Loading...

20 June 2010

FatahKun

Penyimpangan dalam kehidupan manusia

Penyimpangan dalam kehidupan manusia
Pada asalnya, manusia adalah makhluk yang bertauhid, sehingga tauhid merupakan bagian dari fitrah yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Allah Ta’ala berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (QS. Ar-Rum: 30)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (beragama Islam), maka kedua ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karenanya, syirik merupakan unsur luar yang menyusup terhadap fitrah tersebut. Peristiwa penyimpangan terhadap ketauhidan pertama kali adalah terjadi pada kaum Nuh. Mereka menyembah patung-patung. Lalu datanglah Amir bin Luhay Al-Khuza’I yang mengubah agama Ibrahim serta membawa patung-patung ke tanah Arab, khususnya tanah Hijaz, sehingga kemudian patung-patung itu pun disembah. Selanjutnya, perbuatan syirik itu menyebar ke negeri suci tersebut dan negeri-negeri tetangganya, hingga akhirnya Allah mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyeru manusia kepada tauhid dan mengikuti agama Ibrahim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menghancurkan patung-patung yang menjadi sesembahan pada masa jahiliah, hingga kemudian tanah Arab bersih dari berhala sehingga Allah kemudian menyempurnakan nikmat-Nya untuk segenap alam. Suasana ketauhidan yang penuh berkah pun terus dipelihara oleh generasi-generasi awal yang merupakan generasi terbaik dari umat ini. Sampai kemudian kebodohan dalam masalah agama merajalela pada generasi-generasi akhir dan agama pun terasuki oleh pemahaman-pemahaman asing.



Manusia secara umum mengakui tauhid rububiyah, yaitu meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah adalah yang menciptakan dan mengatur keberadaan alam semesta beserta isinya. Manusia yang mengingkari tauhid rububiyah ini sangatlah sedikit, seperti Fir’aun, orang atheis atau komunis. Akan tetapi, pengingkaran terhadap rububiyah tersebut bukanlah karena mereka tidak meyakini bahwa ada Dzat yang Maha Kuasa yang menciptakan alam semesta ini, namun lebih karena kesombongan yang ada dalam diri mereka sendiri, “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya.” (QS. An-Naml: 14)

SYIRIK

Syirik yaitu menyamakan Allah dengan sesuatu selain-Nya dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah semata, seperti berdoa, beribadah, bernadzar, dan sebagainya. Oleh karenanya, barangsiapa yang menyembah selain Allah, berarti ia telah meletakkan ibadah tidak pada tempatnya serta memberikan sesuatu kepada yang tidak berhak menerimanya, dan hal tersebut merupakan bentuk kezhaliman yang paling besar. “Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13).

Allah Ta’ala pun tidak akan mengampuni orang-orang yang mengerjakan kesyirikan jika ia kelak meninggal dalam keadaan belum bertobat terhadap kesyirikan yang telah dikerjakannya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa: 48)

Surga pun Allah haramkan bagi orang-orang yang melakukan kesyirikan, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72)

Perbuatan syirik pun dapat menjadi sebab terhapusnya pahala segala amal sholeh yang telah dikerjakan seseorang, “Seandainya mereka menyekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 88)

Syirik Besar

Syirik besar dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam neraka jika ia meninggal dalam keadaan belum bertaubat kepada-Nya. Syirik besar adalah memalingkan suatu ibadah kepada selain Allah. “Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka, dan tidak (pula) manfaat, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami disisi Allah.’” (QS. Yunus: 18)

Syirik besar memiliki empat jenis, yaitu:

Pertama, syirik dakwah (doa), yaitu ia berdoa bukan semata kepada Allah, akan tetapi ia pun berdoa kepada selain-Nya, “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (QS. Al-Ankabut: 65)

Kedua, syirik niat, keinginan, dan tujuan, yaitu ia meniatkan suatu bentuk peribadatan kepada selain-Nya, “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa-apa yang telah mereka usahakan di dunia, serta sia-siasalah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16)

