Loading...

18 February 2010

FatahKun

Di Balik Politik Kesetaraan??

Henri Shalahuddin, MA

Sejak perempuan melakukan tugas naturalnya yang harus hamil, melahirkan dan menyusui, pola hidup mengembara akhirnya harus terhenti. Lalu memaksa manusia belajar menetap dan “menguasai” alam sebagai tempat tinggalnya. Peradaban atau hadharah berakar kata dari hadhara yang berarti hadir, tidak ghaib, menetap, eksis dan tidak menghilang.

Islam datang untuk membebaskan perempuan dari belenggu ketidakadilan, eksploitasi, marjinalisasi dan diskriminasi. 

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun” (QS. 4:124). 

Maka tingkat keberimanan seorang hamba tidak diukur dari kelelakiannya maupun kewanitaannya. Sebaliknya, mereka harus akur dan saling tolong menolong menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan ilmu dan adab, serta segala bentuk kemungkaran sosial lainnya menjadi tanggung jawab bersama, laki-laki dan perempuan. Kewajiban memerangi ketimpangan sosial dan meningkatkan SDM dalam Islam tidak difokuskan pada jenis kelamin tertentu. 

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya” (QS. 9:71)

Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan merupakan dasar ajaran Islam. Sebab pada prinsipnya, segala perintah dan larangan Allah (taklif) ditujukan kepada laki-laki dan perempuan. Taklif ini bersifat umum dan mutlak, sampai ada nash khusus lainnya yang mengecualikannya secara jelas. Imam Ibn Rusyd yang hidup di Cordova (595H/1198M) pun dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menjelaskan: “Laki-laki dan perempuan itu setara, karena pada awalnya hukum keduanya adalah satu, sampai ditetapkannya pengecualian syar’i yang menjelaskan hal itu”. Ibn Hajr al-’Asqalani (852H) juga menjelaskan dalam kitab Fathul Bari bahwa wanita itu adalah saudara kandung (setara) laki-laki dalam hukum, kecuali jika ada pengkhususan.

Maka tidak ada satu pun ulama di sepanjang zaman yang mengatakan bahwa perintah melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji, sedekah, menuntut ilmu dan mencegah kemungkaran hanya ditujukan untuk laki-laki. Namun, hal ini tidak berarti bahwa dalam Islam itu tidak ada perintah, larangan, hak dan kewajiban yang dikhususkan bagi laki-laki atau perempuan saja. Sebab, seperti yang sudah jamak diketahui bahwa dalam syariah terdapat beberapa pengecualian, misalnya dalam masalah persaksian (syahadah), batasan aurat, bagian waris, dst. Adanya pengecualian tersebut tidak berarti Islam merendahkan martabat perempuan atau memarjinalkannya. Sebab kedudukan jenis kelamin (karakter biologis) dan gender (sifat, peran, posisi dan tanggung jawab) antara laki-laki dan perempuan tidak dipandang secara dikhotomis (terpisah dan dipertentangkan antara satu dan lainnya). Sebaliknya, Islam memandangnya secara integral dan komprehensif. Hal ini dibuktikan dengan adanya konsep keluarga, takaful (saling menopang) dan ta’awun (cooperation). Konsep-konsep dalam Islam ini berbeda dari cara pandang individualistik-emosional yang menuntut kesetaraan secara empirik dan kwantitatif.

Maka terkait dengan masalah pengecualian hukum, hak dan kewajiban, seorang Muslim tidak diperkenankan “berijtihad” untuk merombaknya dengan dalih doktrin feminisme maupun kesetaraan gender. Atau mengakali hukum Tuhan melalui metode kritik sejarah, manhaj tadriji (metode tahapan), teori al-maskut ‘anhu (yang tak terkatakan), dst. Metode-metode tersebut mengandaikan bahwa adanya pengecualian hukum, hak dan kewajiban dalam Islam (seperti masalah persaksian, waris, batasan aurat, dst), lebih disebabkan faktor sejarah dan kondisi sosial masyarakat Arab yang patriarkal saat turunnya wahyu. Sehingga –dalam dugaannya-, turunnya QS. 4:11 yang mengesankan adanya perbedaan waris, lebih disebabkan ketidaksiapan masyarakat Arab yang patriarkal kala itu untuk menerima “kesetaraan gender”. Maka di kalangan feminis, QS. 4:11 ditafsirkan sebagai tahapan awal untuk menuju kesetaraan mutlak, dimana bagian waris laki-laki dibatasi dan perempuan mendapatkan hak warisnya. Karena tidak ada lagi ayat maupun hadits yang menjelaskan kesamaan kwantitas hak waris ini, maka dimunculkanlah teori al-maskut ‘anhu. Dengan teori ini, mereka menduga bahwa nantinya, Tuhan sebenarnya ingin menyamakan bagian waris. Namun karena kondisi sosial masyakat Arab saat itu yang didominasi laki-laki, maka “ayat” waris berbasis gender, akhirnya belum terwahyukan hingga Nabi Muhammad wafat.

