Loading...

02 November 2009

FatahKun

Perang Badar (bagian 3)

Serentak  pihak  Muslimin menyerbu kedepan, masih dalam jumlah
yang lebih kecil dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah
penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Sudah bukan mereka lagi
yang membunuh musuh, sudah bukan mereka lagi yang menawan
tawanan perang. Hanya karena adanya semangat dari Tuhan yang
tertanam dalam jiwa mereka itu kekuatan moril mereka
bertambah, sehingga kekuatan materi merekapun bertambah pula.
Dalam hal ini firman Allah turun:

"Ingat, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: 'Aku
bersama kamu.' Teguhkanlah pendirian orang-orang beriman itu.
Akan kutanamkan rasa gentar ke dalam hati orang-orang kafir
itu. Pukullah bagian atas leher mereka dan pukul pula setiap
ujung jari mereka." (Qur'an, 8: 12)

"Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah
juga yang telah membunuh mereka. Juga ketika kau lemparkan,
sebenarnya bukan engkau yang melakukan itu, melainkan Tuhan
juga." (Qur'an, 8: 17)

Tatkala Rasul melihat bahwa Tuhan telah melaksanakan janjiNya
dan setelah ternyata pula kemenangan berada di pihak
orang-orang Islam, ia kembali ke pondoknya. Orang-orang
Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang tidak
terbunuh dan tak berhasil melarikan diri, ditawan.

Inilah perang Badr, yang kemudian telah memberikan tempat yang
stabil kepada umat Islam di seluruh tanah Arab, dan yang
merupakan suatu pendahuluan lahirnya persatuan seluruh
semenanjung di bawah naungan Islam, juga sebagai suatu
pendahuluan adanya persekemakmuran Islam yang terbentang luas
sekali. Ia telah menanamkan sebuah peradaban besar di dunia,
yang sampai sekarang masih dan akan terus mempunyai pengaruh
yang dalam di dalam jantung kehidupan dunia.

Bukan tidak mungkin orang akan merasa kagum sekali bila
mengetahui, bahwa, meskipun Muhammad sudah begitu mengerahkan
sahabat-sahabatnya dan mengharapkan terkikisnya musuh Tuhan
dan musuhnya itu, namun sejak semula terjadinya pertempuran ia
sudah minta kepada Muslimin untuk tidak membunuh Banu Hasyim
dan tidak membunuh orang-orang tertentu dari kalangan
pembesar-pembesar Quraisy, sekalipun pada dasarnya mereka akan
membunuh setiap orang dari pihak Islam yang dapat mereka
bunuh. Dan jangan pula orang mengira, bahwa ia berbuat begitu
karena ia mau membela keluarganya atau siapa saja yang punya
pertalian keluarga dengan dia. Jiwa Muhammad jauh lebih besar
daripada akan terpengaruh oleh hal-hal serupa itu. Apa yang
menjadi pertimbangannya ialah, ia masih ingat Banu Hasyim dulu
yang telah berusaha melindunginya selama tigabelas tahun sejak
mula masa kerasulannya hingga masa hijrahnya, sampai-sampai
Abbas pamannya ikut menyertainya pada malam diadakan ikrar
'Aqaba. Juga jasa orang lain yang masih kafir di kalangan
Quraisy di luar Banu Hasyim yang menuntut dibatalkannya piagam
pemboikotan, yang oleh Quraisy dia dan sahabat-sahabatnya
dipaksa tinggal di celah-celah gunung, setelah semua hubungan
oleh mereka itu diputuskan. Segala kebaikan yang telah
diberikan oleh mereka masing-masing oleh Muhammad dianggap
sebagai suatu jasa yang harus mendapat balasan setimpal, harus
mendapat balasan sepuluh kali lipat. Oleh karena itu oleh
Muslimin ia dianggap sebagai perantara bagi mereka
masing-masing selama terjadi pertempuran, meskipun di kalangan
Quraisy sendiri masih ada yang menolak pemberian pengampunan
itu seperti yang dilakukan oleh Abu'l-Bakhtari - salah seorang
yang ikut melaksanakan dicabutnya piagam. Ia menolak dan
terbunuh.

Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah lari tunggang langgang.
Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata mereka
tertumbuk pada salah seorang kawan sendiri, karena rasa
malunya ia segera membuang muka, mengingat nasib buruk yang
telah menimpa mereka semua.

Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badr. Kemudian
mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan
sebuah perigi besar mereka semua dikuburkan. Malam harinya
Muhammad dan sahabat-sahabatnya sibuk di garis depan
menyelesaikan barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga
terhadap orang-orang tawanan. Tatkala malam sudah gelap
Muhammad mulai merenungkan pertolongan yang diberikan Tuhan
kepada Muslimin yang dengan jumlah yang begitu kecil telah
dapat menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai
kekuatan iman selain membanggakan jumlah besarnya saja. Dalam
ia merenungkan hal ini, pada waktu larut malam itu
sahabat-sahabatnya mendengar ia berkata:

"Wahai penghuni perigi! Wahai 'Utba b. Rabi'a! Syaiba b.
Rabi'a! Umayya b. Khalaf! Wahai Abu Jahl b. Hisyam! ..." -
Seterusnya ia menyebutkan nama orang-orang yang dalam perigi
itu satu satu. "Wahai penghuni perigi! Adakah yang dijanjikan
tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu dengan apa yang
telah dijanjikan Tuhanku."

"Rasulullah, kenapa bicara dengan orang-orang yang sudah
bangar?" kata kaum Muslimim kemudian bertanya.

"Apa yang saya katakan mereka lebih mendengar daripada kamu,"
jawab Rasul. "Tetapi mereka tidak dapat menjawab."

Ketika itu Rasulullah melihat ke dalam wajah Abu Hudhaifa ibn
'Utba. Ia tampak sedih dan mukanya berubah.

"Barangkali ada sesuatu dalam hatimu mengenai ayahmu, Abu
Hudhaifa"? tanyanya.

"Sekali-kali tidak, Rasulullah," jawab Abu Hudhaifa. "Tentang
ayah, saya tidak sangsi lagi, juga tentang kematiannya. Hanya
saja yang saya ketahui pikirannya baik, bijaksana dan berjasa.
Jadi saya harapkan sekali ia akan mendapat petunjuk menjadi
seorang Islam. Tetapi sesudah saya lihat apa yang teriadi, dan
teringat pula hidupnya dulu dalam kekafiran, sesudah makin
jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya
sedih."

Tetapi Rasulullah menyebutkan yang baik tentang dia serta
mendoakan kebaikan baginya.

Keesokan harinya pagi-pagi, bila Muslimin sudah siap-siap akan
berangkat pulang menuju Medinah, mulailah timbul pertanyaan
sekitar masalah harta rampasan, buat siapa seharusnya. Kata
mereka yang melakukan serangan: kami yang mengumpulkannya;
jadi itu buat kami. Lalu kata yang mengejar musuh sampai pada
waktu mereka mengalami kehancuran kalau tidak karena kami,
kamu tidak akan mendapatkannya. Dan kata mereka yang mengawal
Muhammad karena kuatir akan diserang musuh dari belakang: kamu
sekalian tak ada yang lebih berhak dari kami. Sebenarnya kami
dapat memerangi musuh dan mengambil harta mereka, ketika tak
ada suatu pihakpun yang akan melindungi mereka. Tetapi kami
kuatir adanya serangan musuh kepada Rasulullah. Oleh karena
itu kami lalu menjaganya.

Tetapi kemudian Muhammad menyuruh mengembalikan semua harta
rampasan yang ada ditangan mereka itu, dan dimintanya supaya
dibawa agar ia dapat memberikan pendapat atau akan ada
ketentuan Tuhan yang akan menjadi keputusan.

Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan Zaid b. Haritha ke
Medinah guna menyampaikan berita gembira kepada penduduk
tentang kemenangan yang telah dicapai kaum Muslimin. Sedang
dia sendiri dengan sahabat-sahabatnya berangkat pula menuju
Medinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang telah
diperolehnya dari kaum musyrik, dan diserahkan pimpinannya
kepada Abdullah b. Ka'b.

Mereka berangkat. Sesudah menyeberangi selat Shafra', pada
sebuah bukit pasir Muhammad berhenti. Di tempat ini rampasan
perang yang sudah ditentukan Allah bagi Muslimin itu dibagi
rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa pembagian kepada
mereka itu sesudah dikurangi seperlimanya sesuai dengan firman
Allah:

"Dan hendaklah kamu ketahui, bahwa rampasan perang yang kamu
peroleh, seperlimanya untuk Tuhan, untuk Rasul, untuk para
kerabat dan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang
terlantar dalam perjalanan, kalau kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan pada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami
pada hari yang menentukan itu, hari, ketika dua golongan itu
saling berhadapan. Dan atas segala sesuatu Allah Maha Kuasa."
(Qur'an, 8: 41)

Sebahagian besar penulis-penulis sejarah Nabi berpendapat,
terutama angkatan lamanya - bahwa ayat tersebut turun sesudah
peristiwa Badr dan sesudah rampasan perang dibagi, dan bahwa
Muhammad membaginya secara merata di kalangan Muslimin, dan
bahwa untuk kuda disamakannya dengan apa yang ada pada
penunggangnya, bagian mereka yang gugur di Badr diberikan
kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di Medinah dan tidak
ikut ke Badr karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan
mereka yang dikerahkan berangkat ke Badr tapi tertinggal di
belakang karena sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul,
juga mendapat bagian. Dengan demikian rampasan perang itu
dibagi secara adil. Yang ikut bersama dalam perang dan
mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan
yang ikut bersama-sama dalam perang dan mendapat kemenangan
itu ialah siapa saja yang ikut bekerja kearah itu, baik yang
di garis depan atau yang jauh dari sana.

Sementara kaum Muslimin dalam perjalanan ke Medinah itu, dua
orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr
bin'l-Harith dan yang seorang lagi bernama 'Uqba b. Abi
Mu'ait. Sampai pada waktu itu baik Muhammad atau
sahabat-sahabatnya belum lagi membuat suatu peraturan tertentu
dalam menghadapi para tawanan itu yang akan mengharuskan
mereka dibunuh, ditebus atau dijadikan budak. Tetapi Nadzr dan
'Uqba ini keduanya merupakan bahaya yang selalu mengancam
Muslimin selama di Mekah dulu. Setiap ada kesempatan kedua
orang ini selalu mengganggu mereka.

Terbunuhnya Nadzr ini ialah tatkala mereka sampai di Uthail
para tawanan itu diperlihatkan kepada Nabi a.s. Ditatapnya
Nadzr ini dengan pandangan mata yang demikian rupa, sehingga
tawanan ini gemetar seraya berkata kepada seseorang yang
berada di sampingnya:

"Muhammad pasti akan membunuh aku," katanya. "Ia menatapku
dengan pandangan mata yang mengandung maut."

"Ini hanya karena kau merasa takut saja," jawab orang yang di
sebelahnya.

Sekarang Nadzr berkata kepada Mushiab b. 'Umair - orang yang
paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat itu.

"Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah
seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia akan
membunuh aku."

"Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu tentang
Kitabullah dan tentang diri Nabi," kata Mushiab. "Dulu kau
menyiksa sahabat-sahabatnya."

"Sekiranya engkau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan
dibunuh selama aku masih hidup," kata Nadzr lagi.

"Engkau tak dapat dipercaya," kata Mush'ab. "Dan lagi aku
tidak seperti engkau. Janji Islam dengan kau sudah terputus."

Sebenarnya Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam hal ini ia
ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dan keluarganya.
Mendengar percakapan tentang akan dibunuhnya itu ia segera
berkata:

"Nadzr tawananku," teriaknya.

