Zionisme merupakan gerakan Yahudi sekuler yang sukses mendirikan negara Israel pada 14 Mei 1948, setengah abad sejak kongres pertamanya pada tahun 1897 M. Kesuksesan tersebut ditempuh dengan cara-cara yang tidak manusiawi; membunuh, membantai, mengusir dan merampas tanah kaum muslimin Palestina. Sebuah kesuksesan yang memperlihatkan dengan jelas bahwa mereka adalah teroris.
Zionisme merupakan gerakan Yahudi Internasional. Gerakan ini diorganisasi oleh beberapa tokoh Yahudi antara lain Dr. Theodor Herzl dan Dr. Chaim Weizmann. Dr. Theodor Herzl menyusun doktrin Zionisme sejak 1882 yang kemudian disistematisasikan dalam bukunya "Der Judenstaat" (Negara Yahudi) (1896). Doktrin ini dikonkritkan melalui Kongres Zionis Sedunia pertama di Basel, Swiss, tahun 1897. Setelah berdirinya negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948, maka tujuan kaum Zionis berubah menjadi pembela negara baru ini.
Penamaan Zionisme itu sendiri disandarkan pada sebuah bukit di Jerusalem yang bernama Zion. Zion ini kemudian identik dengan Jerusalem itu sendiri. Bagi Yahudi, istilah Zion mengandung makna religius dan memiliki akar sejarah yang panjang. Ia menggambarkan kerinduan orang-orang Yahudi yang tertindas di berbagai negara untuk kembali ke negerinya yang pernah jaya di masa King David dengan ibukotanya, Jerusalem.
Dalam Mazmur 9: 12 disebutkan tentang kedudukan Zion ini: "Bermazmurlah bagi Tuhan yang bersemayam di bukit Sion." (Alkitab terbitan LAI tahun 2000, menggunakan istilah Sion untuk Zion). Sementara Mazmur 137: 1 menyebutkan, "Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion." Dalam Yesaya 52: 1-2 kerinduan dan semangat untuk kembali ke Zion itu digambarkan dengan cukup heroik:
Terjagalah, terjagalah! Kenakanlah kekuatanmu seperti pakaian, hai Sion! Kenakanlah kehormatanmu, hai Yerusalem, kota yang kudus! Sebab tidak seorang pun yang tak bersunat atau yang najis akan masuk lagi ke dalammu. Kebaskanlah debu darimu, bangunlah hai Yerusalem yang tertawan. Tanggalkanlah ikatan-ikatan dari lehermu hai Putri Sion yang tertawan.
Dengan ayat-ayat ini, orang-orang Yahudi yang teraniaya di Eropa diingatkan kembali oleh Zionis dengan kondisi Yahudi yang terusir setelah kota Jerusalem dihancurkan oleh Nebuchadnezzar dari Babylon pada 586 SM. Dengan penggunaan ayat-ayat ini pula tampak bahwa Zionisme yang sebenarnya sekuler sangat lihai mencari justifikasi keagamaan untuk ideologi mereka. Efeknya cukup mujarab, walau pada awalnya Zionisme tidak dikenal, bahkan tidak sedikit ditentang oleh kalangan Yahudi sendiri, tapi dalam tahap kelanjutannya mereka berhasil mempengaruhi mayoritas Yahudi untuk turut membantu gerakan Zionisme merebut tanah Jerusalem di Palestina.
Lobby Zionis vs Turki Utsmani
Berawal dari kampanye HAM dan kebebasan yang dilancarkan beberapa organisasi Yahudi semisal Freemansonry di akhir abad ke-19, kebencian terhadap Yahudi yang semula mengakar di masyarakat Eropa berangsur-angsur berubah menjadi simpati. Slogan-slogan anti-Semit (anti-Jews/anti-Judaism) menjadi semacam gelar negatif bagi siapa saja yang membenci Yahudi. Saat itu, siapa saja yang berani mempersoalkan Yahudi maka akan dicap rasis, anti-HAM, dan didudukkan sejajar dengan Nazi pimpinan Adolf Hitler.
Zionisme mengambil moment ini dengan mewacanakan kepemilikan tanah air untuk bangsa Yahudi. Theodore Herzl dalam tulisannya, Der Judenstaat (Negeri Bangsa Yahudi) yang terbit di Austria pada 1896, menyebutkan Argentina dan Palestina sebagai dua pilihan untuk dijadikan tanah air bagi bangsa Yahudi. Argentina, menurut Herzl, punya kondisi alam yang kaya, wilayah luas, populasi sedikit dan cuaca sedang. Akan tetapi pilihan kemudian jatuh ke Palestina karena bersandar pada kitab Perjanjian Lama yang menyebutkannya sebagai tanah yang dijanjikan (The Promised Land/Eretz-Israel).
Sejak kongres pertamanya, tahun 1897, Zionis menggelar beberapa program demi mencapai Eretz-Israel tersebut. Di antaranya promosi kepada beberapa negara di dunia dengan memanfaatkan jaringan Yahudi Internasional, termasuk kepada Daulah Utsmaniyyah di Turki/Turki Usmani yang menjadi penguasa negeri Palestina. Kepada negara-negara Barat dan Amerika, usaha Zionis ini cukup efektif. Hal tersebut disebabkan Zionis dengan jaringannya saat itu telah cukup mengakar di negara-negara Barat dan Amerika, khususnya dalam bidang perekonomian. Akan tetapi proposal yang diajukan oleh Theodore Herzl pada 17 Mei 1901 untuk memohon sebidang tanah di Palestina kepada Sultan Abdul Hamid II dari Turki Usmani ditolak mentah-mentah. Walau saat itu Zionis mengajukannya dengan bantuan untuk pelunasan utang negara Turki Usmani yang membengkak setelah Perang Dunia I.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama dua jam antara Zionis yang dipimpin Theodore Herzl dan Sultan Abdul Hamid II tersebut, Sultan tetap tidak dapat menerima gagasan bahwa satu "negara Yahudi" diperlukan untuk menyelamatkan Yahudi dari berbagai persekusi di Eropa. Sultan kemudian menyatakan pendiriannya kepada Newlinsky, seorang wartawan yang dekat dengan Herzl, bahwa tanah Palestina bukan milknya, jadi ia tidak bisa menjualnya begitu saja. Tanah Palestina adalah milik rakyatnya yang telah memenangkan dan menyuburkan tanah tersebut dengan darah mereka sendiri.
