Loading...

04 August 2010

FatahKun

Meraih kemabruran haji

Pengertian Mabrur

MABRUR diambil dari kata AL-BARRU, salah satu Al-Asma-ul Husna (nama Allah yang indah) artinya Yang memiliki keluasan dalam melakukan kebaikan. Firman Allah,
إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ الرَّحِيْمُ

"Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang."

Seorang hamba disebut BAARRUN apabila ia selalu taat kepada rabbnya. Atau dari kata AL-BIRRU artinya kebaikan, seperti kalimat Birrul Walidayn maksudnya selalu berbuat baik kepada ibu bapak. AL-BARRU itu ada dua macam; dalam keyaqinan dan dalam perbuatan, sebagaimana Firman Allah;




لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ، وَلكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّيْنَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِ الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّائِلِيْنَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوْا وَالصَّابِرِيْنَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِ، أُولَئِكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا، وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ. (ق.س البقرة : 177).

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan (albirru) akan tetapi sesungguhnya al-Birru itu beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, dan para nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil (yang kehabisan bekal di jalan), yang minta-minta, dalam memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, membayar zakat, menepati janjinya bila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, pederitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa." (QS Al-Baqarah : 177).

Ayat ini diturunkan sekaitan dengan kebiasaan orang Yahudi dan Nasrani bila shalat suka menghadap ke timur dan barat, mereka berkeyakinan bahwa yang disebut kebaikan itu melakukan rutinitas ibadah menurut agama masing-masing.

MABRUR adalah ibadah yang berdampak kepada pelakunya menjadi BARRUN, yang berkeyakinan dan berperilaku sebagaimana ayat di atas. Bentuk banyak dari BAARRUN adalah ABRAAR. Al-Quran sering menyebut sifat-sifat mereka sebagai pewaris surga, orang-orang yang disayang oleh Allah yang Maha Pemurah. Firman-Nya,

إِنَّ اْلأَبْرَارَ لَفِي نَعِيْمٍ

"Sesungguhnya orang-orang ABRAR itu benar-benar dalam keni'matan yang besar (surga)." (QS al-Muthaffifin : 22 / Al-Infithar : 13).

Setiap orang yang beriman harus bercita-cita menjadi ABRAAR, atau sekurang-kurangnya bersama dengan mereka. Allah Tabaroka wa Ta'ala mengajarkan do'a kepada kita, di antaranya:
رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيَ يُنَادِيْ لِلْإِيْمَانِ أَنْ آمِنُوْا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا، رَبَّنَا فَاغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا، وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا، وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَار.

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu): " berimanlah kepada Tuhanmu" maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskan dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang ABRAAR. (QS Ali Imran: 193).

Salah satu ibadah yang secara khusus disebut sebagai sarana untuk mencapai ABRAAR adalah HAJJI. Berdasar kepada Sabda Rasulullah Saw,

"Dari satu umrah ke umrah yang lain adalah kaffarah (penghabus dosa) di antara keduanya. Dan haji yang mabrur itu pahalanya tiada lain selain surga." (Muttfaq 'alayh dari Abu Hurayrah).


Haji yang Mabrur

Bagaimana kiat kita untuk mewujudkan diri sebagai orang ABRAR melalui haji MABRUR? Untuk meraih haji Mabrur harus ditempuh tiga tahap.

Pertama, persiapan sebelum berangkat;. Yang paling penting adalah niat melaksanakan haji harus ikhlas karena Allah. Banyak orang yang pergi haji tetapi tidak iklash semata-mata karena Allah. Ada beberapa hal yang memalingkan niat mereka.

Di antaranya untuk meraih gelar haji, mencari popularitas, ingin disebut orang kaya, ingin disebut orang yag beruntung karena mendapat kesempatan, atau mungkin saja karena banyak uang sehingga bingung untuk membelanjakannya, bahkan ada di antara mereka dengan tujuan mencari penghidupan atau usaha dengan cara meminta-minta. Perhatikan firman Allah,
وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً.

"Dan karena Allah wajib atas manusia beribadah haji, bagi orang yang istitha'ah." (QS Ali Imran (3) : 97).


Ayat di atas medahulukan kata LILLAAH (karena Allah) sebelum kata 'ALANNAASI (wajib atas manusia). Hal ini menunjukkan niat yang ikhlash harus diutamakan. Mengingat pergi haji itu memerlukan istitha'ah (fisik yang kuat, bekal yang cukup, pengorbanan yang banyak). Orang yang memiliki ongkos pas-pasan bisa mendapat kerugian yang besar, bila hajinya hampa sebab tidak ikhlash karena Allah.

Haji itu diwajibkan bagi orang yang istitha'ah. Istitha'ah adalah kemampuan untuk mengadakan perjalanan ke Makkah, sanggup untuk tinggal beberapa waktu di sana, dan siap melakukan ibadah haji. Sebab itu calon jamaah haji sebelum berangkat ke tanah suci diwajibkan mempersiapkan segala sesuatunya untuk bekal.

Bekal yag dimaksud adalah ongkos perjalanan, biaya tinggal di Makkah, biaya tinggal untuk keluarga, kesehatan, latihan fisik, ilmu agama, dan ketaqwaan. Firman Allah, "Berbekallah, maka sebaik-baik bekal adalah taqwa." Taqwa adalah buah ibadah terutama dari shaum Ramadlan, karena itu Allah Swt mewajibkan haji setelah Ramadlan agar jamaah benar-benar berbekal taqwa.

Kurang tepat kiranya orang yang berangkat ke Baytullah untuk haji sementara shalatnya belum khusyu', zakat infaq shadaqahnya masih terpaksa, dan shaumnya hampa, hanya menahan lapar dan dahaga. Di samping itu jamaah calon haji dituntut untuk memahami kayfiyah pelaksanaan ibadah haji dan ibadah lainnya sesuai dengan sunnah Nabi Saw.

Kedua, saat berada di Makkah dalam rangkaian pelaksanaan ibadah; Firman Allah
اْلحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُوْمَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ اْلحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوْقَ وَلاَ جِدَالَ فِيْ اْلحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُوْنِ يَا أُوْلِى اْلأَلْبَابِ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS Al- Baqarah:197).

Sekurang-kurangnya pada ayat ini ada tiga larangan bagi orang yang berhaji dan anjuran untuk sering berbuat kebaikan walaupun sedikit. Rofats artinya berbuat dan berkata yang menjurus kepada hubungan suami isteri, kecuali setelah tahallul; tahallul umrah atau tahallul haji. Fusuq atau perbuatan fasik maksudnya melakukan pelanggaran atau perbuatan terlarang bagi muhrim (yang sedang ihram) seperti berburu, memakai pakaian yang dijahit, dan mengenakan wangi-wangian. Sedangkan Jidal adalah bertengkar sampai menyakitkan hati orang lain; mengalah adalah sikap yang terbaik pada saat haji.

Ketiga, Setelah kembali di tanah air.

Harus terjadi perubahan sikap. Harus ada perbedaan sikap, keimanan, ilmu, antara sebelum haji dan setelah haji. Bila kita mengingat kembali saat berada di Makkah dalam rangka manasik haji, banyak hikmah dan manfaat yang tersirat di antaranya:

1. Mengenakan pakaian ihram yang suci bersih, dan melafazhkan niat kerena Allah harus mampu membersihkan hati dari segala penyakit;

2. Saat mengucapkan talbiyah berulang kali, harus mampu meluluhkan kalbu yang angkuh, bahwa kita sebenarnya tidak mempunyai apa-apa, harta dan kemampuan yang kita miliki adalah anugrah dari Yang memiliki AL-HAMDA WAN NI'MATA WAL MULKA.;

3. Thawaf mengelilingi Ka'bah dan Sa'I antara Shafa dan Marwah, sebagai gambaran rutinitas kegiatan kita sehari-hari yang tidak lepas dari taqdir Allah;

4. Mabit di Mina hari Tarwiyah tanggal 8 Dzulhijjah, diibaratkan sebagai persiapan untuk menuju hari yang sangat penting;

5. Wukuf di Arafah adalah miniatur padang Mahsyar, di mana saat itu seluruh manusia dikumpulkan untuk dihisab amalnya. Pada saatnya nanti, tidak ada orang yang berpakaian dan beralas kaki, semuanya telanjang bulat. Sebab itu di sana jamaah haji harus berdzikir dan berdo'a, meminta ampunan dan rahmat serta kebutuhan lainnya;

6. Mabit di Muzdalifah yang beralaskan tanah dan beratapkan langit harus mampu mengingat kebesaran Allah. Di sana pun kita dianjurkan minta HASANAH di dunia dan akhirat. Perlunya keseimbangan di antara keduanya;

7. Susahnya melontar Jumrah dengan tujuh batu kecil tetapi berulang kali sampai 70 batu, menggambarkan godaan syetan dari tujuh titik kelemahan manusia; tiga di kepala: mata, telinga, dan lisan. Sisanya adalah perut, tangan, kaki dan alat kelamin.

Setelah kembali berada di tanah air, diharapkan kita masih talbiyah dan thawaf dengan mengikhlaskan diri karena Allah dalam melaksanakan seluruh kegiatan. Harus selalu ingat akan kematian dengan memperbanyak bekal untuk kehidupan di akhirat dan menjaga diri dari api neraka.

Godaan syetan akan tetap ada, namun bila kita rajin dan rutin mengusirnya, dengan memperbanyak dzikir dan berdo'a, insya Allah, Dia akan memberi kekuatan kepada kita. Saat ini kita belum berada di padang Mahsyar, artinya kita masih memilki banyak kesempatan untuk beriman dan beramal shaleh.

Ingatlah suatu saat nanti, kita harus mempertanggungjawabkan seluruh amal termasuk harta yang kita miliki; dari mana asalnya, dengan cara apa diperolehnya, untuk apa dibelanjakannya. Jangan sampai kita menyesal sebagaimana diceritakan Allah,

"Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antaramu , lalu ia berkata, 'Ya Tuhanku mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh?" Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila datang ajalnya. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Munafiqun (63) : 10-11).


Penulis M.Rahmat Najieb, al-Mudirul’Am Pesantren Persis Ciganitri Bandung