Ibu memarahi anaknya, mungkin menjadi pemandangan lumrah di setiap rumah. Sulit dipercaya jika ada seorang ibu yang mengaku tak pernah marah kepada anaknya. Bahkan, banyak sekali para ibu yang kini mengaku suka uring-uringan kepada anaknya, padahal dulu sebelum menikah dia merasa bukan tipe orang yang pemarah.
Memang, beban hidup dan kelelahan mengurus rumah tangga, konflik dengan suami, serta adanya perasaan tidak puas dengan kehidupan rumah tangganya, sering menjadi pemicu kemarahan ibu. Ditambah lagi dengan sikap nakal sang anak yang semakin membuat hati ibu panas. Akhirnya, anak pun kerapkali menjadi korban pelampiasan. Jika satu dua kali saja ibu memarahi anaknya, mungkin masih di anggap wajar. Namun jika setiap hari emosi ibu meledak, dan kemarahan menjadi "bumbu wajib" dalam interaksi keseharian ibu dengan anaknya, maka ini yang berbahaya. Walaupun mungkin kemarahan ibu itu diniatkan untuk mendisiplinkan dan mendidik anaknya
Jangan Kalap!
Kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan seorang ibu, sungguh memiriskan hati. Ini merupakan kemarahan yang kebablasan. Emosi yang tak terkendali, kejiwaan yang labil, dan campur tangan syetan yang terus membisiki hati, mampu menyulap kemarahan ibu menjadi tindakan kekejaman. Ibu pemarah bermetamorfosis menjadi ibu yang kejam.
Sungguh Rasulullah SAW telah mengingatkan kita semua agar berhati-hati dengan "sikap marah", karena bersumber dari kemarahan itulah berbagai petaka sering datang menimpa.
ليس الشديد بالصرعة انما الشديد الذى يملك نفسه عند الغضب
"Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya ketika marah." (HR Bukhari)
Jangan Asal Menghukum!
Banyak ibu yang menjadikan marah dan sikap tegas sebagai piranti untuk mendidik dan mendisiplinkan anak. Sikap ini tidak berarti salah secara mutlak. Karena syariat Islam juga menuntunkan agar memberikan hukuman kepada anak, jika anak bersikap menyimpang. Dengan syarat, asal jangan berlebihan. Rasulullah SAW bersabda :
"Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat saat usia mereka tujuh tahun. Dan pukullah mereka (jika tidak mau shalat) bila umur mereka mendapai sepuluh tahun. Dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidur." (HR Abu Dawud)
Jika ingin memerikan hukuman kepada anak, hendaknya dilakukan dengan adil dan tidak sewenang-wenang. Muhammad Rasyid Dimas di dalam bukunya Siyasat Tarbiyyah Khati'ah, mengemukakan beberapa patokan atau rambu-rambu dalam memberikan hukuman yang harus diperhatikan oleh para orang tua dan pendidik.
Pertama, hukuman fisik menjadi jalan terakhir. Kedua, menghindari hukuman fisik saat sedang marah. Ketiga, tidak memukul muka dan kepala. Keempat, anak tidak dipukul sebelum mencapai usia sepuluh tahun. Kelima, berilah kesempatan anak untuk bertaubat dan meminta maaf atas kesalahan yang pertama. Keenam, tidak menyerahkan hukuman kepada orang lain. Ketujuh, tidak menjadikan hukuman sebagai sarana untuk mempermalukan anak di depan umum. Kedelapan, tidak berlebihan dalam menghukum dan tidak menjadikannya sebagai pola permanen dalam berinteraksi dengan anak.
Beberapa bentuk hukuman yang bisa ditempuh orang tua untuk mendidik anaknya adalah teguran, memberikan peringatan, menjauhkan apa yang disenangi anak, celaan, mendiamkan anak (tidak diajak bicara), dan pukulan (hukuman fisik). Namun pukulan adalah alternatif hukuman yang terakhir. Sekali lagi, pukulan dan hukuman fisik adalah sebuah alternatif terakhir.
Anak adalah permata. Tidak selayaknya ia menjadi sasaran kemarahan yang berlebihan, dan objek hukuman fisik yang tidak manusiawi dari kedua orang tuanya. Hendaklah orang tua, termasuk para ibu, bertakwa kepada Allah Ta'ala dalam mendidik anak-anaknya. Semoga permata itu tumbuh menjadi penyejuk hati kedua orang tuanya selamanya, di dunia dan di akhirat. Wallahul musta'an