Loading...

03 November 2009

FatahKun

Bahasa Agama Untuk Bencana

Oleh Dudung Abdul Rohman, M.Ag.

(Widyaiswara Muda Balai Diklat Keagamaan Bandung)

Cukup mengharukan, bahwa menurut pakar geologi Indonesia termasuk daerah rawan bencana. Hampir seluruh daratan Nusantara diperkirakan memiliki ancaman kena bencana. Ternyata Indonesia yang dikenal sebagai Jamrud Khatulistiwa yang syarat dengan kekayaan alam, sekaligus juga menyimpan segudang misteri bencana. Sehingga rakyat Indonesia ke depan senantiasa akrab dan mesti selalu tanggap dengan bencana.

Memang benar, belakangan ini yang namanya bencana datang bertubi-tubi seakan tiada henti melanda bangsa Indonesia. Belum sirna trauma gempa bumi Tasikmalaya, tiba-tiba disambung dengan bencana gempa bumi Sumatera Barat yang lebih dahsyat lagi. Kemudian sebentar lagi akan datang musim hujan, maka tak ayal bencana banjir, longsor dan yang lainnya akan segera menghampiri. Isak tangis kepedihan dan kesedihan akibat bencana akan terus menyelimuti bumi tercinta Indonesia.

Apakah kondisi seperti ini mesti diratapi? Mungkin bagi sebahagian orang akan mensikapinya dengan penuh kecemasan. Karena buat apa bersusah payah berusaha, misalnya, toh pada akhirnya akan hancur juga kena bencana. Maka rasa cemas, khawatir dan putus asa akan senantiasa menghantuinya. Terutama ini dirasakan oleh orang yang lemah mental dan imannya. Tetapi bagi orang yang kuat iman dan tangguh mentalnya, tentu ini merupakan tantangan untuk lebih mempertebal keimanan dan berpikir keras bagaimana mengelola alam yang ramah lingkungan. Karena alam ini diciptakan demi seluas-luasnya kemaslahatan dan kesejahteraan manusia sebagai pewaris sah bumi ini. Maka kuncinya bagaimana manusia dapat menjaga keserasian dan keharmonisan alam, bukan hanya yang bersifat duniawi tetapi juga ukhrawi. Artinya manusia harus mampu menjaga hubungan yang harmonis dengan lingkungan, sesama dan Tuhan demi melestarikan keserasian alam dari kehancuran.

Selama ini pandangan kita mengenai bencana banyak tertuju pada gejala alamiah. Bahwa bencana itu merupakan fenomena alam akibat kerusakan lingkungan yang demikian parah. Apalagi Indonesia berada pada posisi lempengan dan patahan bumi yang setiap saat bisa bergeser dan menimbulkan bencana gempa bumi atau tsunami. Pandangan ini benar adanya dan harus kita pahami sebagai bagian dari takdir dan kehendak Allah Dzat Yang Maha Kuasa. Akan tetapi bukan berarti kita harus menyerah dengan keadaan, apalagi sampai menyalahkan Tuhan, misalnya. Justru kita harus berpikir keras dan berupaya sekuat tenaga untuk menanggulanagi kondisi seperti ini. Bukankah Allah SWT telah menganugerahkan kepada kita panca indera dan akal pikiran untuk memperbaiki keadaan ke arah yang lebih baik. Apalagi Dia telah menetapkan hukum perubahan bagi makhluknya, termasuk manusia baik secara individu maupun kemasyarakatan, sebagaimana yang diungkapkan al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu merubah apa yang ada pada dirinya” (QS. 13:11). Tinggal bagaimana kita mengikuti hukum-hukum perubahan supaya keadaan lebih baik dan diberkati oleh Allah SWT.

Oleh karena itu, untuk menjernihkan suasana kita harus mampu mendudukkan persoalan bencana ini menurut kaca mata agama. Karena agama memiliki peran yang sangat sentral dan fungsional dalam menjelaskan hakikat kehidupan. Apalagi bila kehidupan manusia sudah berada pada titik kritis, maka pelarian dan pemuasannya pada pandangan dan ritual keagamaan. Maka dalam kaitan ini, agama bisa dijadikan pegangan dan penawar bagi kecemasan kehidupan.

