Berbicara tentang penerapan syariat Islam, kita akan segera teringat pada berbagai gerakan-gerakan Islam yang tidak pernah lelah menyuarakan diberlakukannya syariat Islam, mulai dari mereka yang tergolong radikal sampai pada yang moderat, mulai dari yang menginginkan penerapan itu sekarang juga sampai pada yang memberikan toleransi terhadap penerapan secara bertahap atau setelah siap infrastrukturnya.
Definisi Syariat Islam
Sebelum kita berbicara banyak tentang syariat Islam dan strategi menuju penerapannya, adalah sebuah keharusan bagi kita untuk memberikan batasan-batasan pengertian pada istilah syariat Islam itu sendiri.
Sebetulnya ada beberapa istilah yang memiliki esensi yang sama dengan istilah syariat Islam, antara lain hukum Islam, hukum Allah, qanun ilahi, dan sebagainya. Dalam pembahasan ini kita akan lebih mengutamakan esensi daripada sekedar istilah-istilah belaka.
Seluruh istilah-istilah diatas kurang lebih bermakna segenap aturan kehidupan dengan segala dimensi dan aspeknya yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya untuk umat manusia. Aturan-aturan tersebut meliputi dimensi ritual maupun dimensi sosial. Ia meliputi wilayah-wilayah privat sekaligus wilayah-wilayah umum. Jadi, syariat Islam tidak hanya berarti hukum pidana Islam. Ia bukan pula sekedar aturan-aturan tentang sholat dan doa. Ia amat luas, seluas cakupan kehidupan itu sendiri.
Landasan Syar’i Penerapan Syariat Islam
Aturan-aturan kehidupan yang biasa kita sebut sebagai syariat itu bisa saja berbeda dari umat satu ke umat yang lainnya, meskipun asasnya sama yaitu tauhid. Hal ini telah dinyatakan oleh Allah dalam QS Al-Maidah : 48.
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan syir’at dan minhaj”.
Dari sini kita memahami bahwa setiap umat diwajibkan untuk berhukum pada syariatnya masing-masing. Umat Nabi Musa as diwajibkan untuk berhukum pada Taurat (QS Al-Maidah : 44). Umat Nabi Isa as diwajibkan untuk berhukum pada Injil (QS Al-Maidah : 47). Demikian pula umat Nabi Muhammad saw diwajibkan untuk berhukum pada Al-Qur’an (QS Al-Maidah : 48-49). Dan yang dimaksud dengan umat Muhammad adalah umat manusia di seluruh penjuru dunia semenjak Muhammad diutus menjadi rasul penutup sekalian nabi dan rasul.
Penerapan Syariat Islam pada Masa Kenabian
Masa kenabian merupakan masa formasi syariat Islam itu sendiri. Masa kenabian merupakan transisi dari masa jahiliyah menuju masa yang penuh dengan cahaya petunjuk. Sirah Nabi mengajarkan kepada kita bahwa proses perubahan sistem masyarakat dan negara harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Perubahan masyarakat harus dimulai dari perubahan kepribadian. Negara Madinah yang sedemikian hebat adalah bermula dari para sahabat awal (al-sabiqun al-awwalun) yang telah menjalani penggemblengan kepribadian dalam waktu yang sangat lama di Makkah.
Syariat Islam yang turun di Makkah lebih banyak yang berorientasi pada hal-hal yang asasi, yakni pokok-pokok keimanan dan kebenaran universal. Syariat-syariat yang bersifat peripheral baru muncul setelah tegaknya sistem bernegara, yakni Negara Madinah. Itupun tetap terjadi secara bertahap dan berkesinambungan. Kita sangat mengetahui bahwa pengharaman judi dan riba, misalnya, dilakukan secara bertahap. Demikian pula ketentuan-ketentuan tentang sikap terhadap orang-orang kafir juga turun secara bertahap dan berkesinambungan.
Namun satu hal yang mesti kita catat ialah bahwa syariat Islam itu sudah sempurna pada penghujung risalah Nabi, dimana Allah berfirman :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian din kalian, dan telah kusempurnakan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku telah ridha Islam menjadi din kalian” (QS Al-Maidah : 3)
Dengan demikian sepeninggal Rasulullah, umat Islam wajib melaksanakan keseluruhan syariat Islam yang sudah sempurna. Dan demikianlah yang telah dicontohkan oleh umat Islam pada masa khilafah rasyidah. Hanya saja sesudah itu, simpul-simpul hukum Islam terurai satu demi satu, sedikit demi sedikit, sampai akhirnya hampir ditinggalkan sama sekali pada zaman kita sekarang ini. Hal ini terjadi karena umat Islam dihadapkan pada berbagai hambatan, baik internal maupun eksternal, untuk melaksanakan syariat Islam secara sempurna.
Atas fenomena ini, kita berpegang pada kaidah fiqih bahwa ketidakmampuan untuk melaksanakan suatu kewajiban secara sempurna tidak berarti menyebabkan gugurnya kewajiban itu sama sekali, akan tetapi kewajiban itu tetap harus ditunaikan sesuai dengan kemampuan yang ada.