Ketiga, syirik ketaatan, yaitu menaati selain Allah dalam hal perbuatan maksiat terhadap Allah Ta’ala. “Mereka menjadikan orang-orang ‘alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam. Padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa. Tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31)

Keempat, syirik dalam hal cinta, yaitu menyamakan kecintaan terhadap Allah dengan selain-Nya. “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)

Syirik Kecil

Perbuatan syirik kecil tidaklah menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, akan tetapi perbuatan tersebut mengurangi kesempurnaan tauhid dan merupakan perantara (wasilah) kepada syirik besar. Adapun jenis-jenis syirik kecil yaitu:

Pertama, syirik nyata (dzahir), yaitu syirik dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya bersumpah dengan nama selain Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah kufur atau syirik.” (HR. At-Tirmidzi).

Termasuk di dalam perbuatan syirik kecil adalam ucapan “atas kehendak Allah dan kehendakmu”, sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Ketika ada seseorang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu,’ maka ketika itu beliau bersabda, ‘Apakah engkau menjadikan diriku sebagai sekutu bagi Allah?’ Katakanlah, ‘Hanya atas kehendak Allah saja.’” (HR. An-Nasa’i)

Termasuk pula ucapan, “Kalau bukan karena Allah dan karena fulan.” Perkataan yang benar adalah, “Atas kehendak Allah, kemudian kehendak fulan.” Adapun yang berbentuk perbuatan adalah seperti memakai kalung atau benang sebagai penangkal marabahaya, atau menggantungkan jimat karena takut terkena ‘ain. Jika ia berkeyakinan bahwa perbuatannya tersebut merupakan sebab-sebab terhindarnya dirinya dari marabahaya, maka hal tersebut termasuk syirik kecil, sebab Allah tidak menjadikan sebab-sebab (hilangnya marabahaya) dengan hal-hal tersebut. Sedangkan jika ia meyakini bahwa hal-hal tersebutlah yang menolak marabahaya, maka ia terjerumus dalam perbuatan syirik besar karena ia telah menggantungkan perlindungan kepada selain Allah.

Kedua, syirik tersembunyi, yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti ingin dipuji orang (riya’) dan ingin didengar orang (sum’ah). Termasuk, melakukan suatu amal untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun ia juga ingin mendapat pujian dari manusia. “Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia berbuat syirik sedikit pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hal yang paling aku takuti atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu?” Beliau menjawab, “Yaitu riya’.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani)

KUFUR

Kufur secara bahasa berarti menutupi, sedangkan menurut syara’ berarti tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya.

1. Kufur Besar

Perbuatan kufur besar dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Adapun jenis-jenis kufur, yaitu:

Pertama, kufur karena mendustakan, “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang-orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah atau mendustakan kebenaran tatkala yang haq itu datang kepadanya? Bukankah dalah neraka jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir?” (QS. Al-Ankabut: 68)

Kedua, kufur karena enggan dan sombong, padahal ia membenarkannya. “Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Tunduklah kamu kepada Adam.’ Lalu mereka tunduk kecuali iblis, ia enggan dan congkak. Dan ia adalah termasuk orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)

Ketiga, kufur karena ragu.

Keempat, kufur karena berpaling, “Dan orang-orang kafir itu berpaling dari peringatan yang disampaikan kepada mereka.” (QS. Al-Ahqaf: 3)

Kelima, kufur karena nifaq, “Yang demikian itu adalah karena mereka beriman (secara lahirnya), lalu kafir (secara batinnya), kemudian hati mereka dikunci mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti.” (Al-Munafiqun: 3)

2. Kufur Kecil

Kufur kecil yaitu kufur yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, serta ia termasuk kufur amali. Kufur amali ialah dosa-dosa yang disebutkan dalam Al-Qur’an maupun sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar, seperti kufur nikmat dan sebagainya. “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83)

Termasuk juga membunuh kaum muslimin, “Mencaci orang Islam adalah suatu kefasikan, sedangkan membunuhnya adalah suatu kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian juga dengan bersumpah dengan nama selain Allah, “Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur dan syirik.” (HR. At-Tirmidzi)

Namun demikian, Allah tetap menjadikan para pelaku dosa tersebut sebagai orang-orang yang beriman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS. Al-Baqarah: 178)

Dengan demikian, maka perbedaan antara kufur besar dan kufur kecil yaitu:

1. Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menghapuskan pahala dari amal-amalnya, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam dan tidak pula menghapus pahala amal-amalnya, tetapi bisa mengurangi pahala sesuai dengan kadar kekufuran yang dilakukannya serta pelakunya tetap dikenai ancaman.

