Oleh Dr. H. Ahmad Hasan Ridwan, M.Ag.
Pada abad kontemporer ini, dunia Islam telah melewati salah satu masa sejarahnya yang paling kritis tetapi kreatif. Di tengah krisis sistem kontemporer yang bebas nilai, hampa nilai, yakni paham kapitalis dan sosialis, kita menemukan Islam sebagai suatu sistem nilai yang penuh dan lengkap memuat nilai-nilai kehidupan. Selain itu, keunikan pendekatan Islam terletak pada sistem nilai yang mewarnai tingkah laku ekonomi/ kehidupan. Segala aspek kehidupan, termasuk ekonomi tercakup nilai-nilai dasar dalam Islam yang bersumber pada asas tauhid. Bahkan lebih dari sekedar nilai-nilai dasar (seperti keseimbangan, kesatuan, tanggung jawab dan keadilan), Islam telah cukup memuat nilai-nilai instrumental dan norma-norma yang operasional untuk diterapkan dalam pembentukan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, bukan sekedar retorika dan angan-angan apabila sebuah sistem ekonomi Islam, sesungguhnya dapat, perlu dan semestinya dibangun jika suatu kehidupan yang selamat, sejahtera benar-benar diinginkan untuk terwujud dalam realitas masyarakat. Yaitu masyarakat yang homo-islamicus, dan bukan masyarakat yang homo-economicus sebagaimana faham kapitaslis dan sosialis.
Untuk mencapai cita-cita yang dicanangkan dalam nilai dasar Islam, maka perlu perumusan etika dalam bisnis untuk memandu tingkah laku bisnis masyarakt muslim. Etika ini untuk selanjunya dijadikan landasan praktis yang fungsional sebagai Religious Practical guidance.
Etika dalam rumusan para ahli adalah ilmu yang menyelidiki baik dan buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran. Etika dipandang sama dengan akhlak, karena keduanya membahas masalah baik dan buruk tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat adalah memperoleh ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat dicapai oleh akal fikiran manusia. Namun, untuk mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini berbeda tentang ide baik dan buruk mempunyai ukuran kriteria yang berbeda. sebagai cabang dari filsafat, maka etika bertitik tolak dari akal fikiran, tidak dari agama. Di sini letak perbedaan dengan akhlak dalam pandangan islam. Ilmu akhlak sebagai pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan buruk berdasarkan ajaran Islam. Ajaran etika islam sesuai dengan fitrah dan akal pikiran yang lurus.
A. Nilai dan Prinsip Pokok
Nilai-nilai islam terangkum dalam dua prinsip pokok : Pertama,Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Allah mengandung konsekwensi keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah SWT. keyakinan demikian mengantar seorang muslim untuk menyatakan :
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi Allah, Tuhan seru sekalian alam”.
Prinsip ini menghasilkan kesatuan-kesatuan yang beredar dalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planet tatasurya menglilingi matahari. Kesatuan-kesatuan ini antara lain kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan duania dan akhirat.
Kedua, Keseimbangan mengantar manusia meyakini bahwa segala sesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi.
“Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah mengamati apakah engkau melihat sedikit ketimpangan”. ( Q.S al-Mulk 67:3)
Prinsip ini menunutut manusia bukan saja hidup seimbang serasi dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya untuk menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya
Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk meyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggamannya adalah milik Alah SWT. keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri tetapi terdapat partsisipasi orang lain. Tauhid yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejar keuntungan material semata, tetapi keberkahan dan keuntungan yang lebih kekal. Oleh karena itu, seorang pengusaha dipandu untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam melarang tidak saja praktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau terselubung, bahkan sampai kepada larangan menawarkan barang pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain.
Prinsip keseimbangan mengarahkan umat Islam kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Atas dasar ini pula al-Qur’an menolak dengan amat tegas daur sempit yang menjadikan kekayataan hanya berkisar pada orang atau kelompok tertentu :
“Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja dia antra kamu”. ( Q.S. 59:7).
Selanjutnya Umat Islam dilarang melakukan penimbunan dan pemborosan, hal ini tercermin dalam Q.S Al-Taubah : 34 :
Ayat ini dijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untuk mencabut hak-hak miliki perusahaan spekulatif yang melakukan penimbunan, penyelundupan dan yang mengambil keuntungan secar berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikan harga yang tidak semestinya
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (Q.S Al-Araf 7:31).
Pemborosan dan sikap konsumtif dapat menimbulkan kelangkaan barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbnagan akibat kenaikan harga-harga. Dalam rangka memlihara keseimbanagn itu, Islam menegaskan pemerintah untuk mengontrol harga-harga yang tidak wajar dan cenderung spekulatif.
B. Etika Praktis dalam Bisnis
Dari prinsip di atas, maka seorang pelaku bisnis atau wirausaha menurut pandangan Etika Islam ketika berdagang tidak hanya bertujuan mencari keutungan sebesar-besarnya, akan tetapi mencari dan mencapai keberkahan. Keberkahan usaha adalah kemantapan dari usaha itu dengan memperoleh keuntungan yang wajar dan diridhai oleh Allah SWT.