"Pukul lehernya," kata Nabi a.s. "Ya Allah. Semoga Miqdad
mendapat karuniaMu."

Dengan pukulan pedang kemudian ia dibunuh oleh Ali b. Abi
Talib.

Pada waktu mereka dalam perjalanan ke 'Irq'z-Zubya
diperintahkan oleh Nabi supaya 'Uqba b. Abi Mu'ait juga
dibunuh.

"Muhammad," katanya, "siapa yang akan mengurus anak-anak?"

"Api," jawabnya.

Lalu iapun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau oleh 'Ashim b.
Thabit, sumbernya berlain-lain.

Sehari sebelum Nabi dan Muslimin sampai di Medinah kedua
utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b. Rawaha sudah lebih
dulu sampai. Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan
yang berlain-lainan. Dan atas unta yang dikendarainya itu
Abdullah mengumumkan dan memberikan kabar gembira kepada
Anshar tentang kemenangan Rasulullah dan sahabat-sahabat,
sambil menyebutkan siapa-siapa dan pihak musyrik yang
terbunuh. Begitu juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang sama
sambil ia menunggang Al-Qashwa', unta kendaraan Nabi. Kaum
Muslimin bergembira ria. Mereka berkumpul, dan mereka yang
masih berada dalam rumah pun keluar beramai-ramai dan
berangkat menyambut berita kemenangan besar ini.

Sebaliknya orang-orang musyrik dan orang-orang Yahudi merasa
terpukul sekali dengan berita itu. Mereka berusaha akan
meyakinkan diri mereka sendiri dan meyakinkan orang-orang
Islam yang tinggal di Medinah, bahwa berita itu tidak benar.

"Muhammad sudah terbunuh dan teman-temannya sudah
ditaklukkan," tenak mereka. "Ini untanya seperti sudah
sama-sama kita kenal. Kalau dia yang menang, niscaya unta ini
masih di sana. Apa yang dikatakan Zaid hanya mengigau saja
dia, karena sudah gugup dan ketakutan."

Tetapi pihak Muslimin setelah mendapat kepastian benar dari
kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran berita itu,
sebenarnya mereka malah makin gembira, kalau tidak lalu
terjadi suatu penstiwa yang mengurangi rasa kegembiraan mereka
itu, yakni penstiwa kematian Ruqayya puteri Nabi. Tatkala
ditinggalkan pergi ke Badr ia dalam keadaan sakit, dan
suaminya, Usman b. 'Affan, juga ditinggalkan supaya
merawatnya.

Apabila kemudian temyata bahwa Muhammad yang menang, mereka
merasa sangat terkejut. Posisi mereka terhadap Muslimin jadi
lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai ada salah seorang
pembesar Yahudi yang mengatakan:

"Bari kita sekarang lebih baik berkalang tanah daripada
tinggal di atas bumi ini sesudah kaum bangsawan,
pemimpinpemimpin dan pemuka-pemuka Arab serta penduduk tanah
suci itu mendapat bencana."

Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum tawanan-tawanan
perang sampai. Setelah mereka dibawa dan Sauda bt. Zam'a
isteri Nabi baru saja pulang melawati11 orang mati pada
kabilah Banu 'Afra', tempat asalnya, dilihatnya Abu Yazid
Suhail b. 'Amr, salah seorang tawanan, yang kedua belah
tangannya diikat dengan tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan
diri. Dihampirinya orang itu seraya katanya:

"Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri. Lebih baik mati
sajalah dengan terhormat!."

"Sauda!" Muhammad memanggilnya dan dalam rumah. "Kau
membangkitkan semangatnya melawan Allah dan RasulNya!"

"Rasulullah," katanya. "Demi Allah Yang telah mengutusmu
dengan segala kebenaran. Saya sudah tak dapat menahan diri
ketika melihat Abu Yazid dengan tangannya terikat di tengkuk
sehingga saya berkata begitu."

Sesudah itu kemudian Muhammad memisah-misahkan para tawanan
itu di antara sahabat-sahabatnya, sambil berkata kepada
mereka:

"Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya."

