Islam ya Islam. Begitulah ucapan yang sering terlontar dari sebagian Muslim. Benar, Islam yang diyakini dan diamalkan tentu mempunyai karakteristik yang “paten”. Walaupun, faktanya pengamalan Muslim beragam sesuai mazhab yang dianutnya. Ini wajar sebagai bentuk tafsiran semesta ajaran Islam. Di sini, yang harus dicatat adalah bagaimana pengamalan Islam yang elok, penuh empati, santun, dan tidak melampaui batas.
Kita menyadari bahwa memahami Islam secara tekstualistik dan legal-formal sering mendatangkan sikap ekstrem dan melampaui batas. Padahal, Alquran tidak melegitimasi sedikit pun segenap perilaku dan sikap yang melampaui batas.
Dalam hal ini, ada tiga sikap yang dikategorikan “melampaui batas”. Pertama, ghuluw. Yaitu, bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespons persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan. Kedua, tatharruf, yaitu sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi pada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat.
Ketiga, irhab. Ini yang terlalu mengundang kekhawatiran karena bisa jadi membenarkan kekerasan atas nama agama atau ideologi tertentu. Irhab adalah sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi. “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS al-Nisa’: 171).
Idealnya, seorang Muslim harus mendalami dan memahami ajaran Islam secara komprehensif, utuh, hingga ajaran tersebut memberikan dampak sosial yang positif bagi dirinya. Seperti disebutkan di dalam Alquran, yakni mencerna teks-teks ilahiah secara objektif, hati yang bersih, rasional, hingga mampu memunculkan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Alangkah kering dan gersangnya agama ini jika ternyata aspek eksoterik dalam Islam hanya sebatas legal-formal dan tendensinya tekstualistik. Sebuah ayat tentang jihad, misalnya, akan terasa gersang dan kering apabila pemahamannya dimonopoli oleh tafsir “perang mengangkat senjata”. Padahal, jihad pada masa Rasulullah merupakan satu wujud dan manifestasi pembebasan rakyat untuk menghapus diskriminasi dan melindungi hak-hak rakyat demi terbangunnya sebuah tatanan masyarakat yang beradab.
Titik puncak kesempurnaan beragama seseorang terletak pada kemampuan memahami ajaran Islam dan menyelaminya sehingga sikap arif dan bijaksana (al-hikmah) bisa tersembul keluar dalam segenap pemahaman dan penafsiran itu.
Di sinilah, perlunya mengedepankan wajah Islam yang ramah. Penekanan pada wajah Islam ini secara metodologi menyangkut aspek esoteris dari Islam yang lazimnya disebut dengan pendekatan sufistik. Islam yang ramah adalah wujud dari penyikapan keislaman yang inklusif dan moderat.
Ciri-ciri keberislaman seperti ini adalah penyampaian dakwah yang mengedepankan qaulan karima (perkataan yang mulia), qaulan ma’rufa (perkataan yang baik), qaulan maisura (perkataan yang pantas), qaulan layyinan (perkataan yang lemah lembut), qaulan baligha (perkataan yang berbekas dalam jiwa), dan qaulan tsaqila (perkataan yang berat). Inilah sikap-sikap keberagamaan sebagaimana diamanatkan Alquran dan sunah.
Kita menyadari bahwa memahami Islam secara tekstualistik dan legal-formal sering mendatangkan sikap ekstrem dan melampaui batas. Padahal, Alquran tidak melegitimasi sedikit pun segenap perilaku dan sikap yang melampaui batas.
Dalam hal ini, ada tiga sikap yang dikategorikan “melampaui batas”. Pertama, ghuluw. Yaitu, bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespons persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan. Kedua, tatharruf, yaitu sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi pada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat.
Ketiga, irhab. Ini yang terlalu mengundang kekhawatiran karena bisa jadi membenarkan kekerasan atas nama agama atau ideologi tertentu. Irhab adalah sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi. “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS al-Nisa’: 171).
Idealnya, seorang Muslim harus mendalami dan memahami ajaran Islam secara komprehensif, utuh, hingga ajaran tersebut memberikan dampak sosial yang positif bagi dirinya. Seperti disebutkan di dalam Alquran, yakni mencerna teks-teks ilahiah secara objektif, hati yang bersih, rasional, hingga mampu memunculkan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Alangkah kering dan gersangnya agama ini jika ternyata aspek eksoterik dalam Islam hanya sebatas legal-formal dan tendensinya tekstualistik. Sebuah ayat tentang jihad, misalnya, akan terasa gersang dan kering apabila pemahamannya dimonopoli oleh tafsir “perang mengangkat senjata”. Padahal, jihad pada masa Rasulullah merupakan satu wujud dan manifestasi pembebasan rakyat untuk menghapus diskriminasi dan melindungi hak-hak rakyat demi terbangunnya sebuah tatanan masyarakat yang beradab.
Titik puncak kesempurnaan beragama seseorang terletak pada kemampuan memahami ajaran Islam dan menyelaminya sehingga sikap arif dan bijaksana (al-hikmah) bisa tersembul keluar dalam segenap pemahaman dan penafsiran itu.
Di sinilah, perlunya mengedepankan wajah Islam yang ramah. Penekanan pada wajah Islam ini secara metodologi menyangkut aspek esoteris dari Islam yang lazimnya disebut dengan pendekatan sufistik. Islam yang ramah adalah wujud dari penyikapan keislaman yang inklusif dan moderat.
Ciri-ciri keberislaman seperti ini adalah penyampaian dakwah yang mengedepankan qaulan karima (perkataan yang mulia), qaulan ma’rufa (perkataan yang baik), qaulan maisura (perkataan yang pantas), qaulan layyinan (perkataan yang lemah lembut), qaulan baligha (perkataan yang berbekas dalam jiwa), dan qaulan tsaqila (perkataan yang berat). Inilah sikap-sikap keberagamaan sebagaimana diamanatkan Alquran dan sunah.
republika.co.id