Padahal, Zionis waktu itu sudah mendapatkan dukungan dari Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Italia. Bahkan, Zionis sampai mengajukan proposal tersebut tiga kali: Pertama, melalui Newlinsky seorang wartawan yang memiliki hubungan dekat dengan Sultan. Kedua, melalui Kaisar Austria, Wilhelm II, yang juga dikenal dekat dengan Sultan. Dan ketiga, menghadap langsung sembari menyampaikan jasanya yang telah turut meredam pemberontakan di Armenia dan kesiapan untuk membantu utang negara Turki Utsmani. Tetapi semuanya itu ditolak oeh Sultan Abdul Hamid II. Bahkan beliau mengeluarkan kebijakan yang tegas dan disampaikan kepada seluruh pimpinan di bawahnya untuk mewaspadai gerak-gerik Zionis Yahudi, di antaranya larangan untuk membuat pemukiman Yahudi di Palestina.
Akan tetapi tampaknya, kebijakan di atas tidak berlangsung efektif. Hal tersebut terjadi karena posisi Sultan sendiri waktu itu sudah dikurangi kekuasaannya oleh pemerintahan parlementer yang dikuasai oleh organisasi pembaru Turki sekuler yang sangat berkiblat pada Barat, yaitu Turki Muda/Utsmani Muda (Young Turk Movement/Yeni Usmanliar/Young Ottoman). Beberapa tokohnya sendiri merupakan didikan Barat yang tercatat sebagai anggota Freemansonry. Mereka adalah tokoh-tokoh pemerintahan yang tidak khawatir dengan separatisme Zionis lewat pemukiman-pemukiman Yahudinya. Maka ketika Sultan menolak usulan itu, Zionis bergerak intensif melakukan pencitraan negatif terhada Sultan. Sultan Abdul Hamid II mereka sebut sebagai Hamidian Absolutism, pemerintah otoriter dan sebagainya, yang tentu bertentangan dengan jargon-jargon yang menghegemoni waktu itu seperti liberation, freedom dan sebagainya. Puncak keberhasilan pencitraan negatif Zionis tersebut berujung pada pencopotan Sultan April 1909 oleh National Assembly.
Imigrasi Zionis
Di masa-masa akhir pemerintahan Turki Utsmani ini Zionis juga melancarkan program lain, yaitu imigrasi besar-besaran bagi bangsa Yahudi di seluruh dunia untuk pindah ke Palestina. Walau semula ada larangan bagi Yahudi membuat pemukiman di Palestina dari Sultan Abdul Hamid II, larangan tersebut sangat tidak efektif mengingat para penguasa parlementer waktu itu adalah tokoh-tokoh yang berkiblat pada Barat. PAda periode 1882-1904, yang dikenal sebagai First Aliyah (imigrasi pertama), sekitar 30.000 imigran Yahudi dari Eropa Timur datang ke Palestina dengan dukungan dana dari Rothschild Family. Aliyah kedua, yang terjadi tahun 1904 sampai mulainya Perang Dunia I, ditandai dengan imigrasi sekitar 33.000 imigran. Hasilnya, populasi Yahudi di Palestina meningkat secara dramatis pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20; dari 24.000 pada tahun 1882 menjadi 47.000 pada tahun 1890, dan kemudian 84.000 pada tahun 1908. Hal ini terus berlangsung sampai ketika nanti menjelang pembagian wilayah pada tahun 1946 jumlah penduduk Yahudi bertambah menjadi 608.000.
Dari Turki Utsmani ke Inggris
Peta perpolitikan lalu berubah. Turki Utsmani yang didorong oleh pemerintahan parlementernya mendukung Jerman pada Perang Dunia I, kalah telak dari Sekutu yang diorganisir oleh Inggris. Beberapa daerah kekuasaannya pun kemudian diambil oleh pihak yang menang. Palestina waktu itu (1922), diambil alih oleh Pemerintah Mandat Inggris yang diberi mandat oleh LBB (Lembaga Bangsa-Bangsa) untuk memerintah di sana sampai 15 Mei 1948.
Zionis kali ini melobby intensif pemerintahan Mandat Inggris. Sebelumnya, usaha lobby kepada pemerintah Inggris ini juga sudah dilakukan ketika Zionis dipimpin oleh Chaim Weizmann. Usaha tersebut berhasil dengan keluarnya Deklarasi Balfour—seorang menteri luar negeri Inggris—pada tahun 1917 yang menyatakan Inggris bersimpati atas berdirinya sebuah national home di Palestina bagi bangsa Yahudi. Inggris mengeluarkan deklarasi itu setelah diyakinkan oleh pihak Zionis bahwa jaringan Yahudi di Amerika dan Rusia akan melobby pemerintahan kedua negara tersebut untuk mendukung Inggris pada Perang Dunia I.
