Loading...

06 March 2010

FatahKun

Pendidikan Salah Arah?

Pendidikan di Indonesia saat ini cenderung salah arah. Karena orientasi utamanya kerja dan dunia, segala cara pun dihalalkan, termasuk sogok sana-sini dan memahalkan biaya pendidikan dengan cara yang tidak manusiawi. Karena orientasinya hanya duniawi, pesantren dan madrasahpun kehilangan sentuhannya disebabka anak didik terlalu fokus ke UN (Ujian Nasional). Karena orientasi yang sekuler, perguruan tinggi agama pun, kalau tidak gulung tikar, berjalan seadanya, atau yang lebih parah, penuh dengan pemikiran-pemikiran yang menggugat agama itu sendiri.

Pendidikan menurut al-Attas tercakup dalam istilah ta'dib, yakni sebuah aktivitas yang mencakup unsur-unsur ilmu ('ilm ), instruksi ( ta'lim ), dan pembinaan yang baik ( tarbiyah ). ta'dib berarti tidak hanya menciptakan manusia yang pintar semata, tetapi juga beradab dan mampu membangun peradaban. Sementara menurut Dedeng Rosidin pendidikan tercakup dalam istilah tarbiyah, sebuah kegiatan pendidikan yang bernilai ketuhanan dan menyeluruh, baik jiwa dan raganya, akal dan perasaannya, perilaku dan kepribadiannya, bakat, minat, dan potensinya, sikap dan pemahamannya, dan lain sebagainya.

Ini bearti bahwa pendidikan yang dimaksudkan oleh Islam bukanlah pendidikan yang menceraiberaikan potensi otak (kognitif), sikap (afektif), ataupun mental (psikomotorik), melainkan menyatukan kesemuanya. Sehingga sangat tidak sesuai dengan Islam jika pendidikan hanya diarahkan agar anak didik cerdas, sementara dalam sikap dan mental sangat menyimpang. Demikian juga, yang hanya mengajarkan bagaimana bersikap baik tapi hampa dengan kecerdasan. Atau yang unggul dalam seni, mempunyai daya empati yang tinggi, tapi ia tidak cerdas dan tidak beretika. Dan yang lebih penting dari itu semua, pendidikan dalam Islam ditujukan agar manusia semakin menghamba kepada Rabbnya. Itulah mengapa dalam wahyu pertama, ketika Allah menyuruh manusia mencari ilmu dan melakukan aktivitas pendidikan, dicamkan bismi rabbikal-ladzi khalaq ; dengan nama Rabbmu yang telah menciptakan. Artinya, semua potensi dalam pendidikan, pengajaran dan pencarian ilmu haruslah dilandasi dengan nilai-nilai ketuhanan.

Lalu bagaimana fakta pendidikan yang ada hari ini? kita dengan sangat mudah akan menemukan bahwa masyarakat memahami pendidikan itu dengan satu tujuan ; kerja. Yang ada dibenak sebagian besar masyarakat jika membicarakan pendidikan sangat dipastikan satu kata ; kerja. Karena orientasinya yang sekularistik/duniawi, akibatnya kita melihat bahwa segala cara pun menjadi halal untuk dilakukan. Banyak sekali orang tua yang berani menyogok pihak sekolah agar anaknya diberi bocoran jawaban ujian, atau agar anaknya bisa diterima dengan mudah di sekolah yang bersangkutan, atau agar anaknya bisa dinaikkan disetiap penghujung taunnya. Padahal perilaku-perilaku seperti itu jelas telah mencederai makna pendidikan itu sendiri.

Pihak lembaga pendidikan pun tidak mau lagi untuk memasang tarif tinggi yang cenderung tidak manusiawi karena pasar peminatnya sangat tingi. Efeknya, bukan kualitas peserta didik yang menjadi pertimbangan utama penerimaan, melainkan kemampuan financial dari calon peserta didik yang bersangkutan.

Mencari ilmu dan keterampilan agar mahir dalam bekerja memang bukan sesuatu hal yang salah. Yang salah adalah ketika orientasinya menjadi sangat sekularistik, sangat duniawi, sehingga mengabaikan nilai-nilai ilahi.  

Belum lagi sederatan fakta dimana anak-anak didik sangat menjunjung tinggi hedonisme (budaya glamour), permisifisme (budaya serba boleh), dan konsumersime dibanding nilai-nilai religiusitas. Itu adalah akibat dari keringnya nilai-nilai rabbaniyyah dalam pendidikan di Indonesia. Pendidikan agama yang ada dalam jadwal terlalu sedikit porsinya. Pendidikan ilmu-ilmu umum pun cenderung berorientasi materi semata, logis empiris saja, sehingga tidak terlalu merta menjadikan anak didik lebih dekat dengan tuhannya. Kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler justru lebih terarah pada pembenaran hedonisme, permisifisme, dan konsumerisme.

Hal tersebut tidak hanya mutlak terjadi pada sekolah umum semata. Sekolah-sekolah berbasis agama pun, semisal pesantren dan madrasah mengalami hal serupa. Bahkan masih ditambah hal yang lain, yakni sindrom UN (Ujian Nasional). Sindrom UN tersebut telah menyebabkan sekolah-sekolah berbasis agama, khususnya pesantren dan madrasah cenderung kehilangan sentuhannya. Karena yang menjadi orientasi utama santri - termasuk orang tua santri - bukan lagi keagamaan, melainkan ilmu-ilmu umum. Walaupun itu tidak terlalu salah, akan tetapi mengingat pesantren fokusnya pada ilmu keagamaan, maka gejala seperti di atas bisa dikatakan telah menghilangkan sentuha khas pesantren.

Di level perguruan tinggi, gejala keringnya nilai-nilai pendidikan seperti di singgung di atas lebih kentara lagi terjadi. Perguruan tinggi agama yang sangat sepi peminat adalah fenomena lain yang memperburuk potret pendidikan di Indonesia. Faktornya, ada yang karena memang ditinggalkan masyarakat yang cenderung sekularistik, ada juga yang karena pada faktanya perguruan tinggi agama banyak yang tidak professional, para stafnya bekerja tidak sepenuh hati, dan tidak dengan keikhlasan yang tinggi. Biangnya, lagi-lagi oirientasinya yang anti-ukhrawi.

Yang lebih parah lagi, banyak di antara perguruan tinggi agama itu  yang malah menelorkan lulusan-lulusan yang merusak agamanya. Lulusan usbuluddin malah semakin tidak yakin dengan agamanya. Lulusan syari'ah bukannya semakin bersemangat menegakkan syari'at Islam, melainkan semakin banyak yang merusak syari'at Islam. Dari fakultas Dakwah, lulusan-lulusannya bukan malah didominasi oleh da'i-da'i yang berkualitas denga semangat juang yang tinggi, melainkan orang-orang yang matre dan baru mau berjuang kalau ada bayaran yang jelas.

Semua itu, harus menjadikan umat Islam berani untuk melakukan restrospeksi terhadap pendidikan yang selama ini dilangsungkan. Ada apa gerangan dengan pendidikan di Indonesia? Mengapa pendidikan saat ini cenderung salah arah?