Syariat Islam pada Masa Khilafah Rasyidah
Masa khilafah rasyidah termasuk masa yang dijadikan model bagi sistem tata kehidupan islami. Pada masa Umar ibn Khaththab, Islam telah meluas ke wilayah-wilayah sekitar Hijaz. Keragaman kondisi sosiokultural masyarakat di wilayah-wilayah baru menuntut Umar untuk melakukan ijtihad-ijtihad baru dalam berbagai aspek hukum Islam. Masa Umar dan khalifah sebelumnya, yakni Abu Bakar, merupakan masa-masa yang stabil. Pada penghujung kekhalifahan Utsman ibn Affan, kondisi politik mulai tidak stabil. Meskipun demikian, hukum-hukum Islam masih ditegakkan dibawah sistem khilafah.
Syariat Islam pada Masa Dinasti-dinasti Islam
Yang dimaksud dengan masa dinasti-dinasti Islam ialah masa Bani Umayyah sampai masa runtuhnya Dinasti Utsmaniyah. Masa-masa ini dan masa-masa-masa sesudahnya (sebelumnya tegaknya kembali khilafah) disebut oleh para ulama sebagai masa mulk, untuk membedakannya dari khilafah.
Pada masa dinasti-dinasti Islam, hukum Islam masih diakui dan ditetapkan sebagai sistem hukum yang harus diterapkan. Karena itu tidaklah mengherankan apabila kita bisa mendapatkan banyak kitab-kitab hukum positif islam dari masa-masa ini, misalnya kitab Al-Kharraj karya Hakim Agung Abu Yusuf yang mengatur masalah keuangan negara secara islami. Jadi, meskipun bentuk negaranya bukan lagi khilafah, namun dinasti-dinasti islam tersebut masih menerapkan hukum Islam.
Syariat Islam Pasca Runtuhnya Dinasti Utsmaniyah
Runtuhnya Dinasti Utsmaniyah menandai mulai masuknya pengaruh dan hegemoni Barat secara signifikan terhadap negeri-negeri muslim. Hal ini terutama sangat didukung oleh adanya gelombang kolonialisme dan imperialisme Barat atas negeri-negeri muslim. Dari sisi hukum dan aturan bernegara, negeri-negeri muslim akhirnya menerapkan hukum dan sistem bernegara ala Barat, dengan meninggalkan hukum dan sistem bernegara ala Islam, baik sedikit maupun banyak.
Kolonialisme dan imperialisme tersebut ternyata tidak begitu saja berakhir pada saat negeri-negeri muslim itu mendapatkan kemerdekaannya. Ternyata, kolonialisme dan imperialisme Barat terus berlanjut, hanya saja dalam bentuk lain yang lebih halus, yang dikenal dengan istilah neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Intinya, negeri-negeri muslim masih saja terbelenggu oleh hegemoni Barat dan amat tergantung kepada mereka. Dan saat ini, hukum Barat telah diterapkan oleh hampir sebagian besar negara-negara muslim.
Berbagai krisis dan kegagalan pada negeri-negeri muslim yang menerapkan hukum Barat tersebut telah membangkitkan kesadaran sebagian kalangan bahwa hukum Barat harus ditinggalkan. Dan alternatif utama mereka ialah hukum Islam, yang mereka sadari telah berhasil mengantarkan para pendahulu mereka menuju kejayaan. Cita-cita penerapan kembali hukum Islam dalam banyak kasus sulit untuk dipisahkan dengan cita-cita penegakan kembali khilafah islamiyah. Hal ini tidaklah mengherankan karena hukum Islam memang hanya akan bisa diterapkan secara sempurna dalam sebuah negara yang bernama khilafah islamiyah.
Syariat Islam di Beberapa Negara Muslim Saat Ini
Arab Saudi, sebagai contoh, telah sejak lama menerapkan hukum positif Islam, termasuk dalam aspek pidana, meskipun disana terdapat perbincangan khusus dalam hal sistem negara dan berbagai kebijakan luar negerinya. Negeri ini merupakan negeri yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Belum lagi, di negeri ini terdapat dua kota suci, yaitu Makkah, tempat kaum muslimin menunaikan ibadah haji, dan Madinah, bekas ibukota Negara Islam Pertama. Di negeri ini, beberapa bagian dari syariat Islam bahkan telah menjadi tradisi masyarakatnya. Contohnya ialah syariat menutup aurat bagi wanita. Bagi masyarakat Saudi, mengenakan jilbab tidak lagi dipandang sebagai kewajiban yang baru, akan tetapi sudah dianggap sebagai tradisi kehidupan mereka.
Di kawasan Asia Tenggara, kita telah menyaksikan bahwa beberapa wilayah di Malaysia dan demikian pula propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) di Indonesia telah memiliki mahkamah syariah. Setidak-tidaknya, itu merupakan pilot project bagi penerapan syariat Islam secara lebih luas dan lebih lengkap.
Di Afghanistan pada masa pemerintahan Thaliban, kita menyaksikan bahwa pemerintah berusaha untuk menerapkan syariat Islam secara total dengan, tentu saja, konsep syariat Islam yang mereka pahami.
Di Iran, meskipun mereka bukan muslim Sunni, syariat Islam telah diterapkan dalam berbagai sektor kehidupan, berdasarkan konsep aqidah Syi’ah dan fiqih Syi’ah (fiqih Ja’fari).
