Suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal di sebut “halal bi halal”. Umumnya kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan salat Idul Fitri.
Halal bi Halal (halal dengan halal, saling menghalalkan) walaupun namanya mempergunakan bahasa (lafadz) Arab dan telah melembaga di kalangan penduduk Indonesia pada zaman Nabi Saw., dan juga zaman-zaman sesudahnya tidak ditemukan. Hingga abad sekarang; baik di negara-negara Arab maupun di negara Islam lainnya (kecuali di Indonesia) tradisi ini tidak memasyarakat atau tidak ditemukan. Sedangkan di Indonesia, tradisi ini baru mulai diselenggarakan dalam bentuk upacara sekitar akhir tahun 1940-an dan mulai berkembang luas setelah tahun 1950-an. (Ensiklopedi Islam, 2000) Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan halal bi halal berasal dari bahasa (lafadz) Arab yang tidak berdasarkan tata bahasa Arab (ilmu nahwu), sebagai pengganti istilah silaturahmi. Berasal dari kalangan yang tidak mengerti bahasa Arab, tetapi tetap mencintai Islam.
Dewasa ini, halal bi halal diselenggarakan hampir oleh seluruh lapisan masyarakat muslim Indonesia, baik oleh kelompok dari suatu daerah tertentu, keluarga besar, kelompok kerja, kelompok pedagang, organisasi sosial-politik lembaga perusahaan swasta maupun intansi pemerintah. Dengan demikian tergabung dalam beberapa kelompok yang berbeda mengikuti kegiatan halal bi halal. Asal-usul tradisi halal bi halal, dari daerah mana, siapa yang memulai dan kapan kegiatan tersebut mulai diselenggarakan sulit diketahui dengan pasti. Karena, tradisi “Sembah Sungkem” (datang menghadap untuk menyatakan hormat dan bakti kepada orang tua, orang yang lebih tua, atau orang yang lebih tinggi status sosialnya) sudah membudaya dan ada pada pada hampir semua suku dalam masyarakat Indonesia.
Telaah terhadap istilah halal bi halal.
Untuk menghindari kesalah-pahaman terhadap makna, serta penggunaan kalimat halal bi halal, yang dalam tradisi di Indonesia, merupakan pengganti dari Silaturahmi, tampaknya tidak salah jika dilakukan telaah terhadap istilah tersebut, baik dari sisi arti kata, uslub bahasa, sejarah perkembangan makna, serta ilmu bahasa.
Telaah Arti.
Pada umumnya kelompok masyarakat yang mengadakan halal bi halal, mengartikan istilah halal bi halal itu dengan “Saling bebas membebaskan” atau “Saling maaf-memaafkan kesalahan dan dosa”. Jadi kata halal di sini, diartikan “Bebas” atau “Maaf”.
Kata al-Halal menurut Luwes ma’luf (1927:142) artinya Dhiddul Haram (sebalik dari haram). Dan kata al-Haram berarti; tercegah, terlarang, tidak boleh, yang diambil dari kata Mana’a-Harama “Mencegah”. Dengan demikian kata halal berarti “boleh” atau “tidak tercegah” Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Abdul Hamid Hakim (tt:13) yang mengartikan al-halal searti dengan al-mubah atau al-Jaizu artinya “Boleh” (Tidak terlarang). Dengan demikian, kalimat halal bi halal, artinya “Boleh dengan boleh”, bukan saling bebas membebaskan atau saling maaf memaafkan.
Telaah uslub bahasa.
Mungkin saja orang yang menggunakan istilah halal bi halal, ia meniru uslub qur’ani. Dalam Alqur’ân ada uslub yang sepintas hampir mirip seperti itu, misalnya dalam surat al-Maidah 45, "Wa katabnaa 'alaihim fiehaa annan nafsa bin nafsi wal 'aina bil aini wal anfa bil anfi…" “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung…" (QS. Al-Maidah [5]:45)
Jika diperhatikan bentuk uslub dalam Alqur’ân di atas, kemudian dibandingkan dengan uslub al-Halal bi al-Halal sepintas seperti sama, padahal tidak sama, jika dilihat dari sisi makna dan isinya. Uslub yang terdapat dalam Alqur’ân di atas, mengandung makna qisas (hukum balas) yang berisikan seseorang yang telah dirugikan, dimadlaratkan oleh orang lain, dibalas dengan kemadlaratan lagi. Artinya, hal itu berlangsung dalam daur yang negatif dibalas dengan yang negatif pula. Sementara dalam halal bi halal berlangsung dalam kegiatan yang positif, kegiatan yang mengandung nilai baik; saling bersalaman, bersilaturahmi, saling memohon maaf, pengkajian agama dan yang lainnya. Bukan saling balas membalas dengan sesuatu yang memadlaratkan dan menyakitkan. Karena itu, bukan uslub Qur`ani.