Sekarang bagaimana bahasa agama untuk bencana. Dalam al-Qur’an banyak diungkap tentang bencana dengan bahasa yang lebih populer, yaitu musibah. Musibah adalah peristiwa yang menyedihkan dan memilukan, baik yang skala kecil maupun besar. Musibah ini merupakan bagian dari romantika kehidupan yang senantiasa mengikuti perjalanan kehidupan manusia. Tinggal bagaimana kita selaku makhluk yang beragama dapat memahami dan mensikapi musibah ini dengan bijaksana.

Pertama, musibah merupakan bukti dari Kemahakuasaan dan Kemahaagungan Allah SWT yang menciptakan alam semesta. Sekaligus sebagai bukti keterbatan dan kelemahan manusia yang tidak bisa berbuat apa-apa apabila Sang Penguasa sudah berkehendak dan menentukan sesuatu. Di sinilah pentingnya kita beriman kepada takdir dan berharap ada hikmah besar di balik semua musibah yang terjadi. Maka musibah ini harus diterima dengan penuh kesabaran dan ketawakkalan kepada Allah SWT.

Kedua, musibah sebagai ujian untuk lebih meningkatkan keimanan dan kualitas kehidupan manusia. Sehingga dengan musibah itu manusia akan lebih dewasa dan bijaksana untuk lebih mencapai derajat yang lebih tinggi lagi. Apabila manusia lulus dari ujian biasanya akan mendapatkan kesuksesan yang lebih besar lagi.

Ketiga, musibah sebagai peringatan dari penyimpangan. Terkadang manusia karena kebodohan dan keangkuhannya melakukan perbuatan-perbuatan dosa yang melanggar ketentuan Allah SWT. Jelas perubatan durhaka ini akan mengundang murka Allah SWT. Maka dengan adanya musibah manusia menjadi sadar akan jati dirinya sebagai hamba Allah yang harus beribadah kepada-Nya dan sekaligus dengan musibah itu sebagai penebus dan penghapus dari dosa-dosanya.

Keempat, musibah itu bisa jadi sebagai siksaan atas pelanggaran akut yang dilakukan sekalipun sudah diperingatkan. Ini terjadi kepada kaum-kaum terdahulu seperti kaum ‘Aad, Tsamud dan Madyan yang tetap melakukan kedurhakaan sekalipun sudah berkali-kali diperingatkan oleh nabi-nabi yang diutus kepada mereka. Sehingga Allah SWT menimpakan bencana yang dahsyat berupa banjir, angin topan, petir yang menggelegar dan gempa yang menghancurleburkan mereka sehingga hilang dari peredaran bumi.

Kelima, musibah itu sebagai gambaran dari terjadinya kiamat yang ditandai dengan kehancuran alam secara total. Maka dengan adanya musibah memberikan pemahaman dan pengalaman bahwa kiamat itu benar-benar akan terjadi. Oleh karena itu, manusia harus terus mempersiapkan bekal berupa amal ibadah dan amal shaleh guna menyongsong hari kebangkitan setelah hancurnya alam dunia ini.

Inilah di antara bahasa agama untuk bencana yang harus dipahami bersama. Sehingga manusia akan lebih bersikap dewasa dan bijaksana dalam mengarungi kehidupan. Bahwa kehidupan yang kekal dan abadi itu kelak di akhirat setelah kehancuran alam dunia ini. Maka apa yang telah kita persiapkan untuk menyongsong ‘hari esok’ tersebut. Maka bersegeralah untuk menyongsong ampunan dan kebahagiaan kelak di hari akhirat dengan memperbanyak amal ibadah dan amal shaleh demi mencapai keridhaan Allah SWT.

Wallaahu A’lam Bish-Shawaab.


www.persis.or.id