Loading...

29 March 2010

FatahKun

Ketaqwaan



Perintah Shaum disebutkan dalam surat Al-Baqarah 183. Dalam kaidah tanâsub al-âyât (keterkaitan antar satu ayat dengan ayat lainnya), ibadah shaum dimaknai sebagai konsep pararel yang Allah sediakan untuk menghantarkan manusia pada derajat ketaqwaan selain sholat, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah yang diakhiri dengan ‘Iedaini (dua hari raya ‘Ied) adalah Ibadah shaum dan haji. ‘Iedul Fithri dalam pandangan umum dimaknai sebagai hari ketika semua orang gembira bersua dengan sanak keluarga; berbahagia dalam sebuah kesempatan ketika semua saling memaafkan atas kekhilafan dan ketika seseorang merasa telah lahir kembali (re-birth) dalam keadaan suci. Memang, itu semua tidak salah, karena demikian realitasnya. Bahkan Nabi Muhammad Saw., bersabda, “Barang siapa yang shaum Ramadhan dengan penuh kesungguhan dan keimanan, ia akan kembali lahir dalam kesucian seperti ketika dilahirkan ibunya” (HR. Muttafaq ‘alaih). Persoalannya bagaimana menempatkan re-birth yang dimaksud dalam konteks kekinian dan tidak berhenti sampai pada makna yang begitu personal? Tulisan di bawah ini akan melihat beberapa ayat dalam surat Al-Baqarah mengenai hakikat ketaqwaan seperti yang menjadi tujuan dari ibadah shaum ramadhan.


Al-Baqarah dan Truth Klaim
Taqwa memiliki makna luas dan mendalam yang banyak disebut dalam Al-Quran dengan berbagai dimensi dan derivasinya. Namun dalam Al-Baqarah, makna taqwa harus diletakkan dalam visi besar surat Al-Baqarah itu sendiri yang berbicara tentang ‘latar belakang masalah’ Islam diturunkan di tengah banyaknya pengubahan, penambahan, dan bahkan penambahan millah tauhid oleh Yahudi dan Nasrani. Pararel dengan surat sebelumnya, Al-Fâtihah, yang memberikan tiga prototype manusia yaitu orang yang tercurah nikmat, dimurkai Allah, dan yang tersesat di jalan-Nya (QS. Al-Fatihah, 1:7). Sehingga demikian, Nabi di utus untuk kembali menyempurnakan millah ini hingga menjadi pedoman teguh bagi manusia hingga kiamat.

Dalam surat Al-Baqarah, terdapat banyak ayat yang mencela klaim kebenaran yang diperdebatkan oleh Yahudi dan Nashrani. “Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata, api neraka tidak akan menyentuh kami kecuali untuk beberapa saat” (QS. 2:80); “Katakanlah Muhammad, jika Darul Akhirat milik Allah itu diciptakan secara khusus untuk kalian (Nashrani dan Yahudi), maka harapkanlah kematian jika kalian benar” (QS. 2: 95); bahkan mengenai klaim kitab suci yang masih otentik Allah berfirman, “Tidaklah kami hapus satu ayat atau kami jadikan (manusia) lupa padanya, kecuali kami datangkan yang lebih baik darinya atau sebanding dengannya. Apakah kalian tidak mengetahui (jika Dia mengganti satu kitab dengan kitab lainnya itu menunjukkan) bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. 2:106). Mengenai klaim siapa di antara mereka yang berhak masuk surga, Allah berfirman, “Dan mereka berkata, sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali Yahudi atau Nashrani” (QS.2:111). Karena terus terjebak dalam klaim kebenaran yang tanpa ujung–seperti yang terjadi saat ini, “Orang-orang Yahudi hingga mengatakan, orang-orang Nashrani tidak memiliki pegangan, demikian juga orang-orang Nashrani berkata, orang-orang Yahudi tidak memiliki pegangan, padahal kedua-keduanya telah membaca Al-Kitab. (Biarlah mereka begitu), sebab Allah yang akan mengadili apa yang mereka perselisihkan tentang hal tersebut”. (QS.2:113).

Fakta mengatakan bahwa sampai saat ini, orang Yahudi dan Nashrani tidak pernah akur mengenai klaim orisinalitas kitab suci mereka. Orang Yahudi mengatakan bahwa injil (perjanjian lama dan baru) yang ada pada orang Kristen dan Katolik saat ini merupakan kitab palsu yang berisi banyak bajakan dari tangan pengkhianat Judaisme, Paulus (Saul) dari Tarsus. Sebaliknya, orang Nashrani balik menyerang Yahudi dengan menantang agar orang Yahudi mendatangkan naskah orisinal Torah (Taurat) yang ditulis Musa jika benar-benar mereka memilikinya saat ini. Penemuan kontemporer pada 1947 mengenai The Dead Sea Scroll (Naskah perjanjian lama) yang berumur lebih dari 2000 tahun di Gua Qumran, Padang Yudea sebelah timur Yerusalem, begitu menghebohkan kedua agama samawi ini. Namun setelah empat dekade sejak penemuannya, banyak rahasia gulungan itu disembunyikan oleh kelompok kecil sarjana yang memegang hak eksklusif atas dokumen tersebut. Barulah pada September 1991, gulungan itu difoto secara diam-diam (dicuri) kemudian disebar melalui pos ke seluruh wilayah negeri itu.

Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, beberapa naskah gulungan Qumran yang berbahasa Ibrani berbeda jauh dengan naskah Masoret –kitab perjanjian lama yang paling tua yang ditulis sekitar tahun 1005 M. Hal ini mengundang pertanyaan besar, apakah para Masoret yang terkenal teliti itu kurang teliti, ataukah teks Qumran menunjukkan sebagai versi Bible Ibrani lain yang berbeda dengan bible yang dipakai sekarang? Selain itu, naskah Qumran ini menunjukkan kepada kita fakta bahwa Yudaisme abad pertama memiliki persamaan dengan Kristen awal. Sementara itu tidak ada satu kitab pun dari Perjanjian Baru versi konsili Nicaea pada 325 M, yang tertulis dalam naskah Qumran.

Lalu apa kaitannya dengan Ramadhan dan ‘Iedul Fithri? Allah mengingatkan agar umat Islam jangan pernah terjebak di tengah perang klaim kebenaran yang sedang berkecamuk. Benar bahwa seorang muslim dituntut untuk meyakini kebenaran agamanya, bahwa agama yang ia yakini dapat mengantarkannya ke pintu surga hingga ia hidup kekal dalam naungan rahmat-Nya. Ini merupakan harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar bahkan termasuk akidah yang ditegaskan dalam surat berikutnya, Ali Imran 19. Namun demikian, Allah SWT mengingatkan kita sebagai muslim agar keluar menjadi “pembukti kebenaran”, bukan sekedar “pengaku kebenaran”.

Di antara muslim yang terjebak wacana truth claim Yahudi-Nashrani dan berada di belakang cita-cita besar kedua agama samawi itu, Arkoun dan Nashr Hamd Abu Zayd adalah orang yang berada pada garda paling depan. Arkoun mengatakan bahwa studi al-Qur’an sangat ketinggalan dibanding dengan studi Bibel (Quranic studies lag considerably behind biblical studies to which they must be compared). Bahkan ia sangat menyayangkan jika sarjana Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristian. Nâshr Hâmd Abû Zayd bahkan meyakini, hermeunetik adalah satu-satunya jalan untuk melakukan dekonstruksi Al-Quran dan menyatakan secara agnostik bahwa sakralitas Al-Quran sudah bergeser saat diterima dan disampaikan Nabi Muhammad Saw. Berseberangan dengan mereka para revivalis melakukan pembelaan habis-habisan terhadap ejekan dua sarjana di atas hingga kadang melebihi batas-batas keilmuan.

Alih-alih menghadirkan kebenaran, jebakan truth claim –entah ia berada pada pluralis atau fundamentalis, justru memberikan peluang-peluang bagi revivalis untuk ‘memojokkan agama’ dalam bayangan teror fanatisme yang menyeramkan sebagai antitesa terhadap liberalisme yang kian hari semakin tidak terkendali. Kebenaran itu harus dihadirkan sehingga mampu mengatasi realitas hidup yang penuh tantangan. Dalam Al-Baqarah 148, Allah SWT menegaskan, “Bagi tiap-tiap ummat (yahudi, nashrani, dan muslim) ada kiblatnya sendiri yang ia menghadap padanya, maka berlomba-lombalah dalam berbagai macam kebaikan. Dari mana saja kalian berada, Allah akan mengumpulkan kalian pada hari kiamat, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Ayat ini mengingatkan bahwa menghadirkan kebenaran harus melampaui klaim identitas an sich hingga tidak melacurkan hakikat dari kemusliman sejati (taqwa) yang sebenarnya lebih dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendesak hari ini.

Agenda Ketaqwaan Hari Ini!
Kemusliman sejati terletak pada “intannya” surat Al-Baqarah, yaitu ayat 177. Allah berfirman, “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat yang disebut dengan kebajikan, akan tetapi yang disebut kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, dan kepada para nabi. (Yang disebut kebajikan itu juga) memberikan harta kepada yang membutuhkannya di antara kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil (yang sedang dalam perjalanan), para peminta, (dan mengentaskan) perbudakan. (Termasuk juga kebajikan) mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan orang-orang yang memenuhi janji apabila ia berjanji, dan orang-orang yang bersabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan orang-orang yang bertaqwa”. Ayat ini mengajarkan kepada kita tujuan dari disyari’atkannya Shaum Ramadhan, yaitu mencetak generasi taqwa, sebuah generasi yang tidak sekedar menjadi generasi “pengaku kebenaran”, namun melampaui itu semua menjadi generasi “pembukti kebenaran”.