Lobby Zionis pada pemerintahan Mandat Inggris di Palestina ini juga kemudian berhasil dengan keluarnya usulan pembagian wilayah antara Arab dan Yahudi pada tahun 1937. Akan tetapi waktu itu bangsa Arab, khususnya Palestina, menolaknya dengan keras, dan Inggris pun tidak kuasa membendungnya.
Antara Inggris, AS dan PBB
Baru setelah era Perang Dunia II yang memunculkan Amerika Serikat sebagai pemenang, lobby Zionis kemudian diarahkan kepada AS. Zionis mendesak negara itu untuk mendesak PBB agar mengeluarkan resolusi yang mengatur pembagian wilayah di Palestina. Sampai akhirnya keluarlah Resolusi Majelis Umum (MU) PBB No. 181, tahun 1947, yang membagi wilayah Palestina menjadi tiga, yaitu:
Pertama, Negara Yahudi mencakup 57 persen dari total wilayah Palestina dan meliputi hampir seluruh area yang subur. Perimbangan penduduk di wilayah ini adalah 498.000 Yahudi dan 497.000 Arab.
Kedua, Negara Arab Palestina mencakup 42 persen dari total wilayah Palestina, dengan kondisi wilayah hampir semuanya berbukit-bukit dan tidak produktif. Perimbangan penduduk di wilayah yang diperuntukkan bagi Arab Palestina ini adalah: 10.000 Yahudi dan 725.000 Arab.
Ketiga, Zona Internasional, yakni Jerusalem, dengan perimbangan penduduk 100.000 Yahudi dan 105.000 Arab.
Pemerintahan Mandat Inggris yang berkuasa di Palestina itu sendiri sama sekali tidak melaksanakan Resolusi 181 MU PBB itu. Mereka lebih memfokuskan diri pada persiapan untuk meninggalkan Palestina yang berdasarkan mandat LBB akan berakhir pada 15 Mei 1948. Tidak ada usaha yang dilakukan untuk menciptakan suatu pengalihan kekuasaan yang teratur, sehingga situasi di Palestina seperti dalam suasana vakum.
Terorisme Zionis Israel
Zionis Yahudi yang sudah merencanakan pengambilalihan tanah Palestina dari sejak puluhan tahun itu pun kemudian memproklamirkan Negara Israel pada 14 Mei 1948, tepat satu hari sebelum mandat Inggris habis. Pasukan Yahudi kemudian bergerak cepat mengamankan tanah-tanah yang diperuntukkan bagi mereka seraya meluaskannya ke bagian-bagian yang diperuntukkan bagi bangsa Palestina. Pasukan Arab dari Mesir, Irak, Lebanon, Suriah, dan Transjordan yang datang 15 Mei 1948 untuk mengamankan wilayah Palestina pun kemudian bentrok perang dengan Israel. Maka terjadilah perang selama beberapa bulan, sampai 6 Januari 1949, dengan kemenangan berada di pihak Israel. Saat itu, Israel berhasil menguasai 80% wilayah Palestina (dari yang seharusnya—berdasarkan Resolusi 181—57 persen) dengan hanya menyisakan Tepi Barat, Gaza dan Jerusalem Timur.
Rencana Israel untuk berperang ini memang sudah dilakukan sejak dikeluarkannya rencana pembagian wilayah oleh PBB pada 29 November 1947. Semua Yahudi yang berumur 17-25 tahun diperintahkan mendaftar pada dinas militer. Maka pada 15 Mei 1948, Zionis Israel telah benar-benar siap berperang dengan bangsa Arab. Hal itu ditandai dengan jumlah pasukan Zionis Israel yang lebih banyak daripada jumlah gabungan pasukan Arab. Di garis depan, jumlah pasukan Israel 27.400 orang, sedangkan pasukan negara-negara Arab hanya 13.876 orang (Mesir 2.800, Irak 4.000, Lebanon 700, Suriah 1.876, dan Transjordan 4.500). Menurut dinas intelijen Amerika, ketika itu diperkirakan kekuatan pasukan Yahudi 40.000 orang dengan 50.000 milisi, sedangkan pasukan Arab 20.000 dengan 13.000 gerilyawan.
Selama periode keluarnya Resolusi 181 sampai berakhirnya perang tahun 1949, perampasan, pembunuhan dan pembantaian terhadap bangsa Palestina dilakukan oleh Zionis Israel. Pada 5 Desember 1947, David Ben Gurion, pimpinan Zionis yang kelak menjadi Presiden Israel, memerintahkan aksi cepat untuk memperluas pemukiman Yahudi di tiga daerah yang sebenarnya diberikan oleh PBB kepada Palestina. Gurion memerintahkan agar dalam setiap serangan harus dilancarkan sebuah pukulan yang mematikan sehingga mengakibatkan hancurnya rumah-rumah dan terusirnya penduduk.
Serangan besar Yahudi pertama terjadi pada 18 Desember 1947, ketika pasukan Haganah, angkatan bersenjata bawah tanah Yahudi, menyerang desa Khissas di bagian Utara Galilee dalam suatu serangan malam. Masih pada tahun itu juga, pembantaian dan pengusiran di waktu malam dilakukan di Baldat al-Shaikh dengan korban tewas 60 orang. Lalu penyerangan ke Yehida dengan korban 13 orang dan ke Qazaza yang menewaskan 5 orang anak-anak.