Beberapa negara muslim yang lain juga berusaha menerapkan syariat Islam dalam beberapa sektor kehidupan yang memungkinkan, baik dengan nama syariat Islam ataupun dengan hanya mementingkan esensinya.
Syariat Islam di Indonesia Saat Ini
Sebagian kecil dari syariat Islam sebetulnya sudah diterapkan di Indonesia. Yang dimaksud ialah penerapan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat universal dan beberapa bagian dari hukum yang khas Islam seperti hukum pernikahan dan hukum waris. Kalau kita perhatikan, hukum-hukum khas Islam yang telah diterapkan ialah yang bersifat ritual dan tidak memiliki dampak sosial politik yang signifikan.
Sebenarnya, Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan aspek-aspek sosial politik. Tanpa aspek-aspek tersebut, Islam tidak layak lagi disebut sebagai Islam. Bahkan, salah satu sebab utama mengapa Islam dimusuhi di Mekkah ialah karena Islam memasuki wilayah-wilayah social politik.
Kalaupun ada penerapan syariat Islam di Indonesia dalam wilayah yang lebih luas, maka kita dapati sifatnya masih belum mengikat, tetapi sekedar pilihan. Padahal, hukum baru dikatakan hukum apabila ia bersifat mengikat.
Hambatan-hambatan dalam Usaha Penerapan Syariat Islam
Secara umum hambatan-hambatan yang ada adalah sebagai berikut.
1. Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka senantiasa menyebarluaskan imej yang negative tentang Islam dan syariat Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai simbol bagi pengungkungan kaum wanita dan kekerasan ).
2. Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy.
3. Hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena belum memahami syariat Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl.
4. Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama lain.
Faktor-faktor Penguat dan Pendukung dalam Usaha Penerapan Syariat Islam
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan dalam usaha menuju penerapan syariat Islam.
1. Jumlah umat Islam cukup signifikan.
2. Maraknya gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat Islam.
3. Gagalnya beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan Islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan alternatif-alternatif yang lain. Diantara alternatif itu ialah Islam.
4. Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partai-partai politik Islam di beberapa negeri muslim.
5. Sejarah umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syariat Islam. Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam atas kembalinya masa kejayaan mereka.
Strategi Menuju Penerapan Syariat Islam
Dalam usaha menuju penerapan syariat Islam atau sistem hukum apapun juga, setidak-tidaknya akan ada lima elemen yang terlibat. Kelima elemen tersebut ialah :
1. Masyarakat
2. Konsep
3. Aparatur (SDM)
4. Sistem kekuasaan / Negara
5. Lingkungan eksternal
I. Masyarakat sebagai Salah Satu Elemen dalam Usaha Menuju Penerapan Syariat Islam
Masyarakat dalam hal ini merupakan elemen yang sangat penting kalau bukannya yang paling penting, karena merekalah sasaran, pendukung, sekaligus kekuatan pengendali dari sistem hukum yang akan diterapkan. Dalam rangka menuju penerapan syariat Islam, masyarakat harus memiliki dua karakter.
1. Memiliki komitmen untuk siap menerima dan melaksanakan syariat Islam.
2. Memiliki pemahaman yang benar tentang materi syariat Islam itu sendiri.
Karakter yang pertama bisa dibentuk dengan cara memperkuat komitmen dan ghirah keislaman masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya yang harus ada adalah pemurnian dan penguatan aqidah umat. Disamping itu masyarakat harus dibuat sadar dan prihatin atas permasalahan-permasalahan umat Islam saat ini, sehingga kecemburuannya (ghirahnya) terhadap Islam dan umat Islam serta semangat perjuangannya (ruh jihadnya) menjadi berkobar.
Karakter yang kedua bisa dibentuk dengan berbagai bentuk pencerdasan masyarakat tentang materi hukum Islam. Usaha tersebut bisa dilakukan melalui berbagai penyuluhan, kajian, seminar, paparan media massa, penerbitan buku secara massal, dan sebagainya, yang dilakukan pada segenap lapisan masyarakat, dengan pendekatan dan pembahasaan yang sesuai. Dengan demikian, masyarakat diharapkan akan bisa memandang syariat Islam sebagai sesuatu yang sempurna, canggih, dan indah. Hanya saja usaha-usaha tersebut membutuhkan SDM yang juga memiliki pemahaman yang memadai tentang materi hukum Islam itu sendiri.
II. Stok Aparatur (SDM) sebagai Salah Satu Elemen dalam Usaha Menuju Penerapan Syariat Islam
Aparat-aparat dalam penerapan syariat Islam nantinya paling tidak harus memenuhi beberapa kriteria berikut.
1. Memiliki kepribadian yang terpercaya (amanah, taqwa)
2. Memiliki kapabilitas yang memadai dalam bidang keahlian atau keilmuan yang terkait.
3. Tersedia dalam jumlah mencukupi dalam segenap levelnya.
Kriteria-kriteria diatas hanya bisa dicapai apabila terdapat lembaga-lembaga pengkaderan dan pendidikan yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kuantitas. Dengan demikian, sebelum syariat Islam diterapkan, harus ada terlebih dulu lembaga-lembaga pendidikan yang akan mencetak SDM-nya.
Dalam hal ini, beberapa hal berikut barangkali bisa dilakukan.
