Merubah Niat Saat Shalat
Sebagaimana diketahui bahwa tempat niat adalah hati dan tidak disyariatkan untuk melafazhkanyna. Jika seorang tengah melaksanakan shalat sunnah sendirian kemudian datang orang lain bermakmum dibelakangnya maka tidak perlu baginya untuk merubah niatnya dari shalat sunnah menjadi wajib. Dan tetaplah dirinya melakukan shalat sunnah hingga selesai meskipun dibelakangnya terdapat orang yang bermakmum dengannya. Dan shalat keduanya sah sesuai dengan niat masing-masing.
Imam an Nawawi didalam kitabnya “Al Majmu – 4/112)” menyebutkan pendapat al Mawardi tentang perpindahan shalat kepada shalat menjadi beberapa bagian :
Sebagaimana diketahui bahwa tempat niat adalah hati dan tidak disyariatkan untuk melafazhkanyna. Jika seorang tengah melaksanakan shalat sunnah sendirian kemudian datang orang lain bermakmum dibelakangnya maka tidak perlu baginya untuk merubah niatnya dari shalat sunnah menjadi wajib. Dan tetaplah dirinya melakukan shalat sunnah hingga selesai meskipun dibelakangnya terdapat orang yang bermakmum dengannya. Dan shalat keduanya sah sesuai dengan niat masing-masing.
Imam an Nawawi didalam kitabnya “Al Majmu – 4/112)” menyebutkan pendapat al Mawardi tentang perpindahan shalat kepada shalat menjadi beberapa bagian :
- Berpindah dari nafilah kepada fardhu maka ia tidak mendapatkan salah satupun dari keduanya.
- Berpindah dari nafilah rawatib kepada nafilah rawatib seperti dari witir ke sunnah fajar maka ia tidak mendapatkan salah satu dari keduanya.
- Berpindah dari nafilah kepada fardhu maka ia tidak mendapatkan salah satu dari keduanya……
Adapun jika seseorang melaksanakan shalat fardhu munfarid (sendirian) lalu datang orang lain bermasbuq kepadanya maka tidak perlu baginya merubah niat shalat menjadi jamaah karena pada dasarnya shalat imam seperti shalat sendirian dalam hal niat dan tidak diwajibkan baginya berniat jamaah walaupun ia menjadi imam setelah sebelumnya memulai shalatnya dengan munfarid. Berbeda dengan makmum yang diharuskan berniat jamaah dikarenakan shalatnya berhubungan dengan shalat imam, demikian disebutkan didalam Fatawa al Azhar IX/186.
Imam Bukhari meriwayatan dari Ibnu 'Abbas berkata, "Aku bermalam di rumah bibiku (Maimunah binti Al Harits), isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan saat itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersamanya karena memang menjadi gilirannya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat isya`, lalu beliau pulang ke rumahnya dan shalat empat rakaat, kemudian tidur dan bangun lagi untuk shalat." Ibnu Abbas berkata, "Beliau lalu tidur seperti anak kecil (sebentar-sebentar bangun) -atau kalimat yang semisal itu-, kemudian beliau bangun shalat. Kemudian aku bangun dan berdiri si sisi kirinya, beliau lalu menempatkan aku di kanannya. Setelah itu beliau shalat lima rakaat, kemudian shalat dua rakaat, kemudian tidur hingga aku mendengar dengkurannya, kemudian beliau keluar untuk melaksanakan shalat subuh."
Hadits tersebut menunjukkan bahwa tidak disyaratkan bagi seorang imam berniat dengan niat imam sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang telah memulai shalatnya sendirian lalu datang Ibnu Abbas untuk shalat berjmaah bersamanya.
Menjadikan Imam Seorang yang Masbuq
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang menjadikan imam seorang yang tadinya masbuq. Para ulama Maliki berpendapat bahwa tidak sah seorang bermakmum dengan seorang yang masbuq sementara orang yang masbuq itu telah mendapatkan satu rakaat bersama imamnya tadi namun jika orang yang masbuq itu tidak mendapatkan satu rakaat pun dari imamnya maka shalat orang yang bermakmum kepadanya sah.
Sementara para ulama Hanafi mengatakan bahwa tidak sah shalat yang bermakmum dengan seorang yang masbuq baik orang yang masbuk itu mendapatkan satu rakaat atau kurang dari itu bersama imamnya tadi.
Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa tidak sah bermakmum dengan seorang makmum selama ia menjadi makmum, jika bermakmum dengan makmum setelah imamnya salam atau setelah dia berniat memisahkan diri darinya (imam tersebut) maka sah bermakmum dengannya dan ini pada shalat selain shalat jumat, adapun pada shalat jumat maka tidak sah bermakmum dengannya. Sementara pendapat para ulama Hambali seperti pendapat Syafiiyah. (Fiqih al Madzahib al Arba’ah)
Berdasarkan pendapat para ulama Syafii dan Hambali maka sah shalat seorang yang bermakmum dengan orang yang masbuq dan tetap mendapatkan pahala jamaah. Meskipun sebaiknya tidak melaksanakan shalat dibelakang seorang yang masbuq dalam rangka keluar dari perbedaan para ulama diatas.
Imam Seorang yang Masbuq bagi Seoragn Masbuq Lainnya
Adapun seorang yang tadinya sama-sama masbuq dengan imam yang sama kemudian setelah imam salam lalu seorang diantara mereka menjadi imam bagi orang yang tadinya sama-sama bermasbuq dengan imam tersebut maka kebanyakan ulama melarang hal demikian.
Markaz al Fatwa didalam fatwanya No. 5494 menyebutkan bahwa apabila imam telah mengucapkan salam dari shalatnya dan salah seorang dari dua orang yang mabuq ingin menjadi imam—diantara mereka berdua—setelah salam untuk menyempurnakan sisa shalat mereka berdua maka dalam permasalahan ini terdapat dua pandangan dikalangan para ahli ilmu.
Dan kebanyakan fuqaha melarang hal demikian dan yang lebih utama bagi mereka berdua adalah menyempurnakan shalatnya masing-masin setelah imam (mereka) mengucapkan salam dan tidak perlu menjadikan salah seorang dari mereka berdua imam bagi yang lainnya karena setiap dari mereka berdua telah mendapatkan keutamaan jamaah dengan paling tidak mendapatkan satu rakaat bersama imam mereka.
Wallahu A’lam