Telaah sejarah makna.
Kata halal dahulu pernah digunakan oleh orang Arab jahili (khususnya kampung al-Hams dan Ahlu al-Yaman) saat berthawaf untuk arti dan maksud menghalalkan seluruh tubuh, kecuali bercampur (bersetubuh). Hal ini seperti ungkapan Jalaludin al-Suyuthi (1992, III:439) yang mengutip riwayat Ibnu Abi Syaibah bersumber dari Ibnu Abbas menyebutkan “Bahwasanya perempuan-perempuan berthawaf sambil telanjang, kecuali mereka menutupi parjinya dengan sobekan kain dan berkata, "Alyauma yabduu ba'dhahu au kulluhu wa maa badaa minhu falaauhillahu." Hari ini terbuka sebagian atau seluruhnya, dan apa yang tidak tampak (yang ditutupi) maka tidak Aku halalkan.
Apa yang diungkapkan Jalaludin al-Syuyuthi di atas, dapat diperkuat oleh perkataan Al-Maraghi (1971, III:132) yang mengutip riwayat Sa’id bin Jubair yang isinya, antara lain menyebutkan, “Dulu orang-orang berthawaf di Al-Bait bertelanjang, lalu datang seorang perempuan membuka lalu melemparkan bajunya kemudian berthawaf, menutupi parjinya dengan tangannya, dan berkata seperti perkataan di atas.
Telaah Bahasa.
Kalimat halal bi halal tersusun dari tiga kata, yaitu, halal, bi (al-bâ`u) dan halal, yang kemudian dibentuk menjadi “Halal bi halal”. Lafadz-lafadz tersebut berasal dari Bahasa Arab, tetapi terhadap susunan halal bi halal orang Arabnya sendiri (Shahib al-Lughah) tidak paham dan tidak mengerti terhadap maknanya. Karena itu halal bi halal bukan Bahasa Arab yang benar. Bahasa seperti ini dalam ilmu bahasa Arab (nahwu) disebut Lughah al-Wushtha, artinya, “Bahasa tengah-tengah” bahasa yang tidak ke sana juga tidak ke sini, atau bahasanya orang yang sedang belajar bahasa Arab. Dalam Bahasa Inggris suka disebut bahasa interferensi, bahasa orang yang baru mengenali bahasa, atau bahasa yang tarik-menarik. Kalimat halal bi halal tidak jauh berbeda dengan kalimat “ada-ada saja kamu” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi kalimat Wujud-wujud faqath anta atau kalimat, terutama atau khususnya kepada, diterjemahkan menjadi Wa bil khusus kepada. Kalimat-kalimat seperti ini sekalipun menggunakan lafadz Arab tetapi bukan bahasa Arab yang benar, bukan uslub Arab yang sesuai dengan ilmu Bahasa Arab (nahwu).
Kesalahan berbahasa hampir ada pada setiap penutur dan pengguna bahasa, termasuk juga dalam penuturan bahasa Indonesia. Misalnya, ketika lampu listrik tidak menyala orang menyebutnya “ada aliran“ padahal kalau ada aliran (listrik) lampu listrik tentu menyala, seharusnya orang menyebut “tidak ada aliran” Sampai sekarang orang masih mengatakan “perempatan lima“ yang semestinya menyebut “Simpang lima”. Demikian juga terhadap kendaraan sepeda yang beroda tiga, yang dikendarai oleh orang, suka disebut “Beca“ Padahal “Beca” adalah kendaraan yang ditarik oleh kuda, Be (kuda) Ca (kendaraan).
Kesalahan-kesalahan berbahasa seperti itu, sudah membudaya di kalangan masyarakat kita, sehingga nampaknya sulit untuk diluruskan. Dan jika ada yang mengatakan dengan kata yang benar, karena sudah biasa menggunakan kata itu, terhadap kata yang benar malah menjadi asing, seolah-olah kata-kata yang baru. Hal ini antara lain karena bahasa itu milik bangsa, jika bangsa telah biasa menggunakannya, biasanya sudah tidak menghiraukan lagi kaidah benar-salah, sekalipun keliru dalam penggunaannya.
