Prof. Dr. M. Abdurrahman, MA
(Ketua Umum PP PERSIS)
Ekonomi global semakin kuat masuk ke dalam sistem ekonomi Indonesia seiring dengan dibukanya perdagangan bebas yang akan membolehkan masuknya komoditi internasional, khususnya dari negara-negara maju. Formulanya yang sudah disepakati antara lain dalam skema-skema WTO, SEATO, dan lain-lain. Baru-baru ini yang paling hangat adalah keskatakan dagang China-Asia, ACFTA (Asian-China Free Trade Aggreement). Banyak pihak yang memprotes Indonesia mengikuti ACFTA ini, karena diyakini akan merusak ekonomi Indonesia, terutama bagi pengusaha ekonomi lemah. Bahkan dikhawatirkan pengusaha besar pun akan terkena imbas dengan kebijakan ini. Mereka bisa berubah hanya menjadi “pedagang”, tidak lagi menjadi produsen karena kalah bersaing dengan produk-produk China. Sudah banyak keluhan dari pengusaha, bahkan dikuatkan dengan berbagai “demo buruh” yang selama ini merasa terzalimi karena pemegang kendali “kekuasaan dan keputusan” begitu saja menerima ACFTA “secara bebas”, tanpa ada persetujuan melalui DPR.
Indonesia dengan SDA (sumber daya alam) yang tersedia dan berlimpah belum mampu untuk bertanding dalam aspek apapun termasuk bidang ekonomi. Dengan penduduk yang besar, sekitar 225. 000.000 ternyata tidak mampu bersaing dengan hanya negara Oman yang berpenduduk hanya puluhan juta jiwa. Sekedar main bola saja selalu kalah sampai-sampai penonton harus ikut masuk lapangan untuk membantu pemain memasukkan bola ke gawang musuh, walaupun hanya menumpahkan kekesalan belaka. Salah satu sebabnya adalah kungkungan ekonomi liberal dan neo-liberalnya yang kian kemari kian terasa semakin melemahkan posisi ekonomi umat.
Kerusakan ekonomi pasti akan terus berlangusng sepanjang ekonomi kita tidak berpijak pada landansan yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Saat ajaran Al-Quarn dan Sunnah ditinggalkan, saat itulah umat Islam akan terpingirkan. Amir Syakib Arsalan telah mengemukakan analaisis ini dengan sangat baik masalah dalam bukunya, Limâdza Ta’akhara Al-Muslimûna wa Taqaddama Gahiruhum?
Adalah kenisyaan kualitas umat dimajukan dan ditingkatkan agar dapat menjadi bagian penting menuju kejayaan Islam. Untuk itu, tanggungjawab intelektual dan moral ulama dalam menghadapi perdagangan bebas ini dipertaruhakan. Oleh sebab itu, fatwa agama dalam partisipasinya bela agama dan umat yang mayoritas Muslim amat penting. Fatwa agama ini amat penting karena bila kembali merujuk pada Al-Quran, Sunnah Rasul saw, dan kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah yang menjadi teori-teori untuk digunakan ulama dalam menganalisis sumber hukum ternyata dapat menjawab persoalan zaman, termasuk masalah perdagangan bebas ini. Lalu bagimana fikih Islam mampu menjawab tantangan ini?
Dalam kepustakaan fikih Islam ada ang disebut Saddu Al-Dzarî’ah. Sadd artinya menutup dan dzarî’ah artinya jalan; atau arti lengkapnya adalah menutup jalan. Dzari’ah dapat terjadi melampaui perbuatan atau perkataan, yaitu jalan yang menyampaikan sesuatu kepada yang lainnya. Suatu tangga yang digunakan untuk naik ke atap, misalnya dapat digunakan sebagai dzariah atau jalan. Ali Hasballah (Ushulut Tasyri al-Islami, 1971: 319), menyampaikan definisi Sadd-dzariaha ialah “Man’u ma yajuzu min dzalik idza kana muwashshalan ila ma la yajûz”, melarang sesuatu yang boleh bila menyampaikan kepada yang tidak boleh. Sementara Wahbah Az-Zuhaili mentakan, “Huwa ma yatawashshalu ilas syai al-mamnu’, al-musytamilu ila mafsadatin,” apa yang menyampaikan sesuatu pada yang dilarang dan merusak. Ibn al-Qayyin, lebih sksplisit, sebagaimana dikuitp oleh Wahbah ialah, “Al-Maqshud minas-syai’ laisa minal umum wa innama yufhamu min qarinatil-kalam at-tahadduts minad dzari’ah fi ahkamis-syari’ati min tha’athin aw ma’shiyatin”. (Az-Zuhaili, Ushul Fiqh, II, 1986: 87).
