Loading...

02 November 2009

FatahKun

Perang Badar (bagian 4)

Contohnya  lagi  di  kalangan para nabi seperti Isa tatkala ia
berkata:

"Kalaupun mereka Engkau siksa, mereka itu semua hambaMu; dan
kalau Engkau ampuni, Engkau Maha Kuasa dan Bijaksana."
(Qur'an, 5: 118)

Sedang Umar, dalam malaikat contohnya seperti Jibril,
diturunkan membawa kemurkaan dari Tuhan dan bencana terhadap
musuh-musuhNya. Di lingkungan para nabi ia seperti Nuh tatkala
berkata:

"Tuhan, jangan biarkan orang-orang yang ingkar itu punya
tempat-tinggal di muka bumi ini." (Qur'an, 71: 26)

Atau seperti Musa bila ia berkata:

"O Tuhan! Binasakanlah harta-benda mereka itu, dan tutuplah
hati mereka. Mereka takkan percaya sebelum siksa yang pedih
mereka rasakan." (Qur'an, 10: 88)

Kemudian katanya:

"Kamu semua mempunyai tanggungan. Jangan ada yang lolos mereka
itu, harus dengan ditebus atau dipenggal lehernya."

Lalu mereka berunding lagi dengan sesamanya. Di antara mereka
itu ada seorang penyair, yaitu Abu 'Azza 'Amr b. Abdullah b.
'Umair al-Jumahi. Melihat adanya pertentangan pendapat itu
cepat-cepat ia mau menyelamatkan diri.

"Muhammad," katanya, "Saya punya lima anak perempuan dan
mereka tidak punya apa-apa. Maka sedekahkan sajalah aku ini
kepada mereka. Aku berjanji dan memberikan jaminan, bahwa aku
tidak akan memerangi kau lagi, juga sama sekali aku tidak akan
memaki-maki kau lagi."

Orang ini mendapat jaminan Nabi dan dibebaskan tanpa membayar
uang tebusan. Hanya dialah satu-satunya tawanan yang berhasil
mendapat jaminan demikian. Tetapi kemudian ia memungkiri
janjinya, dan kembali ia setahun kemudian ikut berperang di
Uhud. Ia kena tawan lagi lalu terbunuh.

Pihak Muslimin, sesudah lama berunding akhirnya memutuskan,
bahwa mereka dapat mengabulkan cara penebusan itu. Dengan
dikabulkannya itu ayat ini turun.

"Tidak sepatutnya seorang nabi itu akan mempunyai
tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia.
Kamu menghendaki harta-benda dunia, sedang Allah menghendaki
akhirat. Allah Maha Kuasa dan Bijaksana." (Qur'an, 8: 67)

Menanggapi masalah tawanan-tawanan Badr ini serta terbunuhnya
Nadzr dan 'Uqba ada beberapa orang Orientalis yang masih
bertanya-tanya: bukankah dengan demikian ini sudah membuktikan
bahwa agama baru ini sangat haus darah? Kalau tidak tentu
kedua orang itu tidak akan dibunuh. Bukankah sesudah mendapat
kemenangan dalam pertempuran akan lebih terhormat bagi kaum
Muslimin jika mengembalikan saja para tawanan itu, dan mereka
sudah cukup memperoleh rampasan perang?

Maksudnya dengan pertanyaan ini ialah hendak membangkitkan
rasa simpati dalam hati orang yang selama itu belum menjadi
masalah, supaya seribu tahun kemudian sesudah perang Badr dan
peperangan-peperangan yang terjadi berikutnya akan dijadikan
alat untuk mendiskreditkan agama ini serta pembawany a

Tetapi ternyata pertanyaan semacam ini kemudian jadi gugur
sendiri apabila terbunuhnya Nadzr dan 'Uqba ini kita
bandingkan dengan apa yang terjadi dewasa ini dan akan selalu
terjadi, selama perabadan Barat, yang memakai jubah Kristen
itu masih tetap menguasai dunia. Terhadap apa yang telah
terjadi di negara-negara yang dikuasai oleh penjajah secara
paksa atas nama hendak memadamkan pemberontakan itu, dapatkah
peristiwa di atas tadi - sedikit saja - dijadikan
perbandingan? Dapatkah hal itu - sedikit saja - kita
bandingkan dengan penyembelihan yang terjadi dalam Perang
Dunia? Selanjutnya, dapatkah peristiwa itu kita bandingkan
pula - sedikit saja - dengan apa yang telah terjadi selama
Revolusi Perancis, dalam pelbagai revolusi yang pernah terjadi
dan akan selalu terjadi pada bangsa-bangsa Eropa lainnya?