Kesalahan dan kekeliruan terhadap penggunaan kalimat “ada aliran” “perempatan lima” dan “beca” tampaknya tidak begitu berarti dan bermakna. Lain halnya dengan “halal bi halal” Karena-kalimat terakhir ini dalam tradisi masyarakat kita erat kaitannya dengan kegiatan-kegiatan yang berbau Islam, bernafaskan keislaman; dikaitkan dengan I’dul fitri, dalam tata caranya biasanya diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Alqur’ân yang ada hubungannya dengan Silaturahmi, Ceramah tentang hikmah silaturahmi, bersalaman, ramah-tamah sambil menikmati hidangan dan mendendangkan lagu-lagu kasidah dan sebagainya. Untuk itu, alangkah baiknya jika menggunakan bahasa yang benar, berarti dan bermakna. Katakan saja istilah yang digunakan kalimat “Silaturahmi” dalam tanda kutip, silaturahmi yang tidak karena dan hanya dilakukan setelah I’dul Fitri, tetapi dalam arti yang bersifat umum.
Telaah terhadap “Silaturahmi”.
Telaah Arti.
Kalimat silaturahmi dari bahasa Arab, tersusun dari dua kata silah yaitu, ‘alaqah (hubungan) dan kata al-rahmi yaitu, al-Qarabah (kerabat) atau mustauda’ al-janîn artinya “rahim atau peranakan”. (al-Munawwir, 1638, 1668) Kata al-Rahim seakar dengan kata al-Rahmah dari kata rahima “menyayangi-mengasihi”. Jadi secara harfiyah Silaturahmi artinya “Menghubungkan tali kekerabatan, menghubungkan kasih sayang”.
Al-Raghib (tt, 191) mengkaitkan kata rahim dengan rahim al-mar`ah (rahim seorang perempuan) yaitu tempat bayi di perut ibu. Yang bayi itu punya sifat disayangi pada saat dalam perut dan menyayangi orang lain setelah keluar dari perut ibunya. Dan kata rahim diartikan “kerabat” karena kerabat itu keluar dari satu rahim yang sama. Al-Raghib juga mengutip sabda Nabi, yang isinya menyebutkan, ketika Allah Swt menciptakan rahim, Ia berfirman, “Aku al-Rahman dan engkau al-Rahim, aku ambil namamu dari namaku, siapa yang menghubungkan padamu Aku menghubungkannya dan siapa yang memutuskan denganmu Aku memutuskannya”.
Ini memberi isyarat bahwa rahmah-rahim mengandung makna al-Riqqatu (belas-kasihan) dan al-Ihsân (kedermawanan, kemurahan hati). Ini sejalan dengan pendapat Abdurrahman Faudah (tt, 13) yang menyebutkan, “Rahmah adalah belas kasihan dalam hati yang menghendaki keutamaan dan kebaikan”.
Dengan makna di atas, secara harfiyah arti silaturahmi dapat dikatakan pula, menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan yang menghendaki kebaikan. Dan secara istilah makna silaturahmi, antara lain dapat dipahami dari apa yang dikemukakan Al-maraghi (1971, V:93) yang menyebutkan, “Yaitu menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan dengan sekemampuan”.
Telaah uslub bahasa.
Kalimat silaturahmi merupakan uslub Qur’ani, bahasa Al-Qur’ân, bahasa yang digunakan oleh Rasul Saw. Tentu tidak ada bahasa Arab yang lebih baik kecuali bahasanya Alqur’ân , bahasanya yang digunakan oleh Nabi, bukan bahasa Arab Ashriyah (modern) bukan pula bahasa Arab ‘Amiyah (bahasa Arab pasar) Alqur’ân telah mengisyaratkan tentang hal itu, antara lain firman Allah Swt, dalam al-Ra’du 21, "Walladziina yashiluuna maa amarallahu bihi an yuushala wa yakhsyauna rabbahum wa yakhaafuuna suu`al hisaab."
Terhadap lafadz Yashiluna para mufashir, seperti Al-Maraghi (V:93) Mahmud Hijazi (II:228) dan Shawi (II:336) Jalaludin al-Syuyuthi (IV:637) tidak berbeda pendapat, bahwa yang dimaksud adalah yashiluuna arrahmi menyambungkan kekerabatan, kasih sayang yang merupakan haq semua hamba. Dan kata Arrahmi ditunjukan pula oleh al-Kahfi dalam ayat 81 dengan kalimat Aqrabu rahman lebih dalam kasih sayangnya) Jadi silaturahmi itu bahasa Alqur’ân . Sementara kalimat silaturahmi yang disabdakan oleh Nabi dan sebagai bahasanya Nabi, banyak kita jumpai dalam hadits-hadits, antara lain: "Asra'ul khaira tsawaaban albirra wa shilatur rahmi." kebaikan yang paling cepat balasannya, yaitu berbuat kebaikan dan silaturahmi.