Hal ini kemudian menjadi pikiran baginya, apa yang harus
dilakukannya terhadap mereka itu. Dibunuh saja atau harus
meminta tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang yang keras
dalam perang, orang yang kuat bertempur. Hati mereka penuh
rasa dengki dan dendam setelah mereka mengalami kehancuran di
Badr, serta akibatnya yang telah membawa keaiban sebagai
tawanan perang. Apabila ia mau menerima tebusan, ini berarti
mereka akan berkomplot dan akan kembali memeranginya lagi;
kalau dibunuh saja mereka itu, akan menimbulkan sesuatu dalam
hati keluarga-keluarga Quraisy, yang bila dapat ditebus
barangkali akan jadi tenang.

Ia menyerahkan masalah ini ketangan sahabat-sahabat kaum
Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan terserah
kepada mereka. Kalangan Muslimin sendiri melihat
tawanan-tawanan ini ternyata masih ingin hidup dan akan
bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.

"Lebih baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr," kata mereka.
"Dari kerabat kita ia orang Quraisy yang pertama, dan yang
paling lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan. Kita tidak
melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia."

Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.

"Abu Bakr," kata mereka. "Di antara kita ada yang masih pernah
ayah, saudara, paman atau mamak kita serta saudara sepupu
kita. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat kita.
Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada
kami atau menerima penebusan kami."

Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi mereka
kuatir Umar ibn'l-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini.
Maka mereka mengutus beberapa orang lagi kepadanya, dengan
menyatakan seperti yang dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar
menatap mereka penuh curiga. Kemudian kedua sahabat besar
Muhammad ini berangkat menemuinya. Abu Bakr berusaha
melunakkan dan meredakan kemarahannya.

"Rasulullah," katanya. "Demi ayah dan ibuku. Mereka itu masih
keluarga kita; ada ayah, ada anak atau paman, ada sepupu atau
saudara-saudara. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat
kita. Bermurah hatilah kita kepada mereka itu. Semoga Tuhan
memberi kemurahan kepada kita. Atau kita terimalah tebusan
dari mereka, semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka dari api
neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka akan memperkuat
kaum Muslimin juga. Semoga Allah kelak membalikkan hati
mereka."

Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri dan pergi
menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya.

"Rasulullah," katanya. "Mereka itu musuh-musuh Tuhan.
Mendustakan tuan, memerangi tuan dan mengusir tuan. Penggal
sajalah leher mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang kafir,
pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang musyrik itu adalah
orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan."

Juga Muhammad tidak menjawab.

Sekarang Abu Bakr kembali ke tempat duduknya semula. Begitu
lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan sikap yang lebih
lunak. Disebutnya adanya pertalian famili dan kerabat, dan
kalau para tawanan itu masih hidup, diharapkannya akan
mendapat petunjuk Tuhan. Sedang Umar kembali memperlihatkan
sikapnya yang adil dan keras. Baginya lemah-lembut atau
kasihan tidak ada.

Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad berdiri. Ia kembali
ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian ia kembali
keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam persoalan
ini. Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak
kepada Umar. Nabi mengajak mereka berunding, apa yang harus
dilakukannya. Lalu dibuatnya suatu perumpamaan tentang Abu
Bakr dan Umar. Abu Bakr adalah seperti Mikail, diturunkan
Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada hambaNya. Dan dari
kalangan nabi-nabi seperti Ibrahim. Ia sangat lemah-lembut
terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri ia dibawa
dan dicampakkan ke dalam api. Tapi tidak lebih ia hanya
berkata:

"Cih! Kenapa kamu menyembah sesuatu selain Allah? Tidakkah
kamu berakal?" (Qur'an, 21: 67)

Atau seperti katanya:

"Yang ikut aku, dia itulah yang di pihakku. Tapi terhadap yang
membangkang kepadaku, Engkau Maha Pengampun dan Penyayang."
(Qur'an. 14: 36)