Mengajarkan sholat kepada anak, bukan suatu hal yang sulit. Tinggal hafalkan bacaannya lalu ajarkan secara praktek, selesai. Hal yang sangat sulit adalah bagaimana caranya agar anak mau sholat sendiri, tanpa disuruh.
Mengajarkan anak mengaji, juga bukan suatu hal yang sulit, begitu banyak metode BBAQ di jaman sekarang dapat dijadikan pilihan. Mulai dari Iqra, Al Barqi, Tahsinul Quran, dan masih banyak lagi metode lain, yang semakin mempermudah seseorang untuk sekedar bisa mengaji. Yang sulit itu bagaimana cara mendidik anak agar mau mengaji.
Mengajarkan perbuatan baik pada anak juga bukan suatu hal yang sulit, yang sulit adalah bagaimana agar menjadikan anak mencintai perbuatan baik.
Bisa sholat dan bisa ngaji adalah target awal sebuah pendidikan anak dalam Islam. “Bisa” sholat dan ngaji memiliki pengertian si anak tahu bagaimana cara sholat dan mengaji dengan baik. Kata ‘bisa’ disini adalah sebuah kecerdasan yang berada dalam ranah kognitif juga psikomotor jika anak sudah mampu melakukan gerakan-gerakan sholat dengan baik dan benar.
Seperti yang kita ketahui, manusia memiliki tiga ranah kecerdasan yaitu kognitif (kecerdasan otak/nalar), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan). Namun, terkadang pola pendidikan yang ada lingkungan kita lebih menitikberatkan aspek kognitif dan menganaktirikan aspek yang lain. Buktinya, masih banyak orang tua yang sangat bangga manakala anaknya sudah bisa sholat dan bisa ngaji, tetapi manakala anaknya sudah beranjak besar, bahkan baligh, orang tua merasa bukan masalah yang besar ketika anaknya tidak sholat, jarang ngaji dan tak menutup aurat.
Lalu siapakah yang seharusnya mendapatkan pendidikan dalam hal ini? Anak-anakkah? Ataukah orang tua yang belum juga sadar akan tanggung jawabnya terhadap anak.
Melanjutkan pendidikan anak dari katagori ‘bisa’ menjadi ‘mau’ memerlukan strategi pembelajaran yang tepat. Anak tidak cukup hanya diberi doktrin dalam bentuk instruksi-instruksi saja, apalagi disertai bumbu ancaman hukuman, walaupun pada tahapan tertentu hukuman perlu diberikan. Yang diperlukan disini adalah bagaimana membangun kesadaran anak agar memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Penanaman tanggung jawab tidak terlepas dari cara orang tua mendidik anaknya. Hanya saja orang tua harus faham betul sudah sampai sejauhmana si anak memahami konsep pembelajaran yang diajarkannya. Apakah baru tahapan kognitif saja? Atau sudah sampai pada ranah afektif? Untuk akhlaq misalnya, sekedar ‘tahu’ saja bahwa ini suatu perbuatan yang benar atau salah, tidaklah cukup, akan tetapi pengetahuan tersebut harus mampu mengubah perilaku anak sehingga terdorong untuk berbuat baik, tanpa disuruh.
Kita sering mendengar bahwa manusia memiliki tiga mata yaitu mata yang ada di kepala (mata fisik), mata hati dan mata kaki. Ketiga aspek tersebut mewakili ranah kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang. Sebagai contoh, bila kita melihat seorang gadis kecil mengemis di pinggir jalan, meski berjilbab rapi namun bajunya tampak kucel, kedua kakinya hanya sampai lutut (cacat), wajahnya yang memelas didukung dengan air mata yang selalu turun dari matanya. Apakah yang akan kita lakukan? Kondisi yang ditangkap oleh mata di kepala yang berfungsi untuk melihat, akan mendorong seseorang untuk ’self talk’ atau memberi komentar dalam hati. Pada saat itulah mata hati kita bicara,”Kasihan….” Cukupkah? Seorang yang memiliki cukup sensor empati akan dengan mudah menggerakan mata ketiga yaitu mata kaki, merogoh kantong baju dan bersedekah kepada si pengemis tadi.
Ilustrasi di atas hanyalah sebuah kisah yang mungkin sering kali kita temui, namun terkadang luput dari perhatian kita. Padahal kondisi faktual seperti itu dapat dijadikan sarana untuk melatih kepekaan mata, mata hati dan mata kaki anak kita. Pendidikan anak yang berhasil akan mampu mengkolaborasikan ketiga mata yang kita miliki, mulai dari mata fisik, mata hati dan mata kaki. Sudahkah hal ini tercapai oleh anak-anak kita?