Pada tahun 1948, pembantaian terjadi di Naser al-Din. Teroris Zionis menembaki penduduk kota yang meninggalkan rumahnya. Hanya 40 orang yang lolos dari pembunuhan ini, dan desa tersebut terhapus dari peta. Kemudian terjadi lagi pembantaian di Tantura yang memakan korban 200 orang. Di Lydda dan Ramla sekitar 60.000 penduduk yang ketakutan meninggalkan tanahnya. 350 orang di antaranya tewas dalam perjalanan. Secara membabi buta Zionis Israel juga melakukan pembantaian di Dawayma, 100 orang tewas. Di Houla korban terorisme Zionis mencapai 85 orang tewas dan di Salha 105 tewas.
Di Deir Yasin, pada malam 9 April 1948, penduduk terbangun karena perintah mengosongkan desa yang disuarakan oleh pengeras suara. Sebelum mereka mengerti apa yang tengah terjadi, mereka telah dibantai terlebih dahulu. Menurut penelitian Palang Merah dan PBB yang dilakukan berturut-turut di tempat kejadian, ditemukan fakta bahwa rumah-rumah mereka dibakar, lalu orang-orang yang mencoba melarikan diri dari api ditembak mati. Selama serangan ini, wanita-wanita hamil dicabik-cabik perutnya hidup-hidup dengan bayonet. Anggota tubuh korban dipotong-potong. Anak-anak juga disayat-sayat tubuhnya di depan mata ibunya, lalu mereka dibunuh dengan kepala dipenggal. Pembantaian sadis yang menewaskan 254 orang tersebut dilakukan oleh milisi Irgun dan Stern di bawah kepemimpinan Menachem Begin yang kelak menjadi Perdana Menteri Israel. Atas tindakan brutalnya ini dia berkata: "Tidak akan ada Israel tanpa kemenangan di Deir Yassin."
Seperti itulah Zionis mendirikan negaranya, Israel. Dengan cara-cara keji teroris yang memakan korban kaum muslimin Palestina. Dengan cara-cara biadab yang merupakan upaya persiapan diri mereka untuk menghadapi perang yang kelak terjadi pada tahun 1948-1949. Dan hasilnya, kaum Zionis berhasil menguasai 80 persen Palestina dengan mengusir 770.000 orang Palestina dari negerinya (dua pertiga dari 1,2 juta penduduk Palestina waktu itu). Padahal sebelumnya pada tahun 1946, menjelang pembagian wilayah Palestina, penduduk Arab yang 1.237.000 orang masih menguasai 92 persen tanah Palestina, sedangkan 608.000 orang penduduk Yahudi hanya menguasai 8 persen tanah Palestina.
Atas kebiadaban Israel tersebut, PBB menunjuk seorang penengah, Count Folke Bernadotte. Setelah melakukan penyelidikan dan kajian, ia dan timnya menyampaikan laporan pada 16 September 1948 (dokumen PBB no. A. 648) tentang telah terjadinya perampasan besar-besaran, perampokan, dan penjarahan yang disebutnya telah melanggar prinsip-prinsip keadilan. Menurutnya, korban tak bersalah dari Palestina telah kehilangan haknya untuk kembali ke daerah asalnya, sementara imigran Yahudi terus membanjiri Palestina. Bernadotte menegaskan, hal ini akan menimbulkan masalah permanen sampai berabad-abad lamanya. Keesokan harinya, Count Bernadotte beserta seorang asistennya yang berbangsa Prancis, Kolonel Serot, dibunuh di Jerusalem.
Kisah tragis pembantaian ini tidak berhenti sampai di sini. Pada tahun 1953, 96 orang tewas dibantai di Qibya. Pada tahun 1956, di Kafr Qasem 49 orang tewas, di Khan Yunis 275 orang tewas, dan di kota Gaza 60 orang tewas. Pada tahun 1981, di Fakhani 150 orang tewas. Dan yang paling tragis pembantaian di Sabra-Shatila pada tahun 1982 yang memakan korban 3.000 orang di bawah komando Ariel Sharon.
Pembantaian-pembantaian serupa terus terjadi di setiap tahunnya, sampai awal Januari 2009 silam. Semua mata dunia menyaksikan dengan jelas kebrutalan Israel yang meluluhlantakkan Jalur Gaza dengan memakan korban 1000 orang lebih. Seorang anak bernama Shahd (4 tahun) yang dijadikan makanan anjing tentara-tentara Zionis juga tidak luput dari sorotan media. Semua perilaku keji mereka itu selalu saja dibungkus dengan dalih "menyelamatkan diri". Sehingga benar apa yang dikatakan Henry Ford, pendiri pabrikan mobil Ford Amerika, mereka adalah "penganiaya" dengan dalih "korban".
Dan yang terbaru adalah kasus pembajakan kapal-kapal dengan misi kemanusiaan, mulai dari Mavi Marmara sampai Rachel Corrie. Padahal kapal-kapal itu tidak membawa pasukan ataupun mengangkut senjata, melainkan hanya beberapa aktivis kemanusiaan dari berbagai negara lengkap dengan sejumlah bantuannya. Akan tetapi dengan kejamnya mereka menyergap kapal-kapal itu seraya menembakkan peluru dengan membabi buta kepada seluruh awak kapalnya. Yang selamatnya mereka tangkap lalu dipulangkan kembali ke negara asalnya masing-masing. Sebuah sikap yang sangat tidak manusiawi, yang mungkin sebagaimana disebutkan al-Qur`an, benar-benar mencerminan bangsa kera dan babi.
Pada tahun 1967, bangsa Arab sempat tidak bisa bersabar lagi membiarkan Israel bertindak sewenang-wenang. Mereka kembali menggempur Israel dalam perang 6 hari. Akan tetapi kedigdayaan militer Israel, rupanya belum bisa ditembus oleh bangsa-bangsa Arab. Bahkan setelah perang, wilayah kekuasaan Israel menjadi bertambah. Ketika itu Israel berhasil menguasai seluruh Palestina; Jerusalem, Tepi Barat dan Jalur Gaza, plus Dataran Tinggi Golan milik Suriah dan Semenanjung Sinai milik Mesir.