Telaah sejarah.
Seperti telah disebutkan di atas, kata al-rahmi erat kaitannya dengan wanita, yaitu, rahimnya seorang ibu, tempat janin dalam perut seorang wanita. Wanita pada masa Arab Jahili dipandang rendah tidak bernilai, karena itu bayi wanita yang baru lahir dari perut seorang ibu, mereka bunuh. Dan seorang ibu yang ditinggal mati oleh suaminya, dipandang harta pusaka yang dapat diwariskan kepada ahli warisnya.
Silaturahmi yang diperintahkan Allah Swt, tidak dapat dilepaskan dari tugas Rasul untuk melakukan (tazkiyah) pembersihan, yaitu dalam hal ini tazkiyah al-akhlak (Pembersihan prilaku) yang kotor yang dilakukan Arab Jahili, yang memandang wanita tidak benilai Maka untuk itu, Allah dan Rasulnya melarang membunuh anak wanita atau laki-laki, dalam firmannya al-An’am: 151, dan melarang menjadikan wanita sebagai harta pusaka, dalam firmannya An-Nisa: 19. Dalam hal berbakti, berbuat kebaikan, menghubungkan tali kekerabatan/silaturahmi, Islam memperhatikan terlebih dahulu kepada wanita. Dengan kata lain silaturahmi mengandung makna “Mengangkat derajat wanita” yang dulu direndahkan oleh orang Arab Jahili. Hal ini sebagaimana terungkap dalam beberapa hadits Nabi, antara lain, Khalid bin Ma’dan berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, sesungguhnya Allah mewasiatkanmu (berbuat baik) kepada ibumu (3X) Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya mewasiatkanmu (berbuat baik) kepada bapakmu (2X) kemudian bersabda, Ia wasiatkan kepadamu (berbuat baik) kepada yang lebih dekat lalu pada yang lebih dekat. (Ibnu Majah)
Dan dalam keterangan lain dari Abi Ramtsah ia berkata: Aku sampai pada Rasulullah, lalu aku mendengar ia bersabda: Berbuat baiklah kepada ibumu, dan bapakmu dan saudara perempuanmu dan saudara laki-lakimu kemudian kepada yang lebih dekat padamu lalu kepada yang lebih dekat padamu. (Shahihain)
Dalam Islam, diajarkan pula silaturahmi kepada orang yang telah meninggal, yaitu dengan cara menghubungkan kasih sayang kepada saudara orang yang telah mati yang masih hidup. Dalam sebuah hadits Ibnu Hibban dari Abi Burdah dijelaskan,
Ash-Shiddiqi (1977, Al-Islam, II:374) membagi silaturahmi kepada dua bagian, silaturahmi umum dan silaturahmi khusus;
Silaturahmi umum yaitu, silaturahmi kepada siapa saja; seagama dan tidak seagama, kerabat dan bukan kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan diantaranya; menghubungi, mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur dan berbuat baik dan lain sebagainya yang bersifat kemanusiaan. Silaturahmi ini disebut silaturahmi kemanusiaan.
Silaturahmi khusus yaitu, silaturahmi kepada kerabat, kepada yang seagama, yaitu dengan cara membantunya dengan harta, dengan tenaga, menolong, menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemadharatan yang menimpanya, dan berdo’a, dan membimbing agamanya karena takut adzab Allah. Al-Maraghi (V:93) menyebutkan silaturahmi kepada kerabat mu’min, yaitu menghubungkan karena imannya, ihsan, memberi pertolongan, mengasihi, menyampaikan salam, menengok yang sakit, membantu dan memperhatikan haknya.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan:dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. (QS. 17:26)
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk”. (QS. 13:21)
Dengan memperhatikan dan membandingkan dua hal di atas (Silaturahmi dan Halal bi halal) Silaturahmi lebih bermakna dari pada halal bi halal. Suatu kegiatan yang mengandung nilai baik, alangkah baiknya jika diberi nama yang baik pula. Tradisi berkumpul, bersalaman, saling memaafkan yang dilakukan sebagian orang di Indonesia setelah I’dul Fitri yang suka disebut halal bi halal, lebih bermakna jika disebut silaturahmi.
Silaturahmi dalam pandangan Islam tidak terikat waktu, dan tidak terikat pada yang seagama, tetapi kapan waktu, dan kepada siapa saja, seagama juga berbeda agama dengan cara-cara yang tertentu.
