Loading...

22 April 2010

FatahKun

Mendidik Dengan Hati

mendidik dengan hati
Oleh : Yeni Hendriyani

Keluarga, sebuah kata yang tidak asing di telinga. Kita akan langsung memvisualisasikan kata itu dalam benak kita dengan gambaran sebuah rumah, lengkap dengan ayah, ibu dan anak, karena memang definisi dari ‘keluarga’ pun adalah ibu, bapak dengan anak; seisi rumah (Kamus Umum Bahasa Indonesia)

Keluarga, sesungguhnya adalah sebuah organisasi terkecil dalam masyarakat yang memiliki karakteristik unik, dalam pengertian pasti akan selalu ada perbedaan antara keluarga yang satu dengan yang lainnya, bahkan meskipun itu berasal dari kakek atau nenek yang sama.

Organisasi kecil yang bernama keluarga merupakan sebuah miniature yang dapat menggambarkan karakteristik orang-orang