2. Kufur besar menjadikan pelakunya kekal dalam neraka, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya kekal di neraka. Bahkan bisa saja Allah mengampuni pelaku dari kufur kecil tersebut sehingga ia pun tidak masuk ke dalam neraka.

3. Kufur besar menjadikan halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur kecil tidak dikenai sanksi demikian.

4. Kufur besar mengharuskan adanya permusuhan yang sesungguhnya, antara pelakunya dengan orang-orang beriman. Kaum mukmin tidaklah boleh mencintai dan setia kepadanya, walaupun ia adalah keluarga dekat. Adapun kufur kecil, maka pelakunya tetap dicintai dan diberi kesetiaan sesuai dengan kadar keimanannya, serta dibenci sesuai dengan kadar kemaksiatan yang dilakukannya.

NIFAQ


Nifaq secara bahasa berasal dari kata nafiqa’, yaitu salah satu lubang tempat keluarnya yarbu (hewan sejenis tikus) dari sarangnya, jika ia dicari di satu lubang, maka ia akan muncul dari lubang yang lain. Menurut syara’, nifaq berarti menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan.

1. Nifaq I’tiqadi (keyakinan)

Nifaq I’tiqadi merupakan jenis nifaq besar. Pelaku nifaq jenis ini secara lahiriah menampakkan keislaman, tetapi di dalam hatinya menyembunyikan kekufuran. Nifaq I’tiqadi menjadikan pelakunya keluar dari agama dan kelak ia berada di kerak neraka. Orang-orang munafik jenis ini akan selalu ada pada setiap zaman. Apalagi ketika kekuatan Islam mulai muncul. Dalam keadaan seperti itu, biasanya mereka akan masuk ke dalam Islam untuk melakukan tipu daya agar jiwa dan harta mereka terselamatkan. Nifaq jenis ini ada beberapa macam:

Pertama, mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau mendustakan sebagian dari apa yang beliau bawa.

Kedua, membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau membenci sebagian apa yang beliau bawa.

Ketiga, merasa gembira dengan kemunduran agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keempat, tidak senang dengan kemenangan agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

2. Nifaq ‘Amali (perbuatan)

Nifaq amali yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafik, tetapi masih tetap ada keimanan di dalam hatinya. Nifaq jenis ini tidaklah mengeluarkan pelakunya dari agama, akan tetapi menjadi perantara kepada nifaq yang lebih besar. Terkadang pada diri seseorang terkumpul kebiasaan-kebiasaan baik dan buruk. Oleh karenanya, ia akan mendapat konsekuensi sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat.

JAHILIYAH

Jahiliyah adalah keadaan yang ada pada bangsa Arab sebelum Islam datang, yaitu kebodohan tentang Allah, rasul-rasul-Nya, dan syariat agama. Jahiliyah berasal dari kata al-jahl yang berarti ketiadaan ilmu. Jahiliah terbagi menjadi dua bagian.

Pertama, jahiliah yang bersifat umum, yaitu sifat jahiliah yang terjadi sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah berakhir dengan diutusnya beliau.

Kedua, jahiliah khusus, yaitu kejahiliahan yang terjadi pada sebagian Negara, daerah, maupun orang. Oleh karenanya, merupakan suatu kesalahan ketika ada seseorang yang menggeneralisasi kejahiliahan yang terjadi pada zaman sekarang. Sikap yang benar adalah dengan mengatakan kejahiliahan yang terjadi pada sebagian Negara atau sebagian orang di zaman ini. Adapun menggeneralisasi kejahiliahan, maka hal tersebut tidak dibenarkan, sebab dengan diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berarti kejahiliahan secara umum telah hilang.