Zionisme merupakan gerakan Yahudi Internasional. Gerakan ini diorganisasi oleh beberapa tokoh Yahudi antara lain Dr. Theodor Herzl dan Dr. Chaim Weizmann. Dr. Theodor Herzl menyusun doktrin Zionisme sejak 1882 yang kemudian disistematisasikan dalam bukunya "Der Judenstaat" (Negara Yahudi) (1896). Doktrin ini dikonkritkan melalui Kongres Zionis Sedunia pertama di Basel, Swiss, tahun 1897. Setelah berdirinya negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948, maka tujuan kaum Zionis berubah menjadi pembela negara baru ini.
Penamaan Zionisme itu sendiri disandarkan pada sebuah bukit di Jerusalem yang bernama Zion. Zion ini kemudian identik dengan Jerusalem itu sendiri. Bagi Yahudi, istilah Zion mengandung makna religius dan memiliki akar sejarah yang panjang. Ia menggambarkan kerinduan orang-orang Yahudi yang tertindas di berbagai negara untuk kembali ke negerinya yang pernah jaya di masa King David dengan ibukotanya, Jerusalem.
Dalam Mazmur 9: 12 disebutkan tentang kedudukan Zion ini: "Bermazmurlah bagi Tuhan yang bersemayam di bukit Sion." (Alkitab terbitan LAI tahun 2000, menggunakan istilah Sion untuk Zion). Sementara Mazmur 137: 1 menyebutkan, "Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion." Dalam Yesaya 52: 1-2 kerinduan dan semangat untuk kembali ke Zion itu digambarkan dengan cukup heroik:
Terjagalah, terjagalah! Kenakanlah kekuatanmu seperti pakaian, hai Sion! Kenakanlah kehormatanmu, hai Yerusalem, kota yang kudus! Sebab tidak seorang pun yang tak bersunat atau yang najis akan masuk lagi ke dalammu. Kebaskanlah debu darimu, bangunlah hai Yerusalem yang tertawan. Tanggalkanlah ikatan-ikatan dari lehermu hai Putri Sion yang tertawan.
Dengan ayat-ayat ini, orang-orang Yahudi yang teraniaya di Eropa diingatkan kembali oleh Zionis dengan kondisi Yahudi yang terusir setelah kota Jerusalem dihancurkan oleh Nebuchadnezzar dari Babylon pada 586 SM. Dengan penggunaan ayat-ayat ini pula tampak bahwa Zionisme yang sebenarnya sekuler sangat lihai mencari justifikasi keagamaan untuk ideologi mereka. Efeknya cukup mujarab, walau pada awalnya Zionisme tidak dikenal, bahkan tidak sedikit ditentang oleh kalangan Yahudi sendiri, tapi dalam tahap kelanjutannya mereka berhasil mempengaruhi mayoritas Yahudi untuk turut membantu gerakan Zionisme merebut tanah Jerusalem di Palestina.
Lobby Zionis vs Turki Utsmani
Berawal dari kampanye HAM dan kebebasan yang dilancarkan beberapa organisasi Yahudi semisal Freemansonry di akhir abad ke-19, kebencian terhadap Yahudi yang semula mengakar di masyarakat Eropa berangsur-angsur berubah menjadi simpati. Slogan-slogan anti-Semit (anti-Jews/anti-Judaism) menjadi semacam gelar negatif bagi siapa saja yang membenci Yahudi. Saat itu, siapa saja yang berani mempersoalkan Yahudi maka akan dicap rasis, anti-HAM, dan didudukkan sejajar dengan Nazi pimpinan Adolf Hitler.
Zionisme mengambil moment ini dengan mewacanakan kepemilikan tanah air untuk bangsa Yahudi. Theodore Herzl dalam tulisannya, Der Judenstaat (Negeri Bangsa Yahudi) yang terbit di Austria pada 1896, menyebutkan Argentina dan Palestina sebagai dua pilihan untuk dijadikan tanah air bagi bangsa Yahudi. Argentina, menurut Herzl, punya kondisi alam yang kaya, wilayah luas, populasi sedikit dan cuaca sedang. Akan tetapi pilihan kemudian jatuh ke Palestina karena bersandar pada kitab Perjanjian Lama yang menyebutkannya sebagai tanah yang dijanjikan (The Promised Land/Eretz-Israel).
Sejak kongres pertamanya, tahun 1897, Zionis menggelar beberapa program demi mencapai Eretz-Israel tersebut. Di antaranya promosi kepada beberapa negara di dunia dengan memanfaatkan jaringan Yahudi Internasional, termasuk kepada Daulah Utsmaniyyah di Turki/Turki Usmani yang menjadi penguasa negeri Palestina. Kepada negara-negara Barat dan Amerika, usaha Zionis ini cukup efektif. Hal tersebut disebabkan Zionis dengan jaringannya saat itu telah cukup mengakar di negara-negara Barat dan Amerika, khususnya dalam bidang perekonomian. Akan tetapi proposal yang diajukan oleh Theodore Herzl pada 17 Mei 1901 untuk memohon sebidang tanah di Palestina kepada Sultan Abdul Hamid II dari Turki Usmani ditolak mentah-mentah. Walau saat itu Zionis mengajukannya dengan bantuan untuk pelunasan utang negara Turki Usmani yang membengkak setelah Perang Dunia I.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama dua jam antara Zionis yang dipimpin Theodore Herzl dan Sultan Abdul Hamid II tersebut, Sultan tetap tidak dapat menerima gagasan bahwa satu "negara Yahudi" diperlukan untuk menyelamatkan Yahudi dari berbagai persekusi di Eropa. Sultan kemudian menyatakan pendiriannya kepada Newlinsky, seorang wartawan yang dekat dengan Herzl, bahwa tanah Palestina bukan milknya, jadi ia tidak bisa menjualnya begitu saja. Tanah Palestina adalah milik rakyatnya yang telah memenangkan dan menyuburkan tanah tersebut dengan darah mereka sendiri.