1. Memberdayakan dan membenahi (menyempurnakan) lembaga-lembaga pendidikan terkait yang sudah ada. Apabila sekarang kita sudah memiliki banyak IAIN dan semacamnya maka kita harus melakukan pemberdayaan dan pembenahan (penyempurnaan) dalam berbagai aspeknya (kurikulum, sistem, dan sebagainya) sehingga kedepan lembaga-lembaga tersebut mampu menyediakan stok SDM yang diinginkan. Demikian pula, apabila sekarang ini kita telah memiliki fakultas-fakultas hukum favorit yang notabene sekular, maka kita bisa melakukan perombakan pada beberapa sub sistemnya sehingga tidak lagi secular akan tetapi tetap menyisakan aspek-aspek keilmuannya yang bersifat netral. Demikian seterusnya.
Definisi Syariat Islam
Sebelum kita berbicara banyak tentang syariat Islam dan strategi menuju penerapannya, adalah sebuah keharusan bagi kita untuk memberikan batasan-batasan pengertian pada istilah syariat Islam itu sendiri.
Sebetulnya ada beberapa istilah yang memiliki esensi yang sama dengan istilah syariat Islam, antara lain hukum Islam, hukum Allah, qanun ilahi, dan sebagainya. Dalam pembahasan ini kita akan lebih mengutamakan esensi daripada sekedar istilah-istilah belaka.
Seluruh istilah-istilah diatas kurang lebih bermakna segenap aturan kehidupan dengan segala dimensi dan aspeknya yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya untuk umat manusia. Aturan-aturan tersebut meliputi dimensi ritual maupun dimensi sosial. Ia meliputi wilayah-wilayah privat sekaligus wilayah-wilayah umum. Jadi, syariat Islam tidak hanya berarti hukum pidana Islam. Ia bukan pula sekedar aturan-aturan tentang sholat dan doa. Ia amat luas, seluas cakupan kehidupan itu sendiri.
Landasan Syar’i Penerapan Syariat Islam
Aturan-aturan kehidupan yang biasa kita sebut sebagai syariat itu bisa saja berbeda dari umat satu ke umat yang lainnya, meskipun asasnya sama yaitu tauhid. Hal ini telah dinyatakan oleh Allah dalam QS Al-Maidah : 48.
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan syir’at dan minhaj”.
Dari sini kita memahami bahwa setiap umat diwajibkan untuk berhukum pada syariatnya masing-masing. Umat Nabi Musa as diwajibkan untuk berhukum pada Taurat (QS Al-Maidah : 44). Umat Nabi Isa as diwajibkan untuk berhukum pada Injil (QS Al-Maidah : 47). Demikian pula umat Nabi Muhammad saw diwajibkan untuk berhukum pada Al-Qur’an (QS Al-Maidah : 48-49). Dan yang dimaksud dengan umat Muhammad adalah umat manusia di seluruh penjuru dunia semenjak Muhammad diutus menjadi rasul penutup sekalian nabi dan rasul.
Penerapan Syariat Islam pada Masa Kenabian
Masa kenabian merupakan masa formasi syariat Islam itu sendiri. Masa kenabian merupakan transisi dari masa jahiliyah menuju masa yang penuh dengan cahaya petunjuk. Sirah Nabi mengajarkan kepada kita bahwa proses perubahan sistem masyarakat dan negara harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Perubahan masyarakat harus dimulai dari perubahan kepribadian. Negara Madinah yang sedemikian hebat adalah bermula dari para sahabat awal (al-sabiqun al-awwalun) yang telah menjalani penggemblengan kepribadian dalam waktu yang sangat lama di Makkah.
Syariat Islam yang turun di Makkah lebih banyak yang berorientasi pada hal-hal yang asasi, yakni pokok-pokok keimanan dan kebenaran universal. Syariat-syariat yang bersifat peripheral baru muncul setelah tegaknya sistem bernegara, yakni Negara Madinah. Itupun tetap terjadi secara bertahap dan berkesinambungan. Kita sangat mengetahui bahwa pengharaman judi dan riba, misalnya, dilakukan secara bertahap. Demikian pula ketentuan-ketentuan tentang sikap terhadap orang-orang kafir juga turun secara bertahap dan berkesinambungan.
Namun satu hal yang mesti kita catat ialah bahwa syariat Islam itu sudah sempurna pada penghujung risalah Nabi, dimana Allah berfirman :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian din kalian, dan telah kusempurnakan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku telah ridha Islam menjadi din kalian” (QS Al-Maidah : 3)
Dengan demikian sepeninggal Rasulullah, umat Islam wajib melaksanakan keseluruhan syariat Islam yang sudah sempurna. Dan demikianlah yang telah dicontohkan oleh umat Islam pada masa khilafah rasyidah. Hanya saja sesudah itu, simpul-simpul hukum Islam terurai satu demi satu, sedikit demi sedikit, sampai akhirnya hampir ditinggalkan sama sekali pada zaman kita sekarang ini. Hal ini terjadi karena umat Islam dihadapkan pada berbagai hambatan, baik internal maupun eksternal, untuk melaksanakan syariat Islam secara sempurna.