Alumnus ramadhan seharusnya memahami bahwa ketaqwaan tidak terletak pada tujuan yang bersifat artifisial. Benar bahwa shaum menjadi sah ketika seseorang tidak makan, minum, dan tidak melakukan hubungan intim sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Namun jika berhenti pada batasan tersebut, ramadhan tidak akan mengantarkan seorang muslim menjadi alumnus yang bertaqwa. Rasul bersabda, “Banyak diantara orang yang shaum yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali haus dan dahaga”. Ketaqwaan kita tidak berhenti pada musyahadah (persaksian) tentang kebenaran Islam. Ketaqwaan menuntut kita untuk menghadirkan kebenaran itu sendiri. Dalam riwayat ‘Aisyah, ketika ia ditanya mengenai akhlak Rasulullah, ia menjawab, “Rasulullah adalah quran berjalan”. Sebagai orang yang paling bertaqwa dan takut pada Allah, beliau berhasil menghadirkan kebenaran hingga terinternalisasi di lubuk orang yang sedang diajak bicara, bergaul dengannya, memandangnya, dan setelah wafat sekalipun. Dalam sebuah riwayat, diceritakan ada seorang nenek-nenek buta miskin dari golongan Yahudi yang begitu membenci beliau. Nabi selalu menyuapinya tanpa diketahui oleh si nenek bahwa yang menyuapinya adalah Muhammad, sesosok manusia yang paling ia benci. Tanpa pamrih dan penuh kesabaran beliau suapi si nenek yang selalu mengeluarkan cacian dan makian itu. Setelah Rasul wafat, tugas suci itu digantikan oleh Abu Bakar. Namun si nenek merasa bahwa cara Abu Bakar menyuapinya sangat berbeda dengan kelembutan orang yang biasa menyuapinya. Ia pun bertanya, “ke manakah perginya orang yang biasa menyuapiku?” Abu Bakar menjawab, “Beliau telah wafat”. Si nenek merasa sedih dengan kesedihan yang mendalam, kemudian ia pun bertanya tentang namanya agar ia bisa mendoakannya dengan penuh khusyu. Abu Bakar menjawab, “Ia adalah Muhammad Rasulullah”. Si nenek terkulai lemas. Dengan bergetar, ia pun mengucap syahadah.

Alumnus Ramadhan seharusnya menjadi muslimin yang beriman kepada Allah, taat pada Rasul, mencintai sesama, amanah, penuh tanggung jawab dengan janjinya, serta bersabar dalam himpitan kehidupan. Sebab setiap kali shaum, ia meniatkan shaumnya untuk Allah dan menjalankannya sesuai aturan dan syariat yang Rasul contohkan. Kemudian ia pun merasakan bagaimana lapar dan haus seperti yang setiap hari dirasakan oleh saudara-saudaranya yang miskin. Selama kurang lebih 14 jam, ia pun diajarkan untuk berlaku jujur dan amanah sebab hanya dia dan Allah yang tahu bahwa ia sedang shaum. Selain itu, ia pun dididik untuk menghindari makanan halal yang didapatkan dengan cara yang dilarang.

Namun saat ini justru kita menyaksikan orang-orang “muslim” yang kontraproduktif dengan idealitas ketaqwaan. Di antara orang yang mengaku “muslim”, masih banyak yang rela menumpahkan darah gara-gara persoalan material dan artifisial; saling tikam gara-gara rebutan pacar, warisan, hingga sengketa tanah. Di antara “muslim” masih banyak yang tidak amanah terhadap jabatannya; mengkorup uang Negara, saling sikut urusan pilkada, dan mengobral janji ketika kampanye. Di antara “muslim” yang menjadi PNS dan karyawan swasta, masih banyak yang tidak produktif dalam bekerja, meluangkan banyak waktu untuk relaksasi dan seringkali makan gaji buta. Diantara “muslim” yang mayoritas miskin, masih banyak yang sudah tidak bisa bersabar dalam himpitan kehidupan hingga menghalalkan segala cara dengan menjadi pencuri, penipu, penjambret, pelacur, penjudi, aksi bunuh diri, stress, hingga parade kemiskinan di setiap sudut stopan. Di antara “muslim” yang dianugerahi kepintaran di sudut-sudut kampus, masih banyak yang tejebak pada klaim kebenaran hingga ia berkubang dalam sudut fanatisme yang tak berujung, entah menjadi fundamentalis atau liberalis.

Seandainya orang muslim sadar tugas sejati dari kemuslimannya ini, segera saja Islam sebagai rahmatan lil al-‘âlamîn hadir di setiap sudut di mana saja kita berada. Wa Allahu ’a-lamu