Padahal, Zionis waktu itu sudah mendapatkan dukungan dari Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Italia. Bahkan, Zionis sampai mengajukan proposal tersebut tiga kali: Pertama, melalui Newlinsky seorang wartawan yang memiliki hubungan dekat dengan Sultan. Kedua, melalui Kaisar Austria, Wilhelm II, yang juga dikenal dekat dengan Sultan. Dan ketiga, menghadap langsung sembari menyampaikan jasanya yang telah turut meredam pemberontakan di Armenia dan kesiapan untuk membantu utang negara Turki Utsmani. Tetapi semuanya itu ditolak oeh Sultan Abdul Hamid II. Bahkan beliau mengeluarkan kebijakan yang tegas dan disampaikan kepada seluruh pimpinan di bawahnya untuk mewaspadai gerak-gerik Zionis Yahudi, di antaranya larangan untuk membuat pemukiman Yahudi di Palestina.
Akan tetapi tampaknya, kebijakan di atas tidak berlangsung efektif. Hal tersebut terjadi karena posisi Sultan sendiri waktu itu sudah dikurangi kekuasaannya oleh pemerintahan parlementer yang dikuasai oleh organisasi pembaru Turki sekuler yang sangat berkiblat pada Barat, yaitu Turki Muda/Utsmani Muda (Young Turk Movement/Yeni Usmanliar/Young Ottoman). Beberapa tokohnya sendiri merupakan didikan Barat yang tercatat sebagai anggota Freemansonry. Mereka adalah tokoh-tokoh pemerintahan yang tidak khawatir dengan separatisme Zionis lewat pemukiman-pemukiman Yahudinya. Maka ketika Sultan menolak usulan itu, Zionis bergerak intensif melakukan pencitraan negatif terhada Sultan. Sultan Abdul Hamid II mereka sebut sebagai Hamidian Absolutism, pemerintah otoriter dan sebagainya, yang tentu bertentangan dengan jargon-jargon yang menghegemoni waktu itu seperti liberation, freedom dan sebagainya. Puncak keberhasilan pencitraan negatif Zionis tersebut berujung pada pencopotan Sultan April 1909 oleh National Assembly.
Imigrasi Zionis
Di masa-masa akhir pemerintahan Turki Utsmani ini Zionis juga melancarkan program lain, yaitu imigrasi besar-besaran bagi bangsa Yahudi di seluruh dunia untuk pindah ke Palestina. Walau semula ada larangan bagi Yahudi membuat pemukiman di Palestina dari Sultan Abdul Hamid II, larangan tersebut sangat tidak efektif mengingat para penguasa parlementer waktu itu adalah tokoh-tokoh yang berkiblat pada Barat. PAda periode 1882-1904, yang dikenal sebagai First Aliyah (imigrasi pertama), sekitar 30.000 imigran Yahudi dari Eropa Timur datang ke Palestina dengan dukungan dana dari Rothschild Family. Aliyah kedua, yang terjadi tahun 1904 sampai mulainya Perang Dunia I, ditandai dengan imigrasi sekitar 33.000 imigran. Hasilnya, populasi Yahudi di Palestina meningkat secara dramatis pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20; dari 24.000 pada tahun 1882 menjadi 47.000 pada tahun 1890, dan kemudian 84.000 pada tahun 1908. Hal ini terus berlangsung sampai ketika nanti menjelang pembagian wilayah pada tahun 1946 jumlah penduduk Yahudi bertambah menjadi 608.000.
Dari Turki Utsmani ke Inggris
Peta perpolitikan lalu berubah. Turki Utsmani yang didorong oleh pemerintahan parlementernya mendukung Jerman pada Perang Dunia I, kalah telak dari Sekutu yang diorganisir oleh Inggris. Beberapa daerah kekuasaannya pun kemudian diambil oleh pihak yang menang. Palestina waktu itu (1922), diambil alih oleh Pemerintah Mandat Inggris yang diberi mandat oleh LBB (Lembaga Bangsa-Bangsa) untuk memerintah di sana sampai 15 Mei 1948.
Zionis kali ini melobby intensif pemerintahan Mandat Inggris. Sebelumnya, usaha lobby kepada pemerintah Inggris ini juga sudah dilakukan ketika Zionis dipimpin oleh Chaim Weizmann. Usaha tersebut berhasil dengan keluarnya Deklarasi Balfour—seorang menteri luar negeri Inggris—pada tahun 1917 yang menyatakan Inggris bersimpati atas berdirinya sebuah national home di Palestina bagi bangsa Yahudi. Inggris mengeluarkan deklarasi itu setelah diyakinkan oleh pihak Zionis bahwa jaringan Yahudi di Amerika dan Rusia akan melobby pemerintahan kedua negara tersebut untuk mendukung Inggris pada Perang Dunia I.
Lobby Zionis pada pemerintahan Mandat Inggris di Palestina ini juga kemudian berhasil dengan keluarnya usulan pembagian wilayah antara Arab dan Yahudi pada tahun 1937. Akan tetapi waktu itu bangsa Arab, khususnya Palestina, menolaknya dengan keras, dan Inggris pun tidak kuasa membendungnya.
