw.

Pada hadits di atas, diungkapkan kata “Umirtu” , saya diperintah. Apabila yang mengungkapkannya Rasulullah Saw, berarti yang memerintah itu adalah Allah. Sebab hakikat perintah ialah tuntutan dari atasan kepada bawahan. Demikian pula apabila yang mengungkapkan hal itu shahabat, maka yang memerintah adalah Rasulullah Saw.

Kata “Uqatilu” merupakan pengembangan dari kata “Alqatlu” berarti pembunuhan. Namun apabila “Uqatilu” mengandung arti perang.

Pembunuhan adalah salah satu perbuatan yang diharamkan oleh Islam. Sedang perang yang sifatnya membela diri diizinkan. Sebagaimana diketahui, bahwa perang baru disyari’atkan pada tahun kedua hijrah.

Jika demikian jelaslah perbedaan “Alqatlu dengan Alqitalu“. Alqatlu bukan alqitalu, namun dalam alqitalu mungkin terjadi alqatlu.,

Alqitalu bisa mengandung pengertian perang dengan senjata, anggota badan, dan lisan. Sebab alqitalu berarti adanya dua pihak yang berhadapan sebagai alat untuk mencapai dan atau mempertahankan haknya.

Oleh karenanya ungkapan “Uqatilu” pada hadits diatas mengandung arti “jihad” secara muthlaq. Sebab apabila uqatilu diartikan perang, mustahil ada ungkapan berikutnya “Hatta yashadu…” sehingga mereka mengaku…. Dengan ungkapan yang akhir ini, jelaslah bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. adalah qital denga lisan dalam pengertian da’wah, tabligh, mengajak.

Hatta yasyhadu, merupakan ungkapan secara dhahir, dalam arti apabila seseorang mengikrarkan syahadatain, maka secara dhahir dia adalah muslim. Manusia tidak dituntut mengetahui sesuatu yang bersifat qalbiyyah, karena hal itu hanya Allah yang tahu.

Ungkapan yuqimusbalata dan yutuzakata, secara khusus diungkapkan, hal itu mengandung kemungkinan keduanya mewakili ibadah badaniyyah dan maliyah. Dan sebagaimana dima’lumi bahwa dalam Al-Qur’an keduanya senantiasa diungkapkan secara bersamaan.

Apabila demikian kenyataannya, maka orang yang secara dhahir menyatakan dan mewujudkan seperti yang diungkapkan dalam hadits ini, maka mereka haram diganggu baik harta, darah dan kehormatannya.
Kutipan dari : pwk persis