Halal bi Halal (halal dengan halal, saling menghalalkan) walaupun namanya mempergunakan bahasa (lafadz) Arab dan telah melembaga di kalangan penduduk Indonesia pada zaman Nabi Saw., dan juga zaman-zaman sesudahnya tidak ditemukan. Hingga abad sekarang; baik di negara-negara Arab maupun di negara Islam lainnya (kecuali di Indonesia) tradisi ini tidak memasyarakat atau tidak ditemukan. Sedangkan di Indonesia, tradisi ini baru mulai diselenggarakan dalam bentuk upacara sekitar akhir tahun 1940-an dan mulai berkembang luas setelah tahun 1950-an. (Ensiklopedi Islam, 2000) Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan halal bi halal berasal dari bahasa (lafadz) Arab yang tidak berdasarkan tata bahasa Arab (ilmu nahwu), sebagai pengganti istilah silaturahmi. Berasal dari kalangan yang tidak mengerti bahasa Arab, tetapi tetap mencintai Islam.
Dewasa ini, halal bi halal diselenggarakan hampir oleh seluruh lapisan masyarakat muslim Indonesia, baik oleh kelompok dari suatu daerah tertentu, keluarga besar, kelompok kerja, kelompok pedagang, organisasi sosial-politik lembaga perusahaan swasta maupun intansi pemerintah. Dengan demikian tergabung dalam beberapa kelompok yang berbeda mengikuti kegiatan halal bi halal. Asal-usul tradisi halal bi halal, dari daerah mana, siapa yang memulai dan kapan kegiatan tersebut mulai diselenggarakan sulit diketahui dengan pasti. Karena, tradisi “Sembah Sungkem” (datang menghadap untuk menyatakan hormat dan bakti kepada orang tua, orang yang lebih tua, atau orang yang lebih tinggi status sosialnya) sudah membudaya dan ada pada pada hampir semua suku dalam masyarakat Indonesia.
Telaah terhadap istilah halal bi halal.
Untuk menghindari kesalah-pahaman terhadap makna, serta penggunaan kalimat halal bi halal, yang dalam tradisi di Indonesia, merupakan pengganti dari Silaturahmi, tampaknya tidak salah jika dilakukan telaah terhadap istilah tersebut, baik dari sisi arti kata, uslub bahasa, sejarah perkembangan makna, serta ilmu bahasa.
Telaah Arti.
Pada umumnya kelompok masyarakat yang mengadakan halal bi halal, mengartikan istilah halal bi halal itu dengan “Saling bebas membebaskan” atau “Saling maaf-memaafkan kesalahan dan dosa”. Jadi kata halal di sini, diartikan “Bebas” atau “Maaf”.
Kata al-Halal menurut Luwes ma’luf (1927:142) artinya Dhiddul Haram (sebalik dari haram). Dan kata al-Haram berarti; tercegah, terlarang, tidak boleh, yang diambil dari kata Mana’a-Harama “Mencegah”. Dengan demikian kata halal berarti “boleh” atau “tidak tercegah” Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Abdul Hamid Hakim (tt:13) yang mengartikan al-halal searti dengan al-mubah atau al-Jaizu artinya “Boleh” (Tidak terlarang). Dengan demikian, kalimat halal bi halal, artinya “Boleh dengan boleh”, bukan saling bebas membebaskan atau saling maaf memaafkan.
Telaah uslub bahasa.
Mungkin saja orang yang menggunakan istilah halal bi halal, ia meniru uslub qur’ani. Dalam Alqur’ân ada uslub yang sepintas hampir mirip seperti itu, misalnya dalam surat al-Maidah 45, "Wa katabnaa 'alaihim fiehaa annan nafsa bin nafsi wal 'aina bil aini wal anfa bil anfi…" “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung…" (QS. Al-Maidah [5]:45)
Jika diperhatikan bentuk uslub dalam Alqur’ân di atas, kemudian dibandingkan dengan uslub al-Halal bi al-Halal sepintas seperti sama, padahal tidak sama, jika dilihat dari sisi makna dan isinya. Uslub yang terdapat dalam Alqur’ân di atas, mengandung makna qisas (hukum balas) yang berisikan seseorang yang telah dirugikan, dimadlaratkan oleh orang lain, dibalas dengan kemadlaratan lagi. Artinya, hal itu berlangsung dalam daur yang negatif dibalas dengan yang negatif pula. Sementara dalam halal bi halal berlangsung dalam kegiatan yang positif, kegiatan yang mengandung nilai baik; saling bersalaman, bersilaturahmi, saling memohon maaf, pengkajian agama dan yang lainnya. Bukan saling balas membalas dengan sesuatu yang memadlaratkan dan menyakitkan. Karena itu, bukan uslub Qur`ani.