Atas fenomena ini, kita berpegang pada kaidah fiqih bahwa ketidakmampuan untuk melaksanakan suatu kewajiban secara sempurna tidak berarti menyebabkan gugurnya kewajiban itu sama sekali, akan tetapi kewajiban itu tetap harus ditunaikan sesuai dengan kemampuan yang ada.
Syariat Islam pada Masa Khilafah Rasyidah
Masa khilafah rasyidah termasuk masa yang dijadikan model bagi sistem tata kehidupan islami. Pada masa Umar ibn Khaththab, Islam telah meluas ke wilayah-wilayah sekitar Hijaz. Keragaman kondisi sosiokultural masyarakat di wilayah-wilayah baru menuntut Umar untuk melakukan ijtihad-ijtihad baru dalam berbagai aspek hukum Islam. Masa Umar dan khalifah sebelumnya, yakni Abu Bakar, merupakan masa-masa yang stabil. Pada penghujung kekhalifahan Utsman ibn Affan, kondisi politik mulai tidak stabil. Meskipun demikian, hukum-hukum Islam masih ditegakkan dibawah sistem khilafah.
Syariat Islam pada Masa Dinasti-dinasti Islam
Yang dimaksud dengan masa dinasti-dinasti Islam ialah masa Bani Umayyah sampai masa runtuhnya Dinasti Utsmaniyah. Masa-masa ini dan masa-masa-masa sesudahnya (sebelumnya tegaknya kembali khilafah) disebut oleh para ulama sebagai masa mulk, untuk membedakannya dari khilafah.
Pada masa dinasti-dinasti Islam, hukum Islam masih diakui dan ditetapkan sebagai sistem hukum yang harus diterapkan. Karena itu tidaklah mengherankan apabila kita bisa mendapatkan banyak kitab-kitab hukum positif islam dari masa-masa ini, misalnya kitab Al-Kharraj karya Hakim Agung Abu Yusuf yang mengatur masalah keuangan negara secara islami. Jadi, meskipun bentuk negaranya bukan lagi khilafah, namun dinasti-dinasti islam tersebut masih menerapkan hukum Islam.
Syariat Islam Pasca Runtuhnya Dinasti Utsmaniyah
Runtuhnya Dinasti Utsmaniyah menandai mulai masuknya pengaruh dan hegemoni Barat secara signifikan terhadap negeri-negeri muslim. Hal ini terutama sangat didukung oleh adanya gelombang kolonialisme dan imperialisme Barat atas negeri-negeri muslim. Dari sisi hukum dan aturan bernegara, negeri-negeri muslim akhirnya menerapkan hukum dan sistem bernegara ala Barat, dengan meninggalkan hukum dan sistem bernegara ala Islam, baik sedikit maupun banyak.
Kolonialisme dan imperialisme tersebut ternyata tidak begitu saja berakhir pada saat negeri-negeri muslim itu mendapatkan kemerdekaannya. Ternyata, kolonialisme dan imperialisme Barat terus berlanjut, hanya saja dalam bentuk lain yang lebih halus, yang dikenal dengan istilah neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Intinya, negeri-negeri muslim masih saja terbelenggu oleh hegemoni Barat dan amat tergantung kepada mereka. Dan saat ini, hukum Barat telah diterapkan oleh hampir sebagian besar negara-negara muslim.
Berbagai krisis dan kegagalan pada negeri-negeri muslim yang menerapkan hukum Barat tersebut telah membangkitkan kesadaran sebagian kalangan bahwa hukum Barat harus ditinggalkan. Dan alternatif utama mereka ialah hukum Islam, yang mereka sadari telah berhasil mengantarkan para pendahulu mereka menuju kejayaan. Cita-cita penerapan kembali hukum Islam dalam banyak kasus sulit untuk dipisahkan dengan cita-cita penegakan kembali khilafah islamiyah. Hal ini tidaklah mengherankan karena hukum Islam memang hanya akan bisa diterapkan secara sempurna dalam sebuah negara yang bernama khilafah islamiyah.
Syariat Islam di Beberapa Negara Muslim Saat Ini
Arab Saudi, sebagai contoh, telah sejak lama menerapkan hukum positif Islam, termasuk dalam aspek pidana, meskipun disana terdapat perbincangan khusus dalam hal sistem negara dan berbagai kebijakan luar negerinya. Negeri ini merupakan negeri yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Belum lagi, di negeri ini terdapat dua kota suci, yaitu Makkah, tempat kaum muslimin menunaikan ibadah haji, dan Madinah, bekas ibukota Negara Islam Pertama. Di negeri ini, beberapa bagian dari syariat Islam bahkan telah menjadi tradisi masyarakatnya. Contohnya ialah syariat menutup aurat bagi wanita. Bagi masyarakat Saudi, mengenakan jilbab tidak lagi dipandang sebagai kewajiban yang baru, akan tetapi sudah dianggap sebagai tradisi kehidupan mereka.
Di kawasan Asia Tenggara, kita telah menyaksikan bahwa beberapa wilayah di Malaysia dan demikian pula propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) di Indonesia telah memiliki mahkamah syariah. Setidak-tidaknya, itu merupakan pilot project bagi penerapan syariat Islam secara lebih luas dan lebih lengkap.
Di Afghanistan pada masa pemerintahan Thaliban, kita menyaksikan bahwa pemerintah berusaha untuk menerapkan syariat Islam secara total dengan, tentu saja, konsep syariat Islam yang mereka pahami.