Memang sudah tak dapat disangkal bahwa apa yang dialami
Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu adalah suatu revolusi yang
dahsyat dan Muhammad yang diutus Tuhan, berhadapan dengan
paganisma dan orang-orang musyrik sebagai penyembahnya. Suatu
revolusi, yang pada mulanya berkecamuk di Mekah, dan yang oleh
karenanya, berbagai macam siksaan dan penderitaan dialami oleh
Muhammad dan sahabat-sahabatnya selama tigabelas tahun
terus-menerus. Kemudian kaum Muslimin pindah ke Medinah. Di
tempat ini mereka nengumpulkan tenaga dan kekuatan. Sementara
itu benih-benih revolusi masih terus tumbuh dalam hati mereka,
juga dalam hati semua orang Quraisy.

Pindahnya Muslimin ke Medinah, perjanjian mereka dengan
orang-orang Yahudi setempat, terjadinya benterokan-benterokan
sebelum peristiwa Badr, lalu Perang Badr itu sendiri - semua
itu adalah suatu siasat revolusi, bukan prinsip. Kebijaksanaan
yang telah ditentukan oleh pemimpin revolusi dan
sahabat-sahabatnya itu akan disusul pula oleh adanya ketentuan
prinsip-prinsip yang luhur, yang telah dibawa oleh Rasul.
Jadi, siasat revolusi itu lain dan prinsip-prinsip revolusi
lain lagi. Juga kondisi yang terjadi berikutnya kadang sama
sekali berbeda dari tujuan pokok kondisi itu. Dalam hal Islam
telah menjadikan rasa persaudaraan sebagai dasar peradaban
Islam, maka untuk mencapai sukses jalan itu harus ditempuh,
sekalipun untuk itu harus berlaku suatu kekerasan kalau memang
sudah tak dapat dihindarkan lagi.

Tindakan kaum Muslimin terhadap tawanan-tawanan perang Badr
adalah suatu teladan yang baik dan penuh kasih-sayang,
dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam beberapa revolusi
yang oleh pencetusnya diagungkan dengan arti keadilan dan
kasih-sayang. Dan inipun merupakan satu bagian saja di samping
penyembelihan-penyembelihan yang banyak terjadi atas nama
Kristus, seperti penyembelihan Saint Bartholomew (Saint
Barthelemy), suatu peristiwa penyembelihan yang dapat dianggap
sebagai suatu aib besar dalam sejarah Kristen, yang dalam
sejarah Islam contoh semacam itu samasekali tidak pernah ada.
Penyembelihan ini diatur pada waktu malam. Orang-orang Katolik
di Paris membantai orang-orang Protestan dengan jalan
tipu-muslihat dan penghkianatan, suatu gambaran tipu-muslihat
dan penghianatan yang sungguh rendah dan kotor.

Jadi kalau dua orang saja dari lima puluh tawanan Badr itu
yang dibunuh oleh Muslimin, karena mereka selama tiga belas
tahun memang begitu kejam terhadap kaum Muslimin, yang sampai
menderita pelbagai macam siksaan selama di Mekah, itupun
karena adanya sikap kasihan yang berlebih-lebihan dan dianggap
sebagai suatu keuntungan yang terlalu pagi seperti disebutkan
dalam ayat:

"Tidak sepatutnya seorang nabi itu akan mempunyai
tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia.
Kamu menghendaki kekayaan duniawi, sedang Allah menghendaki
akhirat. Allah Maha Kuasa dan Bijaksana." (Qur'an, 8: 67)

Sementara orang-orang Islam sedang bersukaria karena dengan
anugerah Tuhan mereka mendapat kemenangan berikut harta
rampasan, Haisuman b. Abdullah al-Khuza'i secara tergesa-gesa
sekali berangkat pula menuju Mekah. Dia menjadi orang yamg
pertama masuk di Mekah dan memberitahukan penduduk mengenai
hancurnya pasukan Quraisy serta bencana yang telah menimpa
pembesar-pembesar, pemimpin-pemimpin dan bangsawan-bangsawan
mereka. Pada mulanya Mekah terkejut sekali, dan tidak
mempercayai berita itu. Betapa takkan terkejut mendengar
berita kehancuran itu serta terbunuhnya pemimpin-pemimpin dan
bangsawan-bangsawan mereka! Tetapi tampaknya Haisuman memang
tidak mengigau, diyakinkannya sekali apa yang dikatakannya.
Dari pihak Quraisy dia sendiri memang yang merasa paling
terpukul dengan bencana itu.

