Bagaimana sebenarnya kedudukan perempuan atau muslimah dalam Islam? Berdasarkan hadis nabi, perempuan adalah harta terindah di dunia, seolah semua makhluk yang hidup di tempat fana ini berpusat kepadanya. Dengan keindahan dan kelembutannya, perempuan memang memainkan peran penting dalam kehidupan. Bahkan, dalam tataran tertentu, kehidupan sebuah kelompok bisa dilihat dari perempuan.
Jika perempuan tersebut baik dan diperlakukan dengan baik pula, kelompok tersebut, baik berupa keluarga (lingkup masyarakat terkecil) hingga negara (lingkup masyarakat terbesar), merupakan kelompok baik. Sebaliknya, jika perempuan merendahkan diri dan/atau direndahkan oleh kelompoknya, jelas kelompok tersebut sangat bermasalah.
Perempuan Zaman Jahiliyyah
Pada zaman Jahiliyyah, kedudukan perempuan sangat rendah. Hal ini dicatat oleh Bashiruddin Mahmud Ahmad dalam Riwayat Hidup Rasulullah SAW sebagai berikut.
“Wanita tak mempunyai kedudukan dan hak dalam masyarakat Arab ini. Di antara mereka, ada yang beranggapan bahwa membunuh anak perempuan adalah perbuatan terhormat... Macam-macam cara dilakukan guna pembunuhan bayi perempuan itu, di antaranya mengubur hidup-hidup atau dengan jalan mencekik.”
Perempuan dalam Islam
Islam memiliki terobosan penting dengan menyerukan persamaan hak perempuan dan laki-laki. Misalnya, dalam menuntut ilmu, ada ucapan nabi, “Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah." Artinya, tidak ada dominasi lelaki terhadap pengetahuan atau upaya mengasingkan perempuan dari ilmu. Semua muslim setara di depan pengetahuan. Kasus tersebut hanyalah sebuah contoh.
Dalam praktik sehari-hari, nabi begitu terbiasa menyayangi istri-istri beliau. Dalam Kimia Kebahagiaan, Al-Ghazali mencatat perilaku nabi terhadap istri-istri beliau sebagai berikut, “Nabi Muhammad SAW sendiri selalu menanggung dengan sabar tingkah laku istri-istrinya." Saking halusnya perangai nabi, istri-istri beliau dengan bangga mengisahkan hal ini kepada istri-istri sahabat sehingga istri para sahabat “iri”.
Alkisah, suatu hari istri Umar bin Khattab marah dan mengomeli sahabat nabi tersebut. Melihat istrinya marah, padahal dalam adat Jahiliyyah sudah selayaknya istri tunduk buta pada suami, Umar berkata kepada istrinya, "Hai kau yang berlidah tajam, berani kau menjawabku?"
Istrinya Istri Umar menjawab, "Ya, penghulu para nabi lebih baik daripadamu, sedangkan istri-istrinya saja mendebatnya." Umar terperanjat mendengar ini. Ia buru-buru berkata, "Celakalah Hafshah jika ia tidak merendahkan dirinya sendiri."
Maksudnya, sudah sepantasnya istri nabi sangat patuh kepada suami yang tidak tega memarahi istri. Padahal, nyaris semua suami mudah membentak, memaki, atau kadang memukul istri pada zaman tersebut. Umar ingin agar Hafshah yang mendapat anugerah luar biasa, diperlakukan sang suami dengan begitu mulia, harus memperlakukan sang suami dengan cara lebih mulia lagi.
Oleh karena itu, ketika berjumpa Hafshah, Umar berkata, "Awas, kau jangan mendebat Rasul!” Perilaku Nabi Muhammad SAW yang bertentangan dengan adat Jahiliyyah ini (dan kadang juga bertentangan dengan adat yang kita anut sekarang) menggambarkan betapa vitalnya masalah perempuan dalam sebuah umat.
Jika perempuan tersebut baik dan diperlakukan dengan baik pula, kelompok tersebut, baik berupa keluarga (lingkup masyarakat terkecil) hingga negara (lingkup masyarakat terbesar), merupakan kelompok baik. Sebaliknya, jika perempuan merendahkan diri dan/atau direndahkan oleh kelompoknya, jelas kelompok tersebut sangat bermasalah.
Perempuan Zaman Jahiliyyah
Pada zaman Jahiliyyah, kedudukan perempuan sangat rendah. Hal ini dicatat oleh Bashiruddin Mahmud Ahmad dalam Riwayat Hidup Rasulullah SAW sebagai berikut.
“Wanita tak mempunyai kedudukan dan hak dalam masyarakat Arab ini. Di antara mereka, ada yang beranggapan bahwa membunuh anak perempuan adalah perbuatan terhormat... Macam-macam cara dilakukan guna pembunuhan bayi perempuan itu, di antaranya mengubur hidup-hidup atau dengan jalan mencekik.”
Perempuan dalam Islam
Islam memiliki terobosan penting dengan menyerukan persamaan hak perempuan dan laki-laki. Misalnya, dalam menuntut ilmu, ada ucapan nabi, “Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah." Artinya, tidak ada dominasi lelaki terhadap pengetahuan atau upaya mengasingkan perempuan dari ilmu. Semua muslim setara di depan pengetahuan. Kasus tersebut hanyalah sebuah contoh.
Dalam praktik sehari-hari, nabi begitu terbiasa menyayangi istri-istri beliau. Dalam Kimia Kebahagiaan, Al-Ghazali mencatat perilaku nabi terhadap istri-istri beliau sebagai berikut, “Nabi Muhammad SAW sendiri selalu menanggung dengan sabar tingkah laku istri-istrinya." Saking halusnya perangai nabi, istri-istri beliau dengan bangga mengisahkan hal ini kepada istri-istri sahabat sehingga istri para sahabat “iri”.
Alkisah, suatu hari istri Umar bin Khattab marah dan mengomeli sahabat nabi tersebut. Melihat istrinya marah, padahal dalam adat Jahiliyyah sudah selayaknya istri tunduk buta pada suami, Umar berkata kepada istrinya, "Hai kau yang berlidah tajam, berani kau menjawabku?"
Istrinya Istri Umar menjawab, "Ya, penghulu para nabi lebih baik daripadamu, sedangkan istri-istrinya saja mendebatnya." Umar terperanjat mendengar ini. Ia buru-buru berkata, "Celakalah Hafshah jika ia tidak merendahkan dirinya sendiri."
Maksudnya, sudah sepantasnya istri nabi sangat patuh kepada suami yang tidak tega memarahi istri. Padahal, nyaris semua suami mudah membentak, memaki, atau kadang memukul istri pada zaman tersebut. Umar ingin agar Hafshah yang mendapat anugerah luar biasa, diperlakukan sang suami dengan begitu mulia, harus memperlakukan sang suami dengan cara lebih mulia lagi.
Oleh karena itu, ketika berjumpa Hafshah, Umar berkata, "Awas, kau jangan mendebat Rasul!” Perilaku Nabi Muhammad SAW yang bertentangan dengan adat Jahiliyyah ini (dan kadang juga bertentangan dengan adat yang kita anut sekarang) menggambarkan betapa vitalnya masalah perempuan dalam sebuah umat.