Loading...

13 August 2010

FatahKun

Menjadi pribadi Mu'aafan

Oleh: KH. Ikin Shodikin

Rasulullah Saw banyak menggunakan bahasa Arab secara urfi (adat dan kebiasaan) para sahabat pun memahaminya, tetapi dalam beberapa kesempatan lain kadang mereka tidak memahami bahasa Arab yang diungkapkan Rasulullah Saw. Seperti halnya orang Sunda yang mengerti bahasa Sunda, tetapi ketika mendengar ungkapan dalam bahasa Sunda banyak yang tidak memahami ungkapan itu padahal sama diungkapkan dengan bahasa Sunda.

Pada suatu kesempatan Rasulullah mengungkapkan salah satu firman Allah, Innaladzina 'amanu walam yalbisu imanahum bidzulmin, Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mereka tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kedzaliman. Para sahabat bertanya, “Bila demikian siapa diantara kami yang tidak pernah dzalim?” Dalam arti mereka memahami dzalim berdasarkan urfi. Rasulullah Saw menjelaskan bahwa yang dimaksud dzalim pada ayat tersebut adalah Syirik. Ternyata penggunaan istilah semacam ini belum menjadi baku dan berlaku di kalangan orang-orang Arab.

Pada suatu saat Rasulullah Saw mengungkapkan kata-kata Yadun (tangan) dalam arti urfi adalah salah satu anggota badan tapi ketika sudah menjadi ungkapan tentu akan menjadi berbeda penggunaannya. Rasulullah ditanya oleh istri-istrinya, Siapa diantara kami yang paling dahulu wafat setelah engkau? Rasul menjawab, Athwalu kunna yadain, yang paling panjang tangan diantara kalian. Ketika Rasulullah wafat, istri-istri beliau berkumpul saling megukur siapa diantara mereka yang paling panjang tangan, ternyata ummu salamah, tapi pada kenyataannya yang paling dahulu wafat adalah Zainab binti Jahsyi. Barulah mereka paham bahwa panjang tangan yang dimaksud Rasulullah adalah yang paling banyak shadaqah, bukan secara urfi.

Kalau kita memperhatikan kenapa Rasulullah dalam satu kesempatan menggunakan kata mayyitun tapi dalam kesempatan lain beliau menggunakan kata mayitatun, padahal kejadiannya sama, peristiwa kematian yang menimpa makhluk hidup. Kenapa mayitatun digunakan dan diungkapkan secara mutlak untuk hayawanaat (makhluk hidup), tapi mayitun digunakan untuk manusia. Barangkali meskipun manusia termasuk jenis hayawanat, tetapi jelas bahwa manusia tidak sama dengan hayawanat secara mutlak.

Pada suatu saat ada ungkapan yang berbeda, dalam Alquran sering diungkapkan kata-kata Yaa Ayyuhan Nas apakah akan berubah ungkapan Nas ketika diungkapkan dua kali, Yaa Ayyuhan Nas Nas. Kalau Yaa Ayyuhan Nas dalam Alquran adalah wahai manusia, tetapi yang dimaksud Yaa Ayyuhan Nas Nas sudah berubah, seperti dalam satu makalah dikatakan Dzahaban nas wa baqiya nas nas, apabila manusia sudah hilang sifat kemanusiaannya maka yang tersisa merupakan orang-orang hutan yang seperti manusia atau manusia yang seperti orang hutan. Barangkali ini perbedaan antara Yaa Ayyuhan Nas dan Yaa Ayyuhan Nas Nas.

Pada suatu hari keranda jenazah yang diusung menuju Baqi (tempat pemakaman umum) lewat didepan Rasulullah. Beliau berkata pada para sahabat; ada dua kemungkinan mayit ini apakah dia mustariihun atau mungkin mustaraahun minhu. Pada saat itu para sahabat merasa heran dan bertanya, Maa mustariihu wa maa mustaraahu minhu? Apa yang dimaksud dengan mustariih dan mustaraahu minhu? Rasulullah menjawab, hamba yang mu'min lagi taqwa bila mengalami al-Mautu (kematian) mereka itu akan mustariihun (beristirahat) dari kelelahan, keletihan, dan kepenatan dunia. Sedangkan hamba yang durhaka, maka yang istirahat bukan dia, tapi mustaraahu minhu manusia-manusia disekitarnya yang istirahat bahkan lingkungan, pepohonan serta hewan-hewan pun istirahat dari gangguan dia.