Telaah sejarah makna.
Kata halal dahulu pernah digunakan oleh orang Arab jahili (khususnya kampung al-Hams dan Ahlu al-Yaman) saat berthawaf untuk arti dan maksud menghalalkan seluruh tubuh, kecuali bercampur (bersetubuh). Hal ini seperti ungkapan Jalaludin al-Suyuthi (1992, III:439) yang mengutip riwayat Ibnu Abi Syaibah bersumber dari Ibnu Abbas menyebutkan “Bahwasanya perempuan-perempuan berthawaf sambil telanjang, kecuali mereka menutupi parjinya dengan sobekan kain dan berkata, "Alyauma yabduu ba'dhahu au kulluhu wa maa badaa minhu falaauhillahu." Hari ini terbuka sebagian atau seluruhnya, dan apa yang tidak tampak (yang ditutupi) maka tidak Aku halalkan.
Apa yang diungkapkan Jalaludin al-Syuyuthi di atas, dapat diperkuat oleh perkataan Al-Maraghi (1971, III:132) yang mengutip riwayat Sa’id bin Jubair yang isinya, antara lain menyebutkan, “Dulu orang-orang berthawaf di Al-Bait bertelanjang, lalu datang seorang perempuan membuka lalu melemparkan bajunya kemudian berthawaf, menutupi parjinya dengan tangannya, dan berkata seperti perkataan di atas.
Telaah Bahasa.
Kalimat halal bi halal tersusun dari tiga kata, yaitu, halal, bi (al-bâ`u) dan halal, yang kemudian dibentuk menjadi “Halal bi halal”. Lafadz-lafadz tersebut berasal dari Bahasa Arab, tetapi terhadap susunan halal bi halal orang Arabnya sendiri (Shahib al-Lughah) tidak paham dan tidak mengerti terhadap maknanya. Karena itu halal bi halal bukan Bahasa Arab yang benar. Bahasa seperti ini dalam ilmu bahasa Arab (nahwu) disebut Lughah al-Wushtha, artinya, “Bahasa tengah-tengah” bahasa yang tidak ke sana juga tidak ke sini, atau bahasanya orang yang sedang belajar bahasa Arab. Dalam Bahasa Inggris suka disebut bahasa interferensi, bahasa orang yang baru mengenali bahasa, atau bahasa yang tarik-menarik. Kalimat halal bi halal tidak jauh berbeda dengan kalimat “ada-ada saja kamu” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi kalimat Wujud-wujud faqath anta atau kalimat, terutama atau khususnya kepada, diterjemahkan menjadi Wa bil khusus kepada. Kalimat-kalimat seperti ini sekalipun menggunakan lafadz Arab tetapi bukan bahasa Arab yang benar, bukan uslub Arab yang sesuai dengan ilmu Bahasa Arab (nahwu).
Kesalahan berbahasa hampir ada pada setiap penutur dan pengguna bahasa, termasuk juga dalam penuturan bahasa Indonesia. Misalnya, ketika lampu listrik tidak menyala orang menyebutnya “ada aliran“ padahal kalau ada aliran (listrik) lampu listrik tentu menyala, seharusnya orang menyebut “tidak ada aliran” Sampai sekarang orang masih mengatakan “perempatan lima“ yang semestinya menyebut “Simpang lima”. Demikian juga terhadap kendaraan sepeda yang beroda tiga, yang dikendarai oleh orang, suka disebut “Beca“ Padahal “Beca” adalah kendaraan yang ditarik oleh kuda, Be (kuda) Ca (kendaraan).
Kesalahan-kesalahan berbahasa seperti itu, sudah membudaya di kalangan masyarakat kita, sehingga nampaknya sulit untuk diluruskan. Dan jika ada yang mengatakan dengan kata yang benar, karena sudah biasa menggunakan kata itu, terhadap kata yang benar malah menjadi asing, seolah-olah kata-kata yang baru. Hal ini antara lain karena bahasa itu milik bangsa, jika bangsa telah biasa menggunakannya, biasanya sudah tidak menghiraukan lagi kaidah benar-salah, sekalipun keliru dalam penggunaannya.