Memang tak mudah memotivasi anak untuk berbuat baik. Perlu trik dan pendekatan yang tepat terhadap anak-anak, tepat cara, tepat waktu dan tepat sasarannya. Teguran atau intruksi yang tidak tepat justru malah menghilangkan rasa empati itu sendiri. Lalu bagaimanakah menumbuhkan motivasi kepada anak sehingga timbul keinginan untuk melakukan sesuatu atas dasar keinginannya sendiri?
Dalam buku SHOOT (Sharpening Our cOncept and Tool) yang disusun oleh Trustco dijelaskan bahwa perubahan perilaku berawal dari adanya stimulus atau rangsangan yang diperoleh dari penglihatan, pendengaran atau dengan kata lain dari informasi yang sampai pada seseorang. Stimulus tersebut menyebabkan terjadinya proses belajar (otak), yang kemudian memunculkan ide atau persepsi. Ide dan persepsi inilah yang kemudian menumbuhkan sikap yang akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu (motivasi). Proses inilah yang kemudian disebut perubahan perilaku.
Sejauhmana perubahan perilaku seorang anak, tergantung dari informasi atau stimulus apa yang selama ini diperoleh dari lingkungannya, khususnya keluarga sebagai lingkungan terdekat. Kalau selama hidupnya si anak melihat lingkungannya positif, dalam arti melihat contoh yang baik, seperti misalnya dia selalu melihat orang tuanya rajin shalat fardlu, tak pernah ketinggalan dengan rowatibnya, shalat malam tak pernah lewat, ucapan-ucapan yang keluar selalu perkataan yang baik, maka itu pulalah informasi yang kelak akan membentuk perilaku anak.
Karena itu, ungkapan “like father, like son” rasanya cukup tepat diberikan. Kalau misalnya sekarang ada orang tua yang dipusingkan oleh anaknya karena harus terus menerus disuruh untuk sholat. Orang tua tersebut sebetulnya tinggal introspeksi diri, mungkin… kita sebagai orang tua belum cukup memberikan informasi yang dapat dilihat dan didengar oleh anak (uswah positif ) yang dapat dijadikan stimulus sebagai langkah awal pembelajaran yang kemudian dapat merubah perilaku si anak. Memang, menjadi orang tua itu gampang-gampang susah…mau punya anak sholeh…ya kitanya dulu yang harus sholeh…
Mengajarkan anak mengaji, juga bukan suatu hal yang sulit, begitu banyak metode BBAQ di jaman sekarang dapat dijadikan pilihan. Mulai dari Iqra, Al Barqi, Tahsinul Quran, dan masih banyak lagi metode lain, yang semakin mempermudah seseorang untuk sekedar bisa mengaji. Yang sulit itu bagaimana cara mendidik anak agar mau mengaji.
Mengajarkan perbuatan baik pada anak juga bukan suatu hal yang sulit, yang sulit adalah bagaimana agar menjadikan anak mencintai perbuatan baik.
Bisa sholat dan bisa ngaji adalah target awal sebuah pendidikan anak dalam Islam. “Bisa” sholat dan ngaji memiliki pengertian si anak tahu bagaimana cara sholat dan mengaji dengan baik. Kata ‘bisa’ disini adalah sebuah kecerdasan yang berada dalam ranah kognitif juga psikomotor jika anak sudah mampu melakukan gerakan-gerakan sholat dengan baik dan benar.
Seperti yang kita ketahui, manusia memiliki tiga ranah kecerdasan yaitu kognitif (kecerdasan otak/nalar), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan). Namun, terkadang pola pendidikan yang ada lingkungan kita lebih menitikberatkan aspek kognitif dan menganaktirikan aspek yang lain. Buktinya, masih banyak orang tua yang sangat bangga manakala anaknya sudah bisa sholat dan bisa ngaji, tetapi manakala anaknya sudah beranjak besar, bahkan baligh, orang tua merasa bukan masalah yang besar ketika anaknya tidak sholat, jarang ngaji dan tak menutup aurat.
Lalu siapakah yang seharusnya mendapatkan pendidikan dalam hal ini? Anak-anakkah? Ataukah orang tua yang belum juga sadar akan tanggung jawabnya terhadap anak.