Maka sabda Rasulullah Saw diatas hakikatnya bukan memberitahu para sahabat tetapi terkandung makna insa'i (satu sisi berupa berita dan sisi yang lain berupa larangan). Kunuu mustariihan walaa takunuu mustaraahan minhu, jadilah engkau pribadi yang mustariih jangan menjadi pribadi yang mustaraah minhu. Sebab bagaimanapun akan timbul akibat-akibat selanjutnya, karena pada hakikatnya kematian manusia bukanlah merupakan akhir dari kehidupan tetapi hanya istirahat sementara untuk melanjutkan kehidupan berikutnya.

Dalam kesempatan lain Rasulullah Saw mengungkapkan bahwa pada suatu saat ada yang hanya sekedar mu'min tetapi ada juga yang lebih daripada itu, al-mu'minu taqiyu (mu'min lagi taqwa). Hal ini barangkali dapat kita pahami, Alquran sendiri mengungkapkan menjadi hudan (petunjuk) bukan lilmu'minin tetapi hudan lilmuttaqiin. Dalam ayat lain diterangkan, innama yataqobbalullahu minal muttaqiin, bukan minal mu'minin. Apabila demikian ternyata yang dimaksud dengan ahlunnar (ahli neraka) bukanlah orang-orang kufur, meskipun kita sering berprasangka bahwa yang dimaksud dengan ahlunnar itu adalah mereka, padahal justru ahlunnar itu adalah orang-orang mu'min.

Oleh karenanya, Rasulullah Saw pernah menyatakan, seluruh umatku akan mendapatkan afwun (ampunan) Allah kecuali mereka yang berprilaku mujaharah (mereka yang secara terang-terangan melakukan perbuatan ma'shiyat).

Suatu saat orang tidak malu lagi melakukan perbuatan ma'shiyat bahkan tidak mustahil merasa bangga. Hal seperti inilah barangkali yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya, Almujaharah itu ialah seseorang melakukan suatu perbuatan yang buruk pada malam hari -yang perbuatan itu ditutupi oleh Allah- tetapi pada pagi harinya justru dia sendiri yang menyebarluaskan, membuka aib sendiri, “Malam tadi saya mencuri ayam.”

Memang ada tiga ungkapan bahwa; perbuatan itu perlu dengan taubat, kedua dengan istighfar tetapi ketiga ada karunia Allah berupa afwun tanpa amal shaleh, Allah menurunkan karunia-Nya dan itulah yang dimaksud kata Allah, “Seperti pada waktu didunia Aku menutupi perbuatan itu maka pada hari ini Aku akan mengampuni perbuatan itu.” Tetapi dalam hal ini Ibnu Bathol mengatakan, kenapa Aljahru fi ma'shiyati (terang-terangan melakukan perbuatan ma'shiyat) tidak akan mendapatkan afwun dari Allah karena mereka menganggap enteng akan hak Allah, hak Rasul, dan termasuk pelecehan kepada pribadi-pribadi mu'min yang shaleh.

Maka kesimpulan di atas jelas bahwa pelanggaran yang dilakukan pribadi mu'min itu ada dua macam; pertama, pelanggaran yang langsung dengan Allah, kedua pelanggaran dengan sesama manusia.

Pelanggaran dengan Allah besar harapan akan dimaafkan tetapi pelanggaran dengan sesama manusia inilah yang perlu kita perhatikan.

Apabila pelanggaran dengan sesama manusia tidak pernah ditahalulkan didunia, maka pasti akan terbawa diakhirat dan inilah yang akan terjadi qishos (balasan-balasan) dari perbuatan yang buruk itu.

Mudah-mudahan kita termasuk pribadi-pribadi yang mu'aafan (pemaaf) seandainya kita melakukan kesalahan-kesalahan tertentu.***