Antara Inggris, AS dan PBB
Baru setelah era Perang Dunia II yang memunculkan Amerika Serikat sebagai pemenang, lobby Zionis kemudian diarahkan kepada AS. Zionis mendesak negara itu untuk mendesak PBB agar mengeluarkan resolusi yang mengatur pembagian wilayah di Palestina. Sampai akhirnya keluarlah Resolusi Majelis Umum (MU) PBB No. 181, tahun 1947, yang membagi wilayah Palestina menjadi tiga, yaitu:
Pertama, Negara Yahudi mencakup 57 persen dari total wilayah Palestina dan meliputi hampir seluruh area yang subur. Perimbangan penduduk di wilayah ini adalah 498.000 Yahudi dan 497.000 Arab.
Kedua, Negara Arab Palestina mencakup 42 persen dari total wilayah Palestina, dengan kondisi wilayah hampir semuanya berbukit-bukit dan tidak produktif. Perimbangan penduduk di wilayah yang diperuntukkan bagi Arab Palestina ini adalah: 10.000 Yahudi dan 725.000 Arab.
Ketiga, Zona Internasional, yakni Jerusalem, dengan perimbangan penduduk 100.000 Yahudi dan 105.000 Arab.
Pemerintahan Mandat Inggris yang berkuasa di Palestina itu sendiri sama sekali tidak melaksanakan Resolusi 181 MU PBB itu. Mereka lebih memfokuskan diri pada persiapan untuk meninggalkan Palestina yang berdasarkan mandat LBB akan berakhir pada 15 Mei 1948. Tidak ada usaha yang dilakukan untuk menciptakan suatu pengalihan kekuasaan yang teratur, sehingga situasi di Palestina seperti dalam suasana vakum.
Terorisme Zionis Israel
Zionis Yahudi yang sudah merencanakan pengambilalihan tanah Palestina dari sejak puluhan tahun itu pun kemudian memproklamirkan Negara Israel pada 14 Mei 1948, tepat satu hari sebelum mandat Inggris habis. Pasukan Yahudi kemudian bergerak cepat mengamankan tanah-tanah yang diperuntukkan bagi mereka seraya meluaskannya ke bagian-bagian yang diperuntukkan bagi bangsa Palestina. Pasukan Arab dari Mesir, Irak, Lebanon, Suriah, dan Transjordan yang datang 15 Mei 1948 untuk mengamankan wilayah Palestina pun kemudian bentrok perang dengan Israel. Maka terjadilah perang selama beberapa bulan, sampai 6 Januari 1949, dengan kemenangan berada di pihak Israel. Saat itu, Israel berhasil menguasai 80% wilayah Palestina (dari yang seharusnya—berdasarkan Resolusi 181—57 persen) dengan hanya menyisakan Tepi Barat, Gaza dan Jerusalem Timur.
Rencana Israel untuk berperang ini memang sudah dilakukan sejak dikeluarkannya rencana pembagian wilayah oleh PBB pada 29 November 1947. Semua Yahudi yang berumur 17-25 tahun diperintahkan mendaftar pada dinas militer. Maka pada 15 Mei 1948, Zionis Israel telah benar-benar siap berperang dengan bangsa Arab. Hal itu ditandai dengan jumlah pasukan Zionis Israel yang lebih banyak daripada jumlah gabungan pasukan Arab. Di garis depan, jumlah pasukan Israel 27.400 orang, sedangkan pasukan negara-negara Arab hanya 13.876 orang (Mesir 2.800, Irak 4.000, Lebanon 700, Suriah 1.876, dan Transjordan 4.500). Menurut dinas intelijen Amerika, ketika itu diperkirakan kekuatan pasukan Yahudi 40.000 orang dengan 50.000 milisi, sedangkan pasukan Arab 20.000 dengan 13.000 gerilyawan.
Selama periode keluarnya Resolusi 181 sampai berakhirnya perang tahun 1949, perampasan, pembunuhan dan pembantaian terhadap bangsa Palestina dilakukan oleh Zionis Israel. Pada 5 Desember 1947, David Ben Gurion, pimpinan Zionis yang kelak menjadi Presiden Israel, memerintahkan aksi cepat untuk memperluas pemukiman Yahudi di tiga daerah yang sebenarnya diberikan oleh PBB kepada Palestina. Gurion memerintahkan agar dalam setiap serangan harus dilancarkan sebuah pukulan yang mematikan sehingga mengakibatkan hancurnya rumah-rumah dan terusirnya penduduk.
Serangan besar Yahudi pertama terjadi pada 18 Desember 1947, ketika pasukan Haganah, angkatan bersenjata bawah tanah Yahudi, menyerang desa Khissas di bagian Utara Galilee dalam suatu serangan malam. Masih pada tahun itu juga, pembantaian dan pengusiran di waktu malam dilakukan di Baldat al-Shaikh dengan korban tewas 60 orang. Lalu penyerangan ke Yehida dengan korban 13 orang dan ke Qazaza yang menewaskan 5 orang anak-anak.
Pada tahun 1948, pembantaian terjadi di Naser al-Din. Teroris Zionis menembaki penduduk kota yang meninggalkan rumahnya. Hanya 40 orang yang lolos dari pembunuhan ini, dan desa tersebut terhapus dari peta. Kemudian terjadi lagi pembantaian di Tantura yang memakan korban 200 orang. Di Lydda dan Ramla sekitar 60.000 penduduk yang ketakutan meninggalkan tanahnya. 350 orang di antaranya tewas dalam perjalanan. Secara membabi buta Zionis Israel juga melakukan pembantaian di Dawayma, 100 orang tewas. Di Houla korban terorisme Zionis mencapai 85 orang tewas dan di Salha 105 tewas.