KEFASIKAN


Secara bahasa, kefasikan berarti al-khuruj, yaitu keluar. Sedangkan secara syara’, maksudnya adalah keluar dari ketaatan kepada Allah.

Kefasikan dibagi dalam dua jenis, yaitu:

Pertama, kefasikan yang membuat pelakunya keluar dari agama, yakni kufur. Oleh karenanya, orang-orang kafir disebut juga dengan orang fasik. Maka ketika menyebut iblis, Allah Ta’ala berfirman, “Maka ia berbuat fasik (mendurhakai) perintah Rabb-nya.” (QS. Al-Kahfi: 50).

Kedua, kefasikan yang tidak membuat seseorang keluar dari agama, sehingga orang-orang fasik dari kaum muslimin disebut dengan pelaku kemaksiatan, dan kefasikan ini tidaklah mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.

KESESATAN

Kesesatan adalah berpaling dari jalan yang lurus. Ia menjadi lawan dari petunjuk. Kesesatan dapat dinisbatkan pada beberapa makna seperti, kekufuran, kemusyrikan, menyalahi kebenaran, kesalahan, atau lupa. “Barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya ia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya ia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri.” (QS. Al-Isra’: 15)

RIDDAH

Secara bahasa, riddah berarti kembali. Dan menurut istilah syar’i berarti kufur setelah Islam, “Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217)

Riddah memiliki beberapa jenis, yaitu:

Pertama, riddah dengan ucapan. Riddah jenis ini misalnya mencaci Allah atau rasul-Nya, mengakui ilmu ghaib, atau membenarkan seseorang yang mengaku sebagai nabi.

Kedua, riddah dengan perbuatan. Misalnya sujud kepada berhala, membuang mushaf Al-Qur’an, melakukan sihir, serta memutuskan suatu perkara dengan menggunakan hukum selain hukum Allah.

Ketiga, riddah dengan keraguan tentang sesuatu yang telah jelas hukumnya, seperti ragu akan keharaman zina atau khamr, ragu terhadap kebenaran ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ragu tentang kewajiban shalat lima waktu, atau ragu terhadap Islam sebagai agama yang paling benar.

Keempat, riddah terhadap I’tiqad (keyakinan). Misalnya seperti keyakinan bolehnya menyekutukan Allah.

Konsekuensi Hukum Bagi Seseorang yang Murtad

1. Pelakunya diminta untuk bertaubat. Jika ia bertaubat dan kembali masuk Islam dalam masa tiga hari, maka taubatnya diterima kemudian ia dibiarkan (tidak dibunuh).

2. Jika ia tidak mau bertaubat, maka ia wajib dibunuh berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah ia.” (HR. Bukhari, Abu Daud)

3. Dilarang membelanjakan hartanya di saat ia dalam masa diminta bertaubat. Jika ia kembali masuk Islam, maka harta itu tetap menjadi miliknya. Sedangkan bila ia tetap dalam kemurtadannya, maka harta itu menjadi harta rampasan (fa’i) baitul mal sejak ia dibunuh karena kemurtadannya. Pendapat lain mengatakan bahwa ketika ia telah jelas kemurtadannya, maka hartanya dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum muslimin.

4. Terputusnya hak waris mewarisi antara dirinya dengan keluarganya. Ia tidak mewarisi harta keluarganya, dan keluarganya tidak mewarisi hartanya.

5. Jika ia mati dalam keadaan murtad, maka tidak boleh ia dimandikan, disolatkan, dan tidak pula dikubur dalam pekuburan kaum muslimin. Sebaiknya ia dikubur bersama orang-orang kafir, atau dikubur di tanah manapun selama bukan dalam wilayah pekuburan kaum muslimin.

Sumber:

Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid 3: Darul Haq (belajar Islam)