Kesalahan dan kekeliruan terhadap penggunaan kalimat “ada aliran” “perempatan lima” dan “beca” tampaknya tidak begitu berarti dan bermakna. Lain halnya dengan “halal bi halal” Karena-kalimat terakhir ini dalam tradisi masyarakat kita erat kaitannya dengan kegiatan-kegiatan yang berbau Islam, bernafaskan keislaman; dikaitkan dengan I’dul fitri, dalam tata caranya biasanya diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Alqur’ân yang ada hubungannya dengan Silaturahmi, Ceramah tentang hikmah silaturahmi, bersalaman, ramah-tamah sambil menikmati hidangan dan mendendangkan lagu-lagu kasidah dan sebagainya. Untuk itu, alangkah baiknya jika menggunakan bahasa yang benar, berarti dan bermakna. Katakan saja istilah yang digunakan kalimat “Silaturahmi” dalam tanda kutip, silaturahmi yang tidak karena dan hanya dilakukan setelah I’dul Fitri, tetapi dalam arti yang bersifat umum.
Telaah terhadap “Silaturahmi”.
Telaah Arti.
Kalimat silaturahmi dari bahasa Arab, tersusun dari dua kata silah yaitu, ‘alaqah (hubungan) dan kata al-rahmi yaitu, al-Qarabah (kerabat) atau mustauda’ al-janîn artinya “rahim atau peranakan”. (al-Munawwir, 1638, 1668) Kata al-Rahim seakar dengan kata al-Rahmah dari kata rahima “menyayangi-mengasihi”. Jadi secara harfiyah Silaturahmi artinya “Menghubungkan tali kekerabatan, menghubungkan kasih sayang”.
Al-Raghib (tt, 191) mengkaitkan kata rahim dengan rahim al-mar`ah (rahim seorang perempuan) yaitu tempat bayi di perut ibu. Yang bayi itu punya sifat disayangi pada saat dalam perut dan menyayangi orang lain setelah keluar dari perut ibunya. Dan kata rahim diartikan “kerabat” karena kerabat itu keluar dari satu rahim yang sama. Al-Raghib juga mengutip sabda Nabi, yang isinya menyebutkan, ketika Allah Swt menciptakan rahim, Ia berfirman, “Aku al-Rahman dan engkau al-Rahim, aku ambil namamu dari namaku, siapa yang menghubungkan padamu Aku menghubungkannya dan siapa yang memutuskan denganmu Aku memutuskannya”.
Ini memberi isyarat bahwa rahmah-rahim mengandung makna al-Riqqatu (belas-kasihan) dan al-Ihsân (kedermawanan, kemurahan hati). Ini sejalan dengan pendapat Abdurrahman Faudah (tt, 13) yang menyebutkan, “Rahmah adalah belas kasihan dalam hati yang menghendaki keutamaan dan kebaikan”.
Dengan makna di atas, secara harfiyah arti silaturahmi dapat dikatakan pula, menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan yang menghendaki kebaikan. Dan secara istilah makna silaturahmi, antara lain dapat dipahami dari apa yang dikemukakan Al-maraghi (1971, V:93) yang menyebutkan, “Yaitu menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan dengan sekemampuan”.
Telaah uslub bahasa.
Kalimat silaturahmi merupakan uslub Qur’ani, bahasa Al-Qur’ân, bahasa yang digunakan oleh Rasul Saw. Tentu tidak ada bahasa Arab yang lebih baik kecuali bahasanya Alqur’ân , bahasanya yang digunakan oleh Nabi, bukan bahasa Arab Ashriyah (modern) bukan pula bahasa Arab ‘Amiyah (bahasa Arab pasar) Alqur’ân telah mengisyaratkan tentang hal itu, antara lain firman Allah Swt, dalam al-Ra’du 21, "Walladziina yashiluuna maa amarallahu bihi an yuushala wa yakhsyauna rabbahum wa yakhaafuuna suu`al hisaab."
Terhadap lafadz Yashiluna para mufashir, seperti Al-Maraghi (V:93) Mahmud Hijazi (II:228) dan Shawi (II:336) Jalaludin al-Syuyuthi (IV:637) tidak berbeda pendapat, bahwa yang dimaksud adalah yashiluuna arrahmi menyambungkan kekerabatan, kasih sayang yang merupakan haq semua hamba. Dan kata Arrahmi ditunjukan pula oleh al-Kahfi dalam ayat 81 dengan kalimat Aqrabu rahman lebih dalam kasih sayangnya) Jadi silaturahmi itu bahasa Alqur’ân . Sementara kalimat silaturahmi yang disabdakan oleh Nabi dan sebagai bahasanya Nabi, banyak kita jumpai dalam hadits-hadits, antara lain: "Asra'ul khaira tsawaaban albirra wa shilatur rahmi." kebaikan yang paling cepat balasannya, yaitu berbuat kebaikan dan silaturahmi.