Kaidah ini secara umum memberikan pengertian bahwa dalam kerangka fikih Islam yang boleh dilakukan oleh umat Islam bukan hanya persoalan haram atau tidak, namun juga harus dipertimbangkan sejauh mana implikasinya bagi bangsa dan umat Islam khususnya. Prinsip ini misalnya dapat ditemukan dalilnya seperti dalam Al-Quran, seperti tercantum pada Al-An’am (6: 108) dan hadis yang menunjukkan tentang saddud dzari’ah. Hadis-hadis dimaksud antara lain: larangam talaqquyur rukban (perkengkulakan), larangan mengembala di sekitar perbatasan, larangan ihtikar (meinimbun), dan lain-lain. Selain itu, ada atsra Umar bin al-Khattab yang saat menjadi khalifah pernah melarang dan akan meengusir seorang pedangan di Madinah karena ia menjual dengan harga lebih murah dibandingkan harga umum di pasar (dengan cara obral). Beliau menganggap cara-cara seperti itu merugikan kepentinganm umum. Di samping itu, ada perintah implisit bahwa umat Islam justru harus lebih dekat dengan sesama Muslim dibandingkan dengan orang lain seperti dalam perintah perlunya membangun ukhuwah (Al-Hujurat/49:10), perintah ta’awun (Al-Ma’idah/5: 2), tidak mengandalkan orang lain atau membangun kemandirian (Hud/11: 113).Dalil-dalil itu dapat digunakan untuk menetapkan ketentuan bahwa suatu yang boleh pun, apalagi yang dekat kepada haram dan atau membawa kerugian, tidak boleh dilakukan bila merugikan atau tidak memberikan keuntungan kepada umat. Inilah prinsip Sadd Al-Dzari’ah.
Implemantasi Saddu Al-Dzariah dalam keseharian kita ialah bahwa bila seseorang akan membeli barang, baik yang besifat konsumtif atau produktif, maka harus mengutamakan produk lokal, nasional, dan dalam negeri. Sebab, cara inilah yang akan lebih menguntungkan bagi perkembangan ekonomi bangsa sehingga ketahanan ekonomi dalam negeri dapat lebih kuat.
Dalam sebuah harian diberitakan (Kompas-14 Agustus 2009) bahwa Indonesia membayar bahan makanan impor sebesar hampir 5 milyar Dolar per tahun atau kuarng lebih 50 trilyun Rupiah; suatu jumlah yang tidak sedikit. Untuk kebutuhan garam saja kita masih impor sebesar 900 M pertahun. Pabrik tekstil di Indonesia dan garmen banyak sudah tutup, padahal para pekerjanya adalah umat Islam juga. Dahulu kita meminjam modal yang digunakan untuk membangun pbarik di sini sehingga terbuka lapangan pekerjaan. Sekarang malah dikirim barangnya sehingga para pekerja di-PHK.
Inilah contoh kasus yang dilihat dari aspek Sadd Al-Dazariah tidak menguntunghkan umat Islam. Memang belanja barang-barang impor tidak haram. Namun, pertaanyaannya ialah siapa yang akan kita tolong dengan belanja yang kita lakukan? Apakah orang China daratan sana, atau orang Cimis, Tasik, Majalaya, Bekasi, Berastagi, Sambas, Garut atau Majalengka, Yogya, Surabaya, Medan, dll yang merupakan saudara-saudara kita? Hatilah-hatilah berbelanja belilah produk lokal, demi membela ekonomi bangsa dan umat ini. Wallahu A’lam bishshawab.