Untuk memperoleh keberkahan dalam jual beli, Islam mengajarkan prinsip-prinsip etis sebagai berikut : Pertama. Jujur dalam takaran dan timbangan, Allah berfirman Q.S. al-Muthafifin 1-2 :
“Celakalah bagi orang yang curang. Apabila mereka menimbang dari orang lain (untuk dirinya, dipenuhkan timbangannya). namun, apabila mereka menimbang (untuk oranng lain ) dikuranginya”.
Kedua, menjual barang yang halal. Dalam salah satu hadits nabi menyatakan bahwa Allah mengharamkan sesuatu barang, maka haram pula harganya (diperjualbelikan). Ketiga, menjual barang yang baik mutunya. Dalam berbagai hadits Rasulullah melarang menjual buah-buahan hingga jelas baiknya. Keempat, jangan menyembunyikan cacat barang. Salah satu sumber hilangnya keberkahan jual beli, jika seseorang menjual barang yang cacat yang disembunyikan cacatnya. Ibnu Umar menurut riwayat Bukhari, memberitakan bahwa seorang lelaki menceritakan kepada Nabi bahwa ia tertipu dalam jual beli. Sabda Nabi ; “ apabila engkau berjual beli, katakanlah : tidak ada tipuan”. Kelima, Jangan main sumpah. Ada kebiasaan pedagang untuk meyakinkan pembelinya dengan jalan main sumpah agar dagangannya laris. Dalam hal ini Rasul memperingatkan :
“sumpah itu melariskan dagangan, tetapi menghapuskan keberkahan”. (H.R. Bukhari)
Keenam, longgar dan bermurah hati. Sabda Rasul:
“Allah mengasihi orang yang bermurah hati waktu menjual, waktu membeli dan waktu menagih hutang”. (H.R. Bukhari)
Kemudian dalam hadits lain Abu Hurairah memberitakan bahwa Rasulullah bersabda:
“ ada seorang pedagang yang mempiutangi orang banyak. Apabila dilihatnya orang yang ditagih itu dalam dalam kesempitan, dia perintahkan kepada pembantu-pembantunya.” Berilah kelonggaran kepadanya, mudah-mudahan Allah memberikan kelapangan kepada kita”. Maka Allah pun memberikan kelapangan kepadanya “ (H.R. Bukhari).
Ketujuh, jangan menyaingi kawan. Rasulullah bersabda :
“ janganlah kamu menjual dengan menyaingi dagangan saudaranya”.
Kedelapan, mencatat hutang piutang. Dalam dunia bisnis lazim terjadi pinjam-meminjam. Dalam hubungan ini al-Qur’an mengajarkan pencatatan hutang piutang. Gunanya adalah untuk mengingatkan salah satu pihak yang mungkin suatu waktu lupa atau khilap :
“hai orang-orang yang beriman, kalau kalian berhutang-piutang dengan janji yang ditetapkan waktunya, hendaklah kalian tuliskan. Dan seorang penulis di antara kalian, hendaklah menuliskannya dengan jujur. Janganlah penulis itu enggan menuliskannya, sebagaimana yang diajarkan Allah kepadanya”.
Kesembilan, larangan riba sebagaimana Allah berfirman :
“Allah menghapuskan riba dan menyempurnakan kebaikan shadaqah. Dan Allah tidak suka kepada orang yang tetap membangkang dalam bergelimang dosa”.
Kesepuluh, zakat. Menghitung dan mengeluarkan zakat barang dagangan setiap tahun sebanyak 2 ½ % sebagai pembersih bagi harta.
Demikianlah prinsip-prinsip etika yang diajarkan Islam untuk diterapkan dalam dunia bisnis dan kewirausahaann yang memungkinkan mencapai keberkahan usaha. Keberkahan dalam usaha berarti memperoleh keuntungan dunia dan akhirat.
C. Penutup
Etika merupakan pedoman moral bagi suatu tindakan manusia dan menjadi sumber pemikiran baik buruk tindakan itu. Agama merupakan kepercayaan akan sesuatu kekuatan supranatural yang mengatur dan mengendalikan kehidupan manusia. Praktik ekonomi, bisnis, wirausaha dan lainnya yang bertujuan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, diperintahkan dan dipandu baik oleh aturan-aturan ekonomi yang bersifat rasional maupun dituntun oleh nilai-nilai agama.
Daftar Pustaka
Ahmad M. Saefullah, “Perspektif Ekonomi Umat Islam” dalam Indonesia dan masa Depan, Surabaya: Usaha Nasional, 1992.
Prijono Tjiptoherijanto, “Moral Pembangunan dalam Sistem Ekonomi Islam” dalam Islam dan Kemiskinan, Bandung: Pustaka, 1988.
Hamzah Ya’qub, Etika Islam, bandung : Diponegoro, 1988.
M. Quraish Shihab, “Ekonomi” dalam Wawasan Islam, Bandung: Mizan, 1996.
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1987.