Di Iran, meskipun mereka bukan muslim Sunni, syariat Islam telah diterapkan dalam berbagai sektor kehidupan, berdasarkan konsep aqidah Syi’ah dan fiqih Syi’ah (fiqih Ja’fari).
Beberapa negara muslim yang lain juga berusaha menerapkan syariat Islam dalam beberapa sektor kehidupan yang memungkinkan, baik dengan nama syariat Islam ataupun dengan hanya mementingkan esensinya.
Syariat Islam di Indonesia Saat Ini
Sebagian kecil dari syariat Islam sebetulnya sudah diterapkan di Indonesia. Yang dimaksud ialah penerapan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat universal dan beberapa bagian dari hukum yang khas Islam seperti hukum pernikahan dan hukum waris. Kalau kita perhatikan, hukum-hukum khas Islam yang telah diterapkan ialah yang bersifat ritual dan tidak memiliki dampak sosial politik yang signifikan.
Sebenarnya, Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan aspek-aspek sosial politik. Tanpa aspek-aspek tersebut, Islam tidak layak lagi disebut sebagai Islam. Bahkan, salah satu sebab utama mengapa Islam dimusuhi di Mekkah ialah karena Islam memasuki wilayah-wilayah social politik.
Kalaupun ada penerapan syariat Islam di Indonesia dalam wilayah yang lebih luas, maka kita dapati sifatnya masih belum mengikat, tetapi sekedar pilihan. Padahal, hukum baru dikatakan hukum apabila ia bersifat mengikat.
Hambatan-hambatan dalam Usaha Penerapan Syariat Islam
Secara umum hambatan-hambatan yang ada adalah sebagai berikut.
1. Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka senantiasa menyebarluaskan imej yang negative tentang Islam dan syariat Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai simbol bagi pengungkungan kaum wanita dan kekerasan ).
2. Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy.
3. Hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena belum memahami syariat Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl.
4. Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama lain.
Faktor-faktor Penguat dan Pendukung dalam Usaha Penerapan Syariat Islam
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan dalam usaha menuju penerapan syariat Islam.
1. Jumlah umat Islam cukup signifikan.
2. Maraknya gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat Islam.
3. Gagalnya beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan Islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan alternatif-alternatif yang lain. Diantara alternatif itu ialah Islam.
4. Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partai-partai politik Islam di beberapa negeri muslim.
5. Sejarah umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syariat Islam. Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam atas kembalinya masa kejayaan mereka.
Strategi Menuju Penerapan Syariat Islam
Dalam usaha menuju penerapan syariat Islam atau sistem hukum apapun juga, setidak-tidaknya akan ada lima elemen yang terlibat. Kelima elemen tersebut ialah :
1. Masyarakat
2. Konsep
3. Aparatur (SDM)
4. Sistem kekuasaan / Negara
5. Lingkungan eksternal
I. Masyarakat sebagai Salah Satu Elemen dalam Usaha Menuju Penerapan Syariat Islam
Masyarakat dalam hal ini merupakan elemen yang sangat penting kalau bukannya yang paling penting, karena merekalah sasaran, pendukung, sekaligus kekuatan pengendali dari sistem hukum yang akan diterapkan. Dalam rangka menuju penerapan syariat Islam, masyarakat harus memiliki dua karakter.
1. Memiliki komitmen untuk siap menerima dan melaksanakan syariat Islam.
2. Memiliki pemahaman yang benar tentang materi syariat Islam itu sendiri.
Karakter yang pertama bisa dibentuk dengan cara memperkuat komitmen dan ghirah keislaman masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya yang harus ada adalah pemurnian dan penguatan aqidah umat. Disamping itu masyarakat harus dibuat sadar dan prihatin atas permasalahan-permasalahan umat Islam saat ini, sehingga kecemburuannya (ghirahnya) terhadap Islam dan umat Islam serta semangat perjuangannya (ruh jihadnya) menjadi berkobar.
Karakter yang kedua bisa dibentuk dengan berbagai bentuk pencerdasan masyarakat tentang materi hukum Islam. Usaha tersebut bisa dilakukan melalui berbagai penyuluhan, kajian, seminar, paparan media massa, penerbitan buku secara massal, dan sebagainya, yang dilakukan pada segenap lapisan masyarakat, dengan pendekatan dan pembahasaan yang sesuai. Dengan demikian, masyarakat diharapkan akan bisa memandang syariat Islam sebagai sesuatu yang sempurna, canggih, dan indah. Hanya saja usaha-usaha tersebut membutuhkan SDM yang juga memiliki pemahaman yang memadai tentang materi hukum Islam itu sendiri.
II. Stok Aparatur (SDM) sebagai Salah Satu Elemen dalam Usaha Menuju Penerapan Syariat Islam
Aparat-aparat dalam penerapan syariat Islam nantinya paling tidak harus memenuhi beberapa kriteria berikut.
1. Memiliki kepribadian yang terpercaya (amanah, taqwa)
2. Memiliki kapabilitas yang memadai dalam bidang keahlian atau keilmuan yang terkait.
3. Tersedia dalam jumlah mencukupi dalam segenap levelnya.
Kriteria-kriteria diatas hanya bisa dicapai apabila terdapat lembaga-lembaga pengkaderan dan pendidikan yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kuantitas. Dengan demikian, sebelum syariat Islam diterapkan, harus ada terlebih dulu lembaga-lembaga pendidikan yang akan mencetak SDM-nya.