(Ketua Umum PP PERSIS)
Ekonomi global semakin kuat masuk ke dalam sistem ekonomi Indonesia seiring dengan dibukanya perdagangan bebas yang akan membolehkan masuknya komoditi internasional, khususnya dari negara-negara maju. Formulanya yang sudah disepakati antara lain dalam skema-skema WTO, SEATO, dan lain-lain. Baru-baru ini yang paling hangat adalah keskatakan dagang China-Asia, ACFTA (Asian-China Free Trade Aggreement). Banyak pihak yang memprotes Indonesia mengikuti ACFTA ini, karena diyakini akan merusak ekonomi Indonesia, terutama bagi pengusaha ekonomi lemah. Bahkan dikhawatirkan pengusaha besar pun akan terkena imbas dengan kebijakan ini. Mereka bisa berubah hanya menjadi “pedagang”, tidak lagi menjadi produsen karena kalah bersaing dengan produk-produk China. Sudah banyak keluhan dari pengusaha, bahkan dikuatkan dengan berbagai “demo buruh” yang selama ini merasa terzalimi karena pemegang kendali “kekuasaan dan keputusan” begitu saja menerima ACFTA “secara bebas”, tanpa ada persetujuan melalui DPR.
Indonesia dengan SDA (sumber daya alam) yang tersedia dan berlimpah belum mampu untuk bertanding dalam aspek apapun termasuk bidang ekonomi. Dengan penduduk yang besar, sekitar 225. 000.000 ternyata tidak mampu bersaing dengan hanya negara Oman yang berpenduduk hanya puluhan juta jiwa. Sekedar main bola saja selalu kalah sampai-sampai penonton harus ikut masuk lapangan untuk membantu pemain memasukkan bola ke gawang musuh, walaupun hanya menumpahkan kekesalan belaka. Salah satu sebabnya adalah kungkungan ekonomi liberal dan neo-liberalnya yang kian kemari kian terasa semakin melemahkan posisi ekonomi umat.
Kerusakan ekonomi pasti akan terus berlangusng sepanjang ekonomi kita tidak berpijak pada landansan yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Saat ajaran Al-Quarn dan Sunnah ditinggalkan, saat itulah umat Islam akan terpingirkan. Amir Syakib Arsalan telah mengemukakan analaisis ini dengan sangat baik masalah dalam bukunya, Limâdza Ta’akhara Al-Muslimûna wa Taqaddama Gahiruhum?
Adalah kenisyaan kualitas umat dimajukan dan ditingkatkan agar dapat menjadi bagian penting menuju kejayaan Islam. Untuk itu, tanggungjawab intelektual dan moral ulama dalam menghadapi perdagangan bebas ini dipertaruhakan. Oleh sebab itu, fatwa agama dalam partisipasinya bela agama dan umat yang mayoritas Muslim amat penting. Fatwa agama ini amat penting karena bila kembali merujuk pada Al-Quran, Sunnah Rasul saw, dan kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah yang menjadi teori-teori untuk digunakan ulama dalam menganalisis sumber hukum ternyata dapat menjawab persoalan zaman, termasuk masalah perdagangan bebas ini. Lalu bagimana fikih Islam mampu menjawab tantangan ini?
Dalam kepustakaan fikih Islam ada ang disebut Saddu Al-Dzarî’ah. Sadd artinya menutup dan dzarî’ah artinya jalan; atau arti lengkapnya adalah menutup jalan. Dzari’ah dapat terjadi melampaui perbuatan atau perkataan, yaitu jalan yang menyampaikan sesuatu kepada yang lainnya. Suatu tangga yang digunakan untuk naik ke atap, misalnya dapat digunakan sebagai dzariah atau jalan. Ali Hasballah (Ushulut Tasyri al-Islami, 1971: 319), menyampaikan definisi Sadd-dzariaha ialah “Man’u ma yajuzu min dzalik idza kana muwashshalan ila ma la yajûz”, melarang sesuatu yang boleh bila menyampaikan kepada yang tidak boleh. Sementara Wahbah Az-Zuhaili mentakan, “Huwa ma yatawashshalu ilas syai al-mamnu’, al-musytamilu ila mafsadatin,” apa yang menyampaikan sesuatu pada yang dilarang dan merusak. Ibn al-Qayyin, lebih sksplisit, sebagaimana dikuitp oleh Wahbah ialah, “Al-Maqshud minas-syai’ laisa minal umum wa innama yufhamu min qarinatil-kalam at-tahadduts minad dzari’ah fi ahkamis-syari’ati min tha’athin aw ma’shiyatin”. (Az-Zuhaili, Ushul Fiqh, II, 1986: 87).