Di Deir Yasin, pada malam 9 April 1948, penduduk terbangun karena perintah mengosongkan desa yang disuarakan oleh pengeras suara. Sebelum mereka mengerti apa yang tengah terjadi, mereka telah dibantai terlebih dahulu. Menurut penelitian Palang Merah dan PBB yang dilakukan berturut-turut di tempat kejadian, ditemukan fakta bahwa rumah-rumah mereka dibakar, lalu orang-orang yang mencoba melarikan diri dari api ditembak mati. Selama serangan ini, wanita-wanita hamil dicabik-cabik perutnya hidup-hidup dengan bayonet. Anggota tubuh korban dipotong-potong. Anak-anak juga disayat-sayat tubuhnya di depan mata ibunya, lalu mereka dibunuh dengan kepala dipenggal. Pembantaian sadis yang menewaskan 254 orang tersebut dilakukan oleh milisi Irgun dan Stern di bawah kepemimpinan Menachem Begin yang kelak menjadi Perdana Menteri Israel. Atas tindakan brutalnya ini dia berkata: "Tidak akan ada Israel tanpa kemenangan di Deir Yassin."
Seperti itulah Zionis mendirikan negaranya, Israel. Dengan cara-cara keji teroris yang memakan korban kaum muslimin Palestina. Dengan cara-cara biadab yang merupakan upaya persiapan diri mereka untuk menghadapi perang yang kelak terjadi pada tahun 1948-1949. Dan hasilnya, kaum Zionis berhasil menguasai 80 persen Palestina dengan mengusir 770.000 orang Palestina dari negerinya (dua pertiga dari 1,2 juta penduduk Palestina waktu itu). Padahal sebelumnya pada tahun 1946, menjelang pembagian wilayah Palestina, penduduk Arab yang 1.237.000 orang masih menguasai 92 persen tanah Palestina, sedangkan 608.000 orang penduduk Yahudi hanya menguasai 8 persen tanah Palestina.
Atas kebiadaban Israel tersebut, PBB menunjuk seorang penengah, Count Folke Bernadotte. Setelah melakukan penyelidikan dan kajian, ia dan timnya menyampaikan laporan pada 16 September 1948 (dokumen PBB no. A. 648) tentang telah terjadinya perampasan besar-besaran, perampokan, dan penjarahan yang disebutnya telah melanggar prinsip-prinsip keadilan. Menurutnya, korban tak bersalah dari Palestina telah kehilangan haknya untuk kembali ke daerah asalnya, sementara imigran Yahudi terus membanjiri Palestina. Bernadotte menegaskan, hal ini akan menimbulkan masalah permanen sampai berabad-abad lamanya. Keesokan harinya, Count Bernadotte beserta seorang asistennya yang berbangsa Prancis, Kolonel Serot, dibunuh di Jerusalem.
Kisah tragis pembantaian ini tidak berhenti sampai di sini. Pada tahun 1953, 96 orang tewas dibantai di Qibya. Pada tahun 1956, di Kafr Qasem 49 orang tewas, di Khan Yunis 275 orang tewas, dan di kota Gaza 60 orang tewas. Pada tahun 1981, di Fakhani 150 orang tewas. Dan yang paling tragis pembantaian di Sabra-Shatila pada tahun 1982 yang memakan korban 3.000 orang di bawah komando Ariel Sharon.
Pembantaian-pembantaian serupa terus terjadi di setiap tahunnya, sampai awal Januari 2009 silam. Semua mata dunia menyaksikan dengan jelas kebrutalan Israel yang meluluhlantakkan Jalur Gaza dengan memakan korban 1000 orang lebih. Seorang anak bernama Shahd (4 tahun) yang dijadikan makanan anjing tentara-tentara Zionis juga tidak luput dari sorotan media. Semua perilaku keji mereka itu selalu saja dibungkus dengan dalih "menyelamatkan diri". Sehingga benar apa yang dikatakan Henry Ford, pendiri pabrikan mobil Ford Amerika, mereka adalah "penganiaya" dengan dalih "korban".
Dan yang terbaru adalah kasus pembajakan kapal-kapal dengan misi kemanusiaan, mulai dari Mavi Marmara sampai Rachel Corrie. Padahal kapal-kapal itu tidak membawa pasukan ataupun mengangkut senjata, melainkan hanya beberapa aktivis kemanusiaan dari berbagai negara lengkap dengan sejumlah bantuannya. Akan tetapi dengan kejamnya mereka menyergap kapal-kapal itu seraya menembakkan peluru dengan membabi buta kepada seluruh awak kapalnya. Yang selamatnya mereka tangkap lalu dipulangkan kembali ke negara asalnya masing-masing. Sebuah sikap yang sangat tidak manusiawi, yang mungkin sebagaimana disebutkan al-Qur`an, benar-benar mencerminan bangsa kera dan babi.
Pada tahun 1967, bangsa Arab sempat tidak bisa bersabar lagi membiarkan Israel bertindak sewenang-wenang. Mereka kembali menggempur Israel dalam perang 6 hari. Akan tetapi kedigdayaan militer Israel, rupanya belum bisa ditembus oleh bangsa-bangsa Arab. Bahkan setelah perang, wilayah kekuasaan Israel menjadi bertambah. Ketika itu Israel berhasil menguasai seluruh Palestina; Jerusalem, Tepi Barat dan Jalur Gaza, plus Dataran Tinggi Golan milik Suriah dan Semenanjung Sinai milik Mesir.
Sumber : persis.or.id