Dalam hal ini, beberapa hal berikut barangkali bisa dilakukan.
1. Memberdayakan dan membenahi (menyempurnakan) lembaga-lembaga pendidikan terkait yang sudah ada. Apabila sekarang kita sudah memiliki banyak IAIN dan semacamnya maka kita harus melakukan pemberdayaan dan pembenahan (penyempurnaan) dalam berbagai aspeknya (kurikulum, sistem, dan sebagainya) sehingga kedepan lembaga-lembaga tersebut mampu menyediakan stok SDM yang diinginkan. Demikian pula, apabila sekarang ini kita telah memiliki fakultas-fakultas hukum favorit yang notabene sekular, maka kita bisa melakukan perombakan pada beberapa sub sistemnya sehingga tidak lagi secular akan tetapi tetap menyisakan aspek-aspek keilmuannya yang bersifat netral. Demikian seterusnya.
2. Membuka lembaga-lembaga pendidikan baru dalam keilmuan dan keahlian terkait. Ada bebarap alasan atas usaha ini. Pertama, belum adanya lembaga dalam bidang keilmuan atau keahlian tertentu yang amat dibutuhkan. Kedua, lembaga-lembaga dalam bidang keilmuan atau keahlian yang dimaksud sudah ada akan tetapi jumlahnya masih kurang. Sekarang ini tentu kita menyaksikan bahwa telah banyak berdiri kolese-kolese atau fakultas-fakultas ilmu ekonomi islam, perbankan syariah, manajemen islam, dan sebagainya. Ini semua merupakan fenomena yang harus terus ditingkatkan, baik kualitas maupun kuantitasnya.
3. Menjalin kerjasama pendidikan dengan negara-negara muslim yang kualitas pendidikan dalam keilmuan terkait telah lebih maju. Diantara bentuk kerjasama ini ialah pengiriman mahasiswa berprestasi ke luar negeri, pendirian kampus-kampus baru dengan standar kualifikasi kampus-kampus luar negeri yang ternama, pembukaan kampus-kampus cabang dari kampus-kampus luar negeri yang ternama, pengiriman dosen-dosen dan guru besar yang berkualitas dari luar negeri, kerjasama dalam bentuk pendanaan atau pemberian beasiswa belajar kepada mahasiswa berprestasi, dan sebagainya.
4. Mengadakan pelatihan-pelatihan (courses dan trainings) dalam rangka up-grading stok SDM yang saat ini sudah ada.
III. Konsep sebagai Salah Satu Elemen dalam Usaha Menuju Penerapan Syariat Islam
Sesudah muncul suara-suara yang menuntut diterapkannya syariat Islam, tidaklah mengherankan jika ada yang bertanya,”Bagaimana konsep syariat Islam yang akan diterapkan itu?” Ini menyadarkan kita bahwa penerapan syariat Islam tidaklah cukup hanya dengan berbekal kemauan, akan tetapi harus ada juga konsep yang jelas tentang syariat Islam itu sendiri.
Permasalahan konsep ini merupakan permasalahan yang amat penting, dengan beberapa alasan sebagai berikut.
1. Banyak fenomena ketakutan (fobia) terhadap syariat Islam, bahkan di kalangan umat Islam sendiri, disebabkan karena belum paham terhadap syariat Islam atau karena pemahaman yang salah.
2. Beberapa kalangan masih meragukan penerapan syariat Islam karena mereka belum melihat adanya konsep yang jelas dan lengkap tentang syariat Islam. Diantara mereka ada yang meragukan bahwa Islam memiliki konsep yang mampu menjawab tantangan zaman modern.
3. Beberapa kalangan, terutama para pemikir Barat, masih meragukan bahwa syariat Islam bisa diterapkan sebagai representasi dari Islam itu sendiri. Mereka senantiasa mengklaim bahwa penerapan syariat Islam dalam kenyataannya hanyalah penerapan atas konsep yang dimiliki oleh madzhab tertentu saja, dengan tidak memberikan ruang bagi madzhab yang lainnya. Pandangan ini tentu saja harus dipupus dengan cara menyusun dan mensosialisasikan konsep yang tidak terkungkung oleh satu madzhab saja akan tetapi terbuka bagi setiap konsep yang lebih baik meskipun datang dari madzhab yang berbeda.
4. Ternyata, konsep syariat Islam masih memerlukan proyek ijtihad besar-besaran, apabila akan diterapkan sebagai hukum positif di zaman sekarang ini. Hal ini sangat mudah dimengerti, karena sudah sejak lama kita tidak menerapkan syariat Islam dan karenanya ijtihad juga berhenti – kecuali dalam skala yang sangat kecil. Stagnasi ijtihad ini akhirnya berakibat pada kondisi dimana sebagian konsep-konsep syariat Islam yang ada saat ini adalah konsep-konep yang sudah out of date. Disamping itu, penerapan sistem kehidupan yang tidak islami dalam jangka waktu yang sangat lama telah memunculkan habitat yang kurang kondusif bagi penerapan syariat islam secara sempurna dan menyeluruh. Habibat tersebut, setidak-tidaknya dalam waktu dekat ini, hanya memungkinkan adanya penerapan syariat Islam sebagai tambal sulam saja atau pada wilayah-wilayah tertentu saja.