Kaidah ini secara umum memberikan pengertian bahwa dalam kerangka fikih Islam yang boleh dilakukan oleh umat Islam bukan hanya persoalan haram atau tidak, namun juga harus dipertimbangkan sejauh mana implikasinya bagi bangsa dan umat Islam khususnya. Prinsip ini misalnya dapat ditemukan dalilnya seperti dalam Al-Quran, seperti tercantum pada Al-An’am (6: 108) dan hadis yang menunjukkan tentang saddud dzari’ah. Hadis-hadis dimaksud antara lain: larangam talaqquyur rukban (perkengkulakan), larangan mengembala di sekitar perbatasan, larangan ihtikar (meinimbun), dan lain-lain. Selain itu, ada atsra Umar bin al-Khattab yang saat menjadi khalifah pernah melarang dan akan meengusir seorang pedangan di Madinah karena ia menjual dengan harga lebih murah dibandingkan harga umum di pasar (dengan cara obral). Beliau menganggap cara-cara seperti itu merugikan kepentinganm umum. Di samping itu, ada perintah implisit bahwa umat Islam justru harus lebih dekat dengan sesama Muslim dibandingkan dengan orang lain seperti dalam perintah perlunya membangun ukhuwah (Al-Hujurat/49:10), perintah ta’awun (Al-Ma’idah/5: 2), tidak mengandalkan orang lain atau membangun kemandirian (Hud/11: 113).Dalil-dalil itu dapat digunakan untuk menetapkan ketentuan bahwa suatu yang boleh pun, apalagi yang dekat kepada haram dan atau membawa kerugian, tidak boleh dilakukan bila merugikan atau tidak memberikan keuntungan kepada umat. Inilah prinsip Sadd Al-Dzari’ah.
Implemantasi Saddu Al-Dzariah dalam keseharian kita ialah bahwa bila seseorang akan membeli barang, baik yang besifat konsumtif atau produktif, maka harus mengutamakan produk lokal, nasional, dan dalam negeri. Sebab, cara inilah yang akan lebih menguntungkan bagi perkembangan ekonomi bangsa sehingga ketahanan ekonomi dalam negeri dapat lebih kuat.
Dalam sebuah harian diberitakan (Kompas-14 Agustus 2009) bahwa Indonesia membayar bahan makanan impor sebesar hampir 5 milyar Dolar per tahun atau kuarng lebih 50 trilyun Rupiah; suatu jumlah yang tidak sedikit. Untuk kebutuhan garam saja kita masih impor sebesar 900 M pertahun. Pabrik tekstil di Indonesia dan garmen banyak sudah tutup, padahal para pekerjanya adalah umat Islam juga. Dahulu kita meminjam modal yang digunakan untuk membangun pbarik di sini sehingga terbuka lapangan pekerjaan. Sekarang malah dikirim barangnya sehingga para pekerja di-PHK.
Inilah contoh kasus yang dilihat dari aspek Sadd Al-Dazariah tidak menguntunghkan umat Islam. Memang belanja barang-barang impor tidak haram. Namun, pertaanyaannya ialah siapa yang akan kita tolong dengan belanja yang kita lakukan? Apakah orang China daratan sana, atau orang Cimis, Tasik, Majalaya, Bekasi, Berastagi, Sambas, Garut atau Majalengka, Yogya, Surabaya, Medan, dll yang merupakan saudara-saudara kita? Hatilah-hatilah berbelanja belilah produk lokal, demi membela ekonomi bangsa dan umat ini. Wallahu A’lam bishshawab.