Trik mengakali ayat-ayat al-Qur’an yang qath’i (final) dan sharih (explicit) seperti ini hanya dikembangkan oleh mereka yang terpengaruh akal-akal ateistik Posmodernis Barat dan berdampak serius terhadap konsep wahyu dalam Islam. Pertama, Kehendak Tuhan ditundukkan pada realitas sejarah dan konsensus publik. Dimana Tuhan seolah-olah dianggap “tidak sempat” memfirmankan keinginan-Nya untuk menyamakan bagian waris anak laki-laki dan perempuan, karena realitas sosial yang patriarkal saat itu belum mengizinkan turunnya wahyu berbasis gender. Kedua, memisahkan wahyu dari asal-usul ketuhanan. Sehingga al-Qur’an dipandang sebatas pengalaman lokal dan temporal yang dihasilkan Nabi beserta sahabatnya dalam merespon problem bangsa Arab kala itu. Maka metode memahami al-Qur’an pun harus mengikut realitas sosial yang berkembang. Ketiga, kontekstualisasi ayat-ayat qath’i yang bersandar pada sejarah akan berdampak hilangnya sisi mu’jizat kebahasaan (i’jaz lughawi) al-Qur’an. Akhirnya, setiap pemaknaan terhadap lafaz al-Qur’an dijauhkan dari makna kebahasaannya, bahkan selalu permisif untuk disusupi berbagai makna praduga dan aneka purba sangka.

Di beberapa perguruan tinggi Islam, ternyata tafsir feminis dan pendekatan kritik sejarah seperti ini sudah di-nash-kan dalam kurikulum untuk memahami al-Qur’an. Tujuannya untuk memastikan adanya evolusi syariah melalui metode-metode di atas. Sebenarnya kebijakan seperti ini merupakan aplikasi kejahilan dalam memandang kultur Barat dan Islam. Seolah-olah umat Islam memiliki problem yang sama dengan apa yang dialami Barat, sehingga solusinya pun harus mengadopsi dari pengalaman Barat.

Dalam skala nasional, konsep kesetaraan gender secara empirik-kwantitatif dijadikan sebagai indikator pembangunan manusia (Human Development Index, HDI). Perkembangan selanjutnya, konsep kesetaraan gender harus diikutsertakan dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan nasional. Sejurus kemudian bermunculan berbagai tuntutan porsi perempuan di bidang politik, ekonomi, tenaga kerja, struktur pemerintahan, dsb. Pola pikir feminis seringkali hanya mempertimbangkan kepentingan kalangan elitis perempuan. Kerja mereka Cuma mengompori kaum wanita untuk dijadikan batu pijakan dalam memenuhi ambisinya. Dalam mengevaluasi keberhasilan dunia politik misalnya, akal feminis biasanya akan memfokuskan kwantitas keterwakilan perempuan di kursi DPR minimal 30%. Lagi-lagi jenis kelamin dulu yang dilihat, bukan kapasitas dan kapabilitasnya.

Ketika menyikapi carut marutnya penanganan bencana alam, seperti kurang sigapnya pemenuhan kebutuhan anak dan perempuan, lagi-lagi akal feminis akan menuduh bahwa ini semua gara-gara pemerintah tidak mengakui perempuan sebagai kepala rumah tangga. Demikian halnya saat menyikapi tingginya angka kemiskinan dan buta huruf, akal feminis pun hanya melongok prosentase perempuan yang miskin buta huruf. Bangsa ini lalu diprovokasi seolah-olah telah terjadi pemiskinan dan pembodohan terhadap kaum perempuan. Seperti sebuah slogan yang diusung dalam sebuah acara perkumpulan perempuan pada 14-18 Desember 2009 lalu, “Perempuan Indonesia: Menghapus Pemiskinan dan Kekerasan.”

Selanjutnya, giliran agama dan “fundamentalisme” yang dituding sebagai biang diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap wanita. Bahkan dalam rangka memperjuangkan HAM kaum waria dan lesbian, mereka tidak segan-segan menuding siapa saja yang tidak setuju dengan perilaku homoseksual dikategorikan sebagai kelompok fundamentalis yang homophobia. Pemerintah juga dinilai tidak bijak, bahkan sangat diskriminatif, karena tidak menjamin keamanan, kesehatan dan peningkatan SDM para pelaku homoseksual.

Fenomena kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan diakui memang terjadi di sebagian oknum umat beragama. Tentunya, ini lebih dipicu oleh rendahnya taraf kesejahteraan hidup dan pendidikan dan berdampak luas ke semua sektor kehidupan. Pelaku ketidakadilan tidak saja laki-laki, tapi juga perempuan. Anehnya, feminisme hanya memerangi ketidakadilan yang dialami perempuan, tapi mengabaikannya jika korbannya adalah laki-laki. Sebab pada dasarnya, feminisme bukanlah ideologi yang memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Karena di era masyarakat yang modern ini, laki-laki dan perempuan sudah mendapatkan hak dan peluang yang setara. Maka perjuangan wanita untuk berkarier misalnya, hendaknya tidak terkesan jahil aplikatif yang terfokus pada tuntutan porsi kwantitas. Tapi harus mengarah pada hal-hal yang lebih substantif, seperti jaminan keselamatan, cuti haid, penambahan masa cuti melahirkan, penyediaan ruang khusus bagi wanita yang menyusui, tidak membebani dengan jam kerja yang ketat dan lain-lain yang menjamin terbinanya rumah tangga dan tumbuhnya generasi yang sehat. Wallahu a’lam wa ahkam.