Dalam usaha merumuskan konsep syariat Islam, terdapat empat hal yang bisa diintegrasikan untuk kemudian menghasilkan sebuah konsep baru. Empat hal tersebut ialah konsep asasi (yakni teks-teks Al-Qur’an dan Al-Sunnah), konsep lama (yang merupakan hasil ijtihad para pemikir Islam terdahulu), realitas, dan ide-ide baru.
Setelah konsep baru terumuskan, maka kita harus melakukan uji reliabilitas terhadap konsep tersebut. Sesudah itu, ada baiknya jika kita juga melakukan pilot project (proyek percobaan) terhadap konsep tersebut. Setelah melakukan berbagai evaluasi dalam rangka mencapai kesempurnaan, maka kita baru bisa menerapkan konsep tersebut secara massal.
Langkah-langkah bertahap diatas perlu dilakukan untuk menghindari kesalahan-kesalahan penerapan syariat Islam dalam skala luas. Kita tidak menginginkan bahwa manusia mengalami trauma atau menjadi antipati terhadap syariat Islam hanya gara-gara penerapan syariat Islam yang keliru, sembrono, atau kurang matang. Jika hal ini terjadi, maka sesungguhnya penyembuhan itu lebih sulit daripada pencegahan. Lebih-lebih lagi masyarakat Barat, tentunya akan menjadikan kesalahan tersebut sebagai senjata untuk menyebarluaskan gambaran yang negatif tentang Islam dan syariat Islam, karena mereka selalu memandang segala sesuatu berdasarkan sejarah dan fakta, bukan pada konsepnya.
IV. Sistem Kekuasaan / Negara sebagai Salah Satu Elemen dalam Usaha Menuju Penerapan Syariat Islam.
Sistem kekuasaan atau negara dalam hal ini merupakan elemen yang sangat penting karena pada akhirnya merekalah pelaksana, penjamin, dan pelindung penerapan syariat Islam. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian muncul slogan Laa huduuda illa bid daulah (Tidak ada hukum pidana Islam kecuali dengan adanya negara [Islam]) dan slogan-slogan lain yang semakna. Dalam hal ini, yang kita butuhkan adalah sebuah kepemimpinan yang islami. Dalam usaha kesana, dibutuhkan langkah-langkah politis yang efektif.
Dalam iklim demokrasi liberal saat ini, barangkali umat Islam harus berjuang secara parlementer dengan cara membentuk partai-partai politik untuk bisa meraih posisi-posisi kepemimpinan negara. Dan kita tidak bisa memungkiri bahwa partai politik merupakan salah satu sarana yang sangat efektif untuk saat ini. Usaha menuju kepemimpinan Negara yang Islami juga bisa didukung dengan gerakan-gerakan ekstraparlementer, pada saat gerakan-gerakan yang demikian dipandang efektif. Adapun jalan yang paling radikal menuju kepemimpinan islami ialah revolusi. Hanya saja, Nabi tidak pernah mencontohkan revolusi berdarah dalam meraih sebuah kepemimpinan Negara. Yang beliau saw contohkan ialah sebuah perjuangan yang menyeluruh, simultan dan alami. Namun jika revolusi tersebut bisa dilakukan tanpa darah, maka itu baru bisa dibenarkan karena pernah dicontohkan oleh Nabi.
V. Lingkungan Eksternal sebagai Salah Satu Elemen dalam Usaha Menuju Penerapan Syariat Islam
Yang dimaksud dengan lingkungan eksternal disini ialah dunia internasional diluar wilayah negara yang akan menerapkan syariat Islam. Bagaimanapun juga, terlebih-lebih di era informasi dan globalisasi ini, dunia internasional memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap setiap negara yang ada.
Dalam rangka menghadapi pengaruh eksternal yang begitu kuat, kita harus memiliki posisi tawar yang tinggi. Hal ini bisa dicapai apabila kita memiliki kemandirian yang tinggi dan memiliki kekuatan yang diperhitungkan. Disamping itu, kita juga harus senantiasa memberikan imej yang positif dan simpatik kepada dunia eksternal. Akan lebih efektif lagi, jika itu juga kita ikuti dengan usaha-usaha infiltrasi pemikiran kepada dunia internasional.
Demikianlah beberapa hal penting yang patut dicatat dalam usaha menuju penerapan syariat Islam. Ia merupakan usaha-usaha yang menyeluruh, simultan, bertahap, dan kontinyu. Ingatlah bahwa umur dakwah itu tidaklah seumur seorang manusia saja, namun sama dengan umur peradaban, yang bisa satu abad, dua abad, atau lebih lama lagi. Yang harus dilakukan oleh setiap generasi adalah berusaha mewujudkan cita-cita seoptimal mungkin dan pada saat yang sama memberikan pijakan yang kuat bagi generasi selanjutnya untuk mewujudkan cita-cita yang sama. Jadi, perjuangan ini harus kontinyu dari generasi ke generasi, sampai cita-cita itu benar-benar terwujud.
menaraislam.com