Di samping isu pendidikan, iptek, ekonomi, dan politik, perhatian dunia saat ini juga tertuju pada perubahan iklim secara global. Perubahan iklim ini terjadi dari tahun ketahun secara signifikan hingga mencapai titik menghawatirkan seperti saat ini. Walau perubahan iklim secara alamiah akan terjadi, namun sejak abad ke 18, perubahan iklim secara cepat dipicu oleh ulah tangan manusia atau biasa disebut perubahan iklim antropogenik. Tidak kurang dari 90 persen, tangan manusia telah menyumbangkan perubahan iklim tersebut. Dan sebagai dampaknya, suhu di permukaan bumi mengalami peningkataan atau biasa disebut pemanasan global.
Di antara pemicu utama perubahan iklim ialah berasal dari emisi gas buangan yang dihasilkan oleh bahan bakar yang digunakan manusia berupa bahan bakar posil, minyak, batu bara dan gas. Berbagai bahan bakar tersebut menghasilakn gas buangan berupa karbon dioksida(Co2) yang secara alami menamabah kadar Co2 alami yang ada pada atmosfer bumi. Dalam kadarnya yang tertentu, karbon dioksida yang ada berfungsi menghangatkan permukaan bumi dengan menahan cahaya matahari yang masuk agar tidak terpantul kembali ke luar atmosfer. Namun dalam jumlah yang berlebihan, Co2 tersebut dapat menigkatkan suhu permukaan bumi hingga menyebabkan pemanasan global.
Setelah terjadinya peningkatan tempratur yang diakibatkan jumlah karbon yang berada di atmosfer melebihi kadar alami, di samping dampak pemanasan global, selanjutnya akan terjadi dampak ikutan di antaranya berupa perubahan curah hujan, naiknya permukaan laut akibat mencairnya es di kutub, perubahan amplitudo waktu antara siang dan malam, serta sederet dampak lainnya. Dampak-dampak tersebut terus terjadi dan semakin parah jika emisi gas buang terus dibiarkan tak terkendali.
Tidak hanya di udara, jutaan kubik karbon juga terserap oleh laut dan berakibat buruk bagi ekosistem laut. Dari penelitian yang ada, penyerapan karbon oleh laut akan menyebabkan keasaaman laut meningkat. Salah satu akibat penyerapan ini yaitu akan merusak kemampuan laut dalam menyediakan komposisi kimia agar binatang laut dapat membuat cangkang dan skelekton.
Laporan PBB menyebutkan, tiak kurang dari 25% gas buangan yang dihasilkan manusia di darat akan terserap oleh laut dan menyebabkan asam karbon. Dan sebagai dampaknya akan terjadi reaksi berantai yang mengancam kehidupan laut. Menurut laporan tersebut, perubahan keaasaman laut 100 kali lebih cepat dari perubahan keaasaman laut alami yang terjadi selama 20 juta tahun. Dengan kondisi seperti ini, diperkirakan pada 2100 mendatang, tidak kurang dari 70% karang yang ada di lautan akan mengalami kerusakan.
Salah seorang ilmuan senior pada Institut Riset Moterey Bay Aquarium mempertegas, jumlah karbon yang terserap laut saat ini yaitu sekitar 530 milyar ton. Dan perubahan keasaman laut sebagai dampaknya akan terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah karbon yang terserap.
Selain itu, perubahan iklim dan lingkungan juga dipicu oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas buangan lainnya yaitu berupa nitro oksida atau disebut juga gas tawa. Berdasarkan riset, gas tawa ini dapat membahayakan manusia dan lingkungan berupa perusakan lapisan ozon. Lapisan ozon yang berada di atmosper befungsi melindungi manusia, hewan, dan tumbuhan dari terpaan sinar ultraviolet dari matahari. Jika lapisan ozon menipis, kerusakan pada hewan dan tumbuhan akan terjadi sedangkan pada manusia akan menyebabkan terjadinya kangker pada jaringan kulit.
Karbon nitrooksida ini dihasilkan oleh berbagai aktifitas manusia seperti dampak sampingan dari penggunaan pupuk pada pertanian, kotoran hewan, pembakaran sampah, air selokan dan gas buangan industri. Berdasar penelitian para ahli, walau pun gas nitro oksida ini 1/60 kurang berbahaya dari penggunaan CFC yang telah dilarang sejak tahun 80-an, namun sebanya 10 juta ton gas nitro oksida ini dihasikan oleh aktifitas manusia setiap tahunya. Dengan jumlah sebanyak itu, dan kemungkinan akan terus meningkat, para ahli memperkirakan bahayanya seimbangang dengan pengunaan CFC.
