Oleh Bahron Ansori
JAKARTA - Kebanyakan manusia lupa pada aib yang melekat pada dirinya sendiri. Mereka juga menutup mata atas kekurangan-kekurangan yang ada. Sebaliknya, manusia malah selalu mengganggap dirinya lebih baik dibandingkan orang lain. Itu jelas bertentangan dengan firman Allah SWT yang artinya, "Maka janganlah ka mu menga - takan dirimu suci. Dialah yang paling me ngetahui tentang orang yang bertakwa." (QS an-Najm: 32).
Mengenal aib diri berarti menyadari kesempurnaan mutlak hanyalah milik Allah SWT. Sedangkan, kemaksuman hanya dipunyai oleh Rasulullah SAW. Kita tidak lebih dari seorang manusia yang diliputi beragam ke kurang an, baik dari sisi ilmu maupun amal. Rasulullah SAW bersabda, "Setiap anak Adam (manusia) banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang (mau) bertobat." (HR Tirmidzi).
Imam Ghazali pernah berkata, "Kehidupan seorang Muslim tidak dapat dicapai dengan sempurna, kecuali mengikuti jalan Allah SWT yang dilalui secara bertahap.
Tahapan-tahapan itu, antara lain, tobat, sabar, fakir, zuhud, tawakal, cinta, makrifat, dan ridha. Karena itu, seorang mukmin wajib mendidik jiwa dan akhlaknya. Sementara, hati adalah cermin yang sanggup menang kap makrifat, kesanggupan itu terletak pada hati yang suci dan jernih. Imam Ghazali juga mengatakan, "Siapa hendak mengetahui aib-aibnya, maka ia dapat menempuh lima jalan.
Pertama, duduk di hadapan seorang guru yang mampu mengetahui keburukan hati dan berbagai bahaya yang tersembunyi di dalamnya. Kemudian, ia memasrahkan dirinya kepada sang guru dan mengikuti petunjuknya dalam bermujahadah membersihkan aib itu.
Ini adalah keadaan seorang murid dengan gurunya. Sang guru akan menunjukkan aib-aibnya dan cara pengobatannya, tapi pada zaman sekarang guru semacam ini langka.
Kedua, mencari seorang teman yang jujur, memiliki bashiroh (mata hati yang tajam), dan berpegangan pada agama. Ia kemudian menjadikan temannya itu sebagai peng awas yang mengamati keadaan, perbuatan, serta semua aib batin dan zahirnya sehingga ia dapat memperingatkannya. Demikian inilah yang dahulu dilakukan oleh orang-orang cerdik, orang-orang terkemuka, dan para pemimpin agama.
Ketiga, berusaha mengetahui aib dari ucapan orang yang membencinya. Sebab, pandangan yang penuh keben- cian akan berusaha menyingkapkan keburukan seseorang. Bisa jadi, manfaat yang diperoleh seseorang dari musuh yang sangat membencinya dan suka mencari-cari kesalahannya lebih banyak dari teman yang suka bermanis muka, memuji, dan menyembunyikan aib-aibnya.
Namun, sudah menjadi watak manusia untuk mendustakan ucapan musuh-musuhnya dan menganggapnya sebagai ungkapan kedengkian. Akan tetapi, orang yang mempunyai mata hati jernih mampu memetik pelajaran dari berbagai keburukan dirinya yang disebutkan oleh musuhnya.
Keempat, bergaul dengan masyarakat. Setiap kali melihat perilaku tercela seseorang, ia segera menuduh dirinya sendiri juga memiliki sifat tercela itu. Kemudian, ia tuntut dirinya untuk segera meninggalkannya. Sebab, seorang mukmin adalah cermin bagi Mukmin lainnya. Ketika melihat aib orang lain, ia akan melihat aib-aibnya sendiri.
Kelima, renungkanlah pendeknya umur. Andai kita berumur seratus tahun sekalipun, umur itu pendek jika dibandingkan dengan masa hi dup kelak di akhi rat yang aba di. Karena itu, lihatlah aib sendiri se belum menilai aib orang lain. (republika.co.id)