Telaah sejarah.
Seperti telah disebutkan di atas, kata al-rahmi erat kaitannya dengan wanita, yaitu, rahimnya seorang ibu, tempat janin dalam perut seorang wanita. Wanita pada masa Arab Jahili dipandang rendah tidak bernilai, karena itu bayi wanita yang baru lahir dari perut seorang ibu, mereka bunuh. Dan seorang ibu yang ditinggal mati oleh suaminya, dipandang harta pusaka yang dapat diwariskan kepada ahli warisnya.
Silaturahmi yang diperintahkan Allah Swt, tidak dapat dilepaskan dari tugas Rasul untuk melakukan (tazkiyah) pembersihan, yaitu dalam hal ini tazkiyah al-akhlak (Pembersihan prilaku) yang kotor yang dilakukan Arab Jahili, yang memandang wanita tidak benilai Maka untuk itu, Allah dan Rasulnya melarang membunuh anak wanita atau laki-laki, dalam firmannya al-An’am: 151, dan melarang menjadikan wanita sebagai harta pusaka, dalam firmannya An-Nisa: 19. Dalam hal berbakti, berbuat kebaikan, menghubungkan tali kekerabatan/silaturahmi, Islam memperhatikan terlebih dahulu kepada wanita. Dengan kata lain silaturahmi mengandung makna “Mengangkat derajat wanita” yang dulu direndahkan oleh orang Arab Jahili. Hal ini sebagaimana terungkap dalam beberapa hadits Nabi, antara lain, Khalid bin Ma’dan berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, sesungguhnya Allah mewasiatkanmu (berbuat baik) kepada ibumu (3X) Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya mewasiatkanmu (berbuat baik) kepada bapakmu (2X) kemudian bersabda, Ia wasiatkan kepadamu (berbuat baik) kepada yang lebih dekat lalu pada yang lebih dekat. (Ibnu Majah)
Dan dalam keterangan lain dari Abi Ramtsah ia berkata: Aku sampai pada Rasulullah, lalu aku mendengar ia bersabda: Berbuat baiklah kepada ibumu, dan bapakmu dan saudara perempuanmu dan saudara laki-lakimu kemudian kepada yang lebih dekat padamu lalu kepada yang lebih dekat padamu. (Shahihain)
Dalam Islam, diajarkan pula silaturahmi kepada orang yang telah meninggal, yaitu dengan cara menghubungkan kasih sayang kepada saudara orang yang telah mati yang masih hidup. Dalam sebuah hadits Ibnu Hibban dari Abi Burdah dijelaskan,
Ash-Shiddiqi (1977, Al-Islam, II:374) membagi silaturahmi kepada dua bagian, silaturahmi umum dan silaturahmi khusus;
Silaturahmi umum yaitu, silaturahmi kepada siapa saja; seagama dan tidak seagama, kerabat dan bukan kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan diantaranya; menghubungi, mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur dan berbuat baik dan lain sebagainya yang bersifat kemanusiaan. Silaturahmi ini disebut silaturahmi kemanusiaan.
Silaturahmi khusus yaitu, silaturahmi kepada kerabat, kepada yang seagama, yaitu dengan cara membantunya dengan harta, dengan tenaga, menolong, menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemadharatan yang menimpanya, dan berdo’a, dan membimbing agamanya karena takut adzab Allah. Al-Maraghi (V:93) menyebutkan silaturahmi kepada kerabat mu’min, yaitu menghubungkan karena imannya, ihsan, memberi pertolongan, mengasihi, menyampaikan salam, menengok yang sakit, membantu dan memperhatikan haknya.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan:dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. (QS. 17:26)
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk”. (QS. 13:21)
Dengan memperhatikan dan membandingkan dua hal di atas (Silaturahmi dan Halal bi halal) Silaturahmi lebih bermakna dari pada halal bi halal. Suatu kegiatan yang mengandung nilai baik, alangkah baiknya jika diberi nama yang baik pula. Tradisi berkumpul, bersalaman, saling memaafkan yang dilakukan sebagian orang di Indonesia setelah I’dul Fitri yang suka disebut halal bi halal, lebih bermakna jika disebut silaturahmi.
Silaturahmi dalam pandangan Islam tidak terikat waktu, dan tidak terikat pada yang seagama, tetapi kapan waktu, dan kepada siapa saja, seagama juga berbeda agama dengan cara-cara yang tertentu.