Masih banyak kerusakan-kerusakan lingkungan lain yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia baik di darat maupun di lautan. Kerusakan ini mungkin akan terus terjadi selama manusia tidak menyadarkan dirinya untuk menjaga lingkungan. Baru-baru ini sekitar tanggal 7 bulan Desember yang lalu, sekitar 192 pejabat penting dari barbagai Negara berkumpul dalam sebuah KTT yang diadakan di Kopenhagen Denmark. Konprensi tingkat tinggi tersebut sengaja digelar untuk membicarakan dan mencari kesepakatan prihal perubahan iklim dan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh emisi gas buangan secara global.
Negara-negara tersebut mencoba berkomitmen untuk perubahan iklim yang lebih baik. Namun sayangnya, dari beberapa kali KTT tentang perubahan iklim dan lingkungan yang pernah diselenggarakan, belum tercatat hasil yang memuaskan dan emisi gas buangan semakin meningkat tiap tahunnya. Umpamanya, setelah diadakan Konfrensi Tingkat Tinggi perubahan iklim untuk pertama kalinya tahun 1992 di Rio de Janeiro Berasil, kemudian yang kedua di Jepang pada tahun 1997 dengan menghasilkan Protokol Kioto, Amerika masih tercatat sebagai penghasil emisi terbesar kedua di dunia dengan jumlah 15,5 persen emisi gelobal atau setara dengan 6.087 metrix ton Co2. Disusul Cina dengan menempati posisi pertama sebesar 20,7 persen atau setara dengan 8.106 mertix ton Co2. Terbesar ketiga penghasil emisi global ialah Uni Eropa sebesar 11,8 persen atau setara dengan 4. 641 metrix ton Co2. Selanjutnya adalah India sebesar 1. 963 metrix ton Co2. Jepang sebanyak 1. 293 metrix ton Co2, dan diikuti oleh Negara-negara seperti Aprika, Negara-negara teluk, serta Negara-negara kecil lainnya.
Disamping jumlah emisi global yang terus meningkat dari tahun ketahun serta lemahnya komitmen pada KTT-KTT sebelumnya, yang paling mengecewakan adalah KTT di Kopenhagen kali ini pun dikabarkan mengalami kegagalan untuk mewujudkan komitmen bersama yang tegas. Kegagalan pertemuan Kopenhagen terliahat nyata pada menit-menit terakhir saat pemimpin AS, Cina, India, Berasil, Afrika Selatan, serta Negara-negara besar Eropa menjangjikan akan membayar dana 100 juta dolar AS bagi Negara-negara miskin yang menanggung beban akibat pemanasan global. Selain itu, terjadi pula aksi saling tuduh antar anggota konprensi tersebut hingga akhirnya KTT tersebut berakhir dengan sengat tidak memuaskan.
Demikian gonjang-ganjing itu terjadi dalam KTT tersebut. Seolah mereka tidak peduli dengan kerusakan lingkungan yang terjadi, komitmen mereka tidak secara tegas san serius akan menyelesaikan masalah lingkungan. Bahkan, mereka terus mengeksploitasi dan menodai alam hanya untuk meraih keuntungan yang bersifat ekonomis semata. Hal ini sungguh menghawatirkan apalagi jika kenyataan ini terus dibiarkan, maka lingkungan akan semakin tercemar.
Bila fenomena pencemaran lingkungan sebagai mana diatas kita telisik lebih jauh, ternyata hal tersebut memiliki kaitannya yang erat dengan pandangan keagamaan atau idiologi tertentu. Salah seorang Profesor dari Universitas Hawaii yang menekuni peran agama dalam mengatasi beberapa krisis budaya dan lingkungan yaitu Graham Parker, menyatkan dalam salah satu teorinya bahwa pandangan keagamaan atau idiologi satu masyarkat tertentu sangat mempengaruhi sikap dan prilaku terhadap lingkungannya. Teori ini mirip dengan teori Max Weber tentang pengaruh pandangan agama atau idiologi tertentu terhadap prilaku manusia. Weber mengatakan bahwa konsep keagamaan sangat menentukan sikap ekonomi suatu masyarakat. Sebagai contoh, Weber menggambarkan bagaimana semangat kapitalisme tumbuh di Barat sebagai akibat dari pandangan keagamaan dalam etika Protestan.
Untuk menguatkan teorinya, Parker menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi merupakan akibat penggunaan produk teknologi modern secara besar-besaran. Ia meyakini bahwa dibalik kerusakan-kerusakan yang terjadi saat ini tersimpan pandangan-pandangan keagamaan serta idiologi tertentu yang berperan sebagai pendorong dan pemicu kearah yang tidak bersahabat pada alam dan lingkungan. Dalam hal ini ia mengemukakan dua alur pemikiran mendasar sebagai landasan utama terbentuknya world view (sikap dan pandangan) manusia modern. Landasan tersebut menurutnya yang pertama adalah latar belakang filsafat Platonik yang menganggap alam nyata (pshycal world) tak berwujud dalam kaitannya dengan alam rasional manusia. Yang kedua adalah ajaran Yahudi-Kristen yang menempatkan alam dan lingkungan posisi yang lebih rendah dari martabat manusia.
Selain itu, kedua landasan tesebut juga semakin diperkuat oleh teori-teori modern seperti halnya apa yang dikemukakan Descrates yang menyatakan jangankan pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, binatang sekalipun tidaklah bernyawa. Disamping itu Newton juga mengatakan bahwa alam ini tidak lain hanyalah kumpulan-kumpulan partikel tanpa nyawa. Dengan pandanga-pandangan semacam diatas, maka wajar saja manusia-manusia modern memperlakukan alam yang ada diluar dirinya hanya sebagai objek untuk mencapai kenikmatan-kenikmatan sementara dan memenuhi hawa nafasu.
Parker mempertegas, baik itu landasan filosofis, idiologis, ataupun agama yang dianut pada gilirannya akan menjadi watak pada penganutnya yang mempengaruhi sikap dan pandangan mereka dalam memperlakukan alam semesta. Oleh karena itu ia mengajak segenap kalangan untuk mempromosikan dan menjadikan ide agama sebagai salah satu solusi untuk mengatasi pencemaran lingkungan yang bersifat global ini.
Ditengah keperihatinan terhadap pencemaran lingkungan yang terjadi saat ini dan harapan terhadap agama sebagaimana terlihat diatas, sebagai muslim menarik kiranya bila kita menohok lebih dalam terhadap agama kita tentang bagaimana kiranya Islam menberikan solusi dalam hal ini. Jauh sebelum pencemaran lingkungan yang memperihatinkan seperti saat ini terjadi, Islam telah memberikan landasan bagaimana manusia mesti memposiskan dirinya terhadap alam. Dr. Alwi Shihab dalam salah satu bukunya menjelaskan bagaimana Islam (al-Qur’an) membeikan landasan tersebut. Ia menyebutkan, dalam al-Qur’an terdapat dua kosep sebagai acuan dalam membina interaksi manusia dengan alam. Dua konsep tersebut menurutnya yaitu taskhir dan istikhlaf . Taskhir berarti manusia diberi wewenang untuk menggunakan alam guna mencapai tujuan penciptaanya sesuai dengan tuntunan Ilahi. al-Qur’an menegaskan, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dengan sia-sia. Itu anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena akan masuk neraka .”
Adapun istikhlaf, yaitu bekaitan dengan penugasan Tuhan kepada manusia sebagai khilafah di bumi ini. Dalam hal ini, Allah SWT menggaris bawahi bahwa hubungan antara manusia dengan alam tidak bersifat menaklukan, tetapi menciptakan interaksi harmonis dan kebersamaan dengan alam dalam ketaatan pada Allah. Alam bukanlah musuh manusia yang mesti ditaklukan sebagai mana dalam mitos Yunani. Alam sejajar dan senasib dengan manusia dalam ketundukannya pada Allah. Tidak hanya manusia, alam pun mengagungkan Tuhan walau pun manusia tidak dapat memahaminya(QS 57: 1; 59: 61;13:13). Selain alam, binatang melata, unggas, dan makhluk-makhluk yang ada di air semuanya itu mengaggungkan Allah seperti halnya manusia. “Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dikumpulkan.”
Pada ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung; tetapi semua enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khwatir tidak akan melaksanakanya (berat), lalu dipikulah amanat itu oleh manusia. Sungguh manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh” (QS 33: 72). “Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Ia berfirman kepadnya dan kepada bumi, ‘Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa’. Keduanya menjawab, kami datang dengan patuh” (QS 41: 11). “Dan carilah (pahala)negri akhirat dengan apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu, tetapi jangalah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi, sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan di bumi (QD 28: 77).”
Demikian Islam memberikan landasan yang asasi kepada manusia dalam menentukan sikapnya terhadap alam. Alam semesta sama seperti halnya manusia memiliki kewajiban untuk ta’at terhadap Allah. Bedanya, manusia dengan kesanggupannya diberi tugas lebih yaitu sebagai pemimpin (khalifah) di bumi ini namun tidak secara otomatis dengan kelebihan tersebut manusia dapat berlaku sewenang-wenang terhadap alam. Karena Islam mengajarkan, perlakuan semena-mena terhadap alam (berbuat kerusakan), termasuk perbuatan zalim yang akan diperhitungkan di akhirat kelak, sama seperti halnya perlakuan zalim terhadap manusia.
Dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagaimana diatas, nyatalah Islam sangat memperhatikan keserasian hubungan antara manusia dan alam. Hal ini tiada lain ditujukan agar tidak terjadi gangguan terhadap sistem ekologi. Oleh karena itu, Islam akan mampu memberikan landasan yang dapat mengatur sikap dan prilaku manusia agar tidak berlaku semena-mena terhadap alam karena Islam diturunkan sebagai rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam. Huallohu ‘Alam..