Setelah ternyata berita kejadian tersebut memang benar,
seolah-olah mereka tersungkur jatuh pingsan. Abu Lahab jatuh
demam, dan tujuh hari kemudian iapun meninggal. Sekarang
orang-orang mengadakan perundingan, apa yang harus mereka
lakukan. Kemudian dicapai kata sepakat untuk tidak menyatakan
duka-cita atas kematian mereka, sebab apabila nanti ini
terdengar oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya, mereka akan
diejek. Juga tidak akan mengrim orang untuk menebus para
tawanan itu, supaya jangan sampai Muhammad dan
sahabat-sahabatnya nanti memperketat mereka dan meminta
tebusan yang terlampau tinggi.

Haripun berjalan juga. Orang-orang Quraisy sedang menahan hati
mengalami cobaan itu sambil menunggu kesempatan sampai dapat
tawanan-tawanan mereka itu nanti tertebus.

Hari itu yang datang adalah Mikraz b. Hafz, hendak menebus
Suhail b. 'Amr. Rupanya Umar bin'l-Khattab keberatan kalau
orang itu bebas tanpa mendapat sesuatu gangguan. Maka lalu ia
berkata:

"Rasulullah. Ijinkan saya mencabut dua gigi seri Suhail b.
'Amr ini, supaya lidahnya menjulur keluar dan tidak lagi
berpidato mencercamu di mana-mana."

Tapi ini dijawab oleh Nabi dengan suatu jawaban yang sungguh
agung:

"Aku tidak akan memperlakukannya secara kasar, supaya Tuhan
tidak memperlakukan aku demikian, sekalipun aku seorang nabi."

Zainab puteri Nabi juga lalu mengirimkan tebusan hendak
membebaskan suaminya, Abu'l-'Ash b. Rabi'. Diantara yang
dipakai penebus itu ialah sebentuk kalung pemberian Khadijah
ketika dulu ia akan dikawinkan dengan Abu'l-'Ash.

Melihat kalung itu, Nabi merasa sangat terharu sekali

"Kalau tuan-tuan hendak melepaskan seorang tawanan dan
mengembalikan barang tebusannya kepada sipemilik, silakan
saja," kata Nabi.

Kemudian ia mendapat kata sepakat dengan Abu'l-'Ash untuk
menceraikan Zainab, yang menurut hukum Islam mereka sudah
bercerai. Dalam pada itu Muhammad mengutus Zaid b. Haritha dan
seorang sahabat lagi guna menjemput Zainab dan membawanya ke
Medinah.

Akan tetapi sesudah sekian lama Abu'l-'Ash dibebaskan sebagai
tawanan, ia berangkat ke Syam membawa barang dagangan Quraisy.
Sesampainya di dekat Medinah, ia bertemu dengan satuan
Muslimin. Barang-barang bawaannya mereka ambil. Ia meneruskan
perjalanan dalam gelap malam itu hingga ke tempat Zainab. Ia
minta perlindungan dari Zainab dan Zainabpun melindunginya
pula. Ketika itu barang-barang dagangannya dikembalikan oleh
Muslimin kepadanya dan dengan aman ia kembali ke Mekah.
Setelah barang-barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya
masing-masing dari kalangan Quraisy, ia berkata:

"Masyarakat Quraisy! masih adakah dari kamu yang belum
mengambil barangnya?"

"Tidak ada," jawab mereka. "Mudah-mudahan Tuhan membalas
kebaikanmu. Engkau ternyata orang yang jujur dan murah hati."

"Saya naik saksi," katanya lagi kemudian, "bahwa tak ada tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya.
Sebenarnya saya dapat saja masuk Islam di kotanya itu, tapi
saya kuatir tuan-tuan akan menduga, bahwa saya hanya ingin
makan harta tuan-tuan ini. Setelah semua ini saya kembalikan
kepada tuan-tuan dan tugas saya selesai, maka sekarang saya
masuk Islam."

Kemudian ia kembali ke Medinah. Zainab juga oleh Nabi
dikembalikan lagi kepadanya.

Dalam pada itu pihak Quraisy terus saja menebus tawanannya.
Nilai tebusan waktu itu berkisar antara seribu sampai empat
ribu dirham untuk tiap orang. Kecuali yang tidak punya apa-apa
dengan kemurahan hati Muhammad membebaskannya.

Rasanya tidak ringan nasib yang menimpa Quraisy itu, juga
mereka tidak mau menghentikan permusuhan dengan Muhammad atau
melupakan kekalahan yang mereka alami. Bahkan sesudah itu
kemudian wanita-wanita Quraisy itu ramai-ramai selama sebulan
penuh menangisi mayat mereka. Rambut kepala mereka sendiri
mereka gunting. Kendaraan atau kuda orang yang sudah mati itu
dibawa, lalu mereka menangis mengelilinginya.

Dalam hal ini tak ada yang ketinggalan, kecuali Hindun bt.
'Utba, isteri Abu Sufyan. Ketika pada suatu hari ia didatangi
oleh wanita-wanita dengan mengatakan: "Kau tidak menangisi
ayahmu, saudaramu, pamanmu dan keluargamu?"

Ia menjawab:

"Aku menangisi mereka? Supaya kalau nanti didengar oleh
Muhammad dan teman-temannya mereka menyoraki kita? Dan
wanita-wanita Khazraj juga akan menyoraki kita? Tidak! Aku
mesti menuntut balas kepada Muhammad dan teman-temannya! Haram
kita memakai minyak sebelum dapat kita memerangi Muhammad.
Sungguh, kalau aku dapat mengetahui, bahwa kesedihan itu bisa
hilang dari hatiku, tentu aku menangis. Tetapi ini baru akan
hilang kalau mangsaku yang membunuh orang-orang yang kucintai
itu sudah kulihat dengan mata kepalaku sendiri!"

Memang, ia tidak lagi memakai minyak atau mendekati
tempat-tidur Abu Sufyan. Ia terus mengerahkan orang sampai
pada waktu pecah perang Uhud. Sedang Abu Sufyan, sesudah
peristiwa Badr, ia bernazar tidak akan bersuci kepala dengan
air sebelum ia memerangi Muhammad.

Catatan kaki:

1 Pada umumnya istilah ghazwa dan sarinya, dibedakan
dengan pengertian, bahwa ghazwa (jamak ghazawat),
pasukan yang bergerak bersama-sama dengan Nabi, sedang
sariya (jamak saraya) pasukan yang bergerak tanpa Nabi
ikut serta. Kata ghazwa pada umumnya diterjemahkan
dengan perang. Dalam terjemahan ini dipergunakan tiga
pengertian: perang ekspedisi dan razzia atau
pembersihan. Buku yang lebih khusus membicarakan
strategi perang antara lain: Mayor Muh. Abd'l-Fattah
Ibrahim, Muhammad al-Qa'id, Cairo 1945/1964; Muhammad
Hamidullah, The Battlefields of the Prophet Muhammad,
Working, England, 1952, 1953; Jenderal Mahmud Syait
Khattab Ar-Rasul'l-Qa'id, Cairo, 1964. Badr adalah
sebuah desa di barat daya Medinah, sebuah pangkalan air
terkenal yang terletak antara Medinah dan Mekah, tak
seberapa jauh dari pantai Laut Merah (A).

2 Al-Haura, sebuah distrik di sebelah Mesir pada akhir
perbatasan dengan Hijaz di Laut Merah, yang merupakan
pelabuhan kapal-kapal Mesir ke Medinah. Cf. Jenderal
Mahmud Syeit Khattab, ar-Rasul'l-Qa'id, hal. 90 (A).

3 Julukan Umayya b. Khalaf (A).

4 Ihda't-ta'ifatain, harfiah, salah satu dari dua
kelompok. Dua kelompok ialah kafilah Quraisy yang datang
dari Suria membawa harta dagangan yang besar, terdiri
dari 40 orang tak bersenjata di bawah pimpinan Abu
Sufyan. 2) Angkatan bersenjata Quraisy terdiri dan 1000
orang dengan perenjataan lengkap datang dan Mekah di
bawah pimpinan Abu Jahl. (A).

5 'Udwa 'tepi wadi' (LA). Al-'udwat'l-qashwa 'tepi wadi
yang lebih dekat ke arah Mekah' sebaliknya daripada
'al-'udwat'd-dunya' 'tepi wadi yang lebih dekat ke arah
Medinah' (L4) (A)

6 Qur'an, 8: 7. (Lihat juga catatan bahwa halaman 268)
(A).

7 Aslinya "Ya Nabiullah" (A).

8 Maksudnya 'Amr bin'l-Hadzami yang tewas dalam
bentrokan dengan satuan Abdullah b. Jahsy (A).

9 "Demi Allah" (A).

10 Suatu pernyataan Tauhid (A).

11 Manaha harfiah berarti 'tempat wanita-wanita
menangisi mayat' (LA). (A).