Dalam bahasa Arab, istilah pendidikan disebut tarbiyah, sebuah kata yang sarat makna yang masih seakar dengan kata riba (uang yang selalu berkembang), rabwah (tanah tinggi), dan rabb (sifat Allah yang senantiasa memelihara, mencintai, dan mendidik).
Pendidikan Islam secara umum adalah upaya sistematis untuk membantu anak didik agar tumbuh berkembang mengaktualkan potensinya berdasarkan kaidah-kaidah moral Alquran, ilmu pengetahuan, dan keterampilan hidup. Dengan ungkapan normatif keagamaan, pendidikan berfungsi memfasilitasi agar seseorang tumbuh menjadi pribadi yang hidup berlandaskan tauhid atau abdullah. Secara vertikal, pribadi demikian hanya mau bersujud di hadapan kebesaran Allah, menyatakan haram menyembah sosok manusia ataupun jabatan.
Jika seseorang telah menjadi abdullah, dia juga memiliki misi sebagai khalifatullah untuk mewujudkan sifat Ilahi dalam aktivitas hidupnya. Sistem sekolah adalah salah satu bagian saja dari sebuah proses pendidikan yang cakupannya begitu luas dan prosesnya berlangsung sepanjang hayat.
Disayangkan, ada kecenderungan pemahaman dan proses pendidikan ini telah direduksi menjadi sebuah sekolah di ruang tertutup yang mengandalkan kurikulum serta tatap muka antara guru dan murid di kelas. Rendahnya mutu pendidikan nasional berakibat langsung pada rendahnya mutu SDM umat Islam.
Apalagi citra pelajar tengah terganggu oleh citra negatif, baik yang dikaitkan dengan narkoba, perkelahian, budaya menyontek, maupun pergaulan bebas. Ini semua membuat potret dunia pendidikan di Indonesia kelihatan suram dan pesimistis.
Sesungguhnya dunia pesantren memiliki aset dan dimensi pendidikan yang amat berharga untuk memajukan pendidikan dan memberdayakan potensi masyarakat. Sayangnya, potensi unggul pesantren yang begitu murah, merakyat, dan mengajarkan keterampilan hidup kurang diapresiasi dan didukung secara optimal dengan memasukkan komponen modern.
Kita perlu merenung, berapa banyak energi umat Islam telah terbuang untuk hal-hal yang tidak produktif. Konflik sektarian telah menguras aset umat Islam, sementara dunia pendidikan telantar. Islam tidak lagi menjadi pusat peradaban dunia karena perhatian kita semakin kecil dalam upaya mengembangkan lembaga keilmuan, riset, dan peradaban.
Kita mesti hemat dalam membelanjakan uang pribadi maupun negara, kecuali dalam satu hal, yaitu pendidikan. Itulah yang dilakukan Korea Selatan dan Malaysia yang telah dimulai pada dekade 1970-an dan kini mereka menuai hasilnya. Sementara itu, Indonesia lebih senang membangun beton-beton dan hidup konsumtif-koruptif.
Membangun generasi, sedikitnya memerlukan waktu 20-25 tahun, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, selama masa penantian itu kita harus kerja keras merawat "tanaman" kita sambil berpuasa; menahan diri dari hidup mewah. Kalau gaya hidup konsumtif-koruptif terus berlanjut sehingga investasi manusia melalui program pendidikan tetap telantar, tak ayal ini artinya kita tengah menghancurkan rumah bangsa sendiri. Hancurnya peradaban dunia disebabkan minimnya kepedulian kita pada pengembangan pusat-pusat pendidikan yang bermutu.
Pendidikan Islam secara umum adalah upaya sistematis untuk membantu anak didik agar tumbuh berkembang mengaktualkan potensinya berdasarkan kaidah-kaidah moral Alquran, ilmu pengetahuan, dan keterampilan hidup. Dengan ungkapan normatif keagamaan, pendidikan berfungsi memfasilitasi agar seseorang tumbuh menjadi pribadi yang hidup berlandaskan tauhid atau abdullah. Secara vertikal, pribadi demikian hanya mau bersujud di hadapan kebesaran Allah, menyatakan haram menyembah sosok manusia ataupun jabatan.
Jika seseorang telah menjadi abdullah, dia juga memiliki misi sebagai khalifatullah untuk mewujudkan sifat Ilahi dalam aktivitas hidupnya. Sistem sekolah adalah salah satu bagian saja dari sebuah proses pendidikan yang cakupannya begitu luas dan prosesnya berlangsung sepanjang hayat.
Disayangkan, ada kecenderungan pemahaman dan proses pendidikan ini telah direduksi menjadi sebuah sekolah di ruang tertutup yang mengandalkan kurikulum serta tatap muka antara guru dan murid di kelas. Rendahnya mutu pendidikan nasional berakibat langsung pada rendahnya mutu SDM umat Islam.
Apalagi citra pelajar tengah terganggu oleh citra negatif, baik yang dikaitkan dengan narkoba, perkelahian, budaya menyontek, maupun pergaulan bebas. Ini semua membuat potret dunia pendidikan di Indonesia kelihatan suram dan pesimistis.
Sesungguhnya dunia pesantren memiliki aset dan dimensi pendidikan yang amat berharga untuk memajukan pendidikan dan memberdayakan potensi masyarakat. Sayangnya, potensi unggul pesantren yang begitu murah, merakyat, dan mengajarkan keterampilan hidup kurang diapresiasi dan didukung secara optimal dengan memasukkan komponen modern.
Kita perlu merenung, berapa banyak energi umat Islam telah terbuang untuk hal-hal yang tidak produktif. Konflik sektarian telah menguras aset umat Islam, sementara dunia pendidikan telantar. Islam tidak lagi menjadi pusat peradaban dunia karena perhatian kita semakin kecil dalam upaya mengembangkan lembaga keilmuan, riset, dan peradaban.
Kita mesti hemat dalam membelanjakan uang pribadi maupun negara, kecuali dalam satu hal, yaitu pendidikan. Itulah yang dilakukan Korea Selatan dan Malaysia yang telah dimulai pada dekade 1970-an dan kini mereka menuai hasilnya. Sementara itu, Indonesia lebih senang membangun beton-beton dan hidup konsumtif-koruptif.
Membangun generasi, sedikitnya memerlukan waktu 20-25 tahun, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, selama masa penantian itu kita harus kerja keras merawat "tanaman" kita sambil berpuasa; menahan diri dari hidup mewah. Kalau gaya hidup konsumtif-koruptif terus berlanjut sehingga investasi manusia melalui program pendidikan tetap telantar, tak ayal ini artinya kita tengah menghancurkan rumah bangsa sendiri. Hancurnya peradaban dunia disebabkan minimnya kepedulian kita pada pengembangan pusat-pusat pendidikan yang bermutu.
republika.co.id