Melanjutkan pendidikan anak dari katagori ‘bisa’ menjadi ‘mau’ memerlukan strategi pembelajaran yang tepat. Anak tidak cukup hanya diberi doktrin dalam bentuk instruksi-instruksi saja, apalagi disertai bumbu ancaman hukuman, walaupun pada tahapan tertentu hukuman perlu diberikan. Yang diperlukan disini adalah bagaimana membangun kesadaran anak agar memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Penanaman tanggung jawab tidak terlepas dari cara orang tua mendidik anaknya. Hanya saja orang tua harus faham betul sudah sampai sejauhmana si anak memahami konsep pembelajaran yang diajarkannya. Apakah baru tahapan kognitif saja? Atau sudah sampai pada ranah afektif? Untuk akhlaq misalnya, sekedar ‘tahu’ saja bahwa ini suatu perbuatan yang benar atau salah, tidaklah cukup, akan tetapi pengetahuan tersebut harus mampu mengubah perilaku anak sehingga terdorong untuk berbuat baik, tanpa disuruh.
Kita sering mendengar bahwa manusia memiliki tiga mata yaitu mata yang ada di kepala (mata fisik), mata hati dan mata kaki. Ketiga aspek tersebut mewakili ranah kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang. Sebagai contoh, bila kita melihat seorang gadis kecil mengemis di pinggir jalan, meski berjilbab rapi namun bajunya tampak kucel, kedua kakinya hanya sampai lutut (cacat), wajahnya yang memelas didukung dengan air mata yang selalu turun dari matanya. Apakah yang akan kita lakukan? Kondisi yang ditangkap oleh mata di kepala yang berfungsi untuk melihat, akan mendorong seseorang untuk ’self talk’ atau memberi komentar dalam hati. Pada saat itulah mata hati kita bicara,”Kasihan….” Cukupkah? Seorang yang memiliki cukup sensor empati akan dengan mudah menggerakan mata ketiga yaitu mata kaki, merogoh kantong baju dan bersedekah kepada si pengemis tadi.
Ilustrasi di atas hanyalah sebuah kisah yang mungkin sering kali kita temui, namun terkadang luput dari perhatian kita. Padahal kondisi faktual seperti itu dapat dijadikan sarana untuk melatih kepekaan mata, mata hati dan mata kaki anak kita. Pendidikan anak yang berhasil akan mampu mengkolaborasikan ketiga mata yang kita miliki, mulai dari mata fisik, mata hati dan mata kaki. Sudahkah hal ini tercapai oleh anak-anak kita?
Memang tak mudah memotivasi anak untuk berbuat baik. Perlu trik dan pendekatan yang tepat terhadap anak-anak, tepat cara, tepat waktu dan tepat sasarannya. Teguran atau intruksi yang tidak tepat justru malah menghilangkan rasa empati itu sendiri. Lalu bagaimanakah menumbuhkan motivasi kepada anak sehingga timbul keinginan untuk melakukan sesuatu atas dasar keinginannya sendiri?
Dalam buku SHOOT (Sharpening Our cOncept and Tool) yang disusun oleh Trustco dijelaskan bahwa perubahan perilaku berawal dari adanya stimulus atau rangsangan yang diperoleh dari penglihatan, pendengaran atau dengan kata lain dari informasi yang sampai pada seseorang. Stimulus tersebut menyebabkan terjadinya proses belajar (otak), yang kemudian memunculkan ide atau persepsi. Ide dan persepsi inilah yang kemudian menumbuhkan sikap yang akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu (motivasi). Proses inilah yang kemudian disebut perubahan perilaku.
Sejauhmana perubahan perilaku seorang anak, tergantung dari informasi atau stimulus apa yang selama ini diperoleh dari lingkungannya, khususnya keluarga sebagai lingkungan terdekat. Kalau selama hidupnya si anak melihat lingkungannya positif, dalam arti melihat contoh yang baik, seperti misalnya dia selalu melihat orang tuanya rajin shalat fardlu, tak pernah ketinggalan dengan rowatibnya, shalat malam tak pernah lewat, ucapan-ucapan yang keluar selalu perkataan yang baik, maka itu pulalah informasi yang kelak akan membentuk perilaku anak.
Karena itu, ungkapan “like father, like son” rasanya cukup tepat diberikan. Kalau misalnya sekarang ada orang tua yang dipusingkan oleh anaknya karena harus terus menerus disuruh untuk sholat. Orang tua tersebut sebetulnya tinggal introspeksi diri, mungkin… kita sebagai orang tua belum cukup memberikan informasi yang dapat dilihat dan didengar oleh anak (uswah positif ) yang dapat dijadikan stimulus sebagai langkah awal pembelajaran yang kemudian dapat merubah perilaku si anak. Memang, menjadi orang tua itu gampang-gampang susah…mau punya anak sholeh…ya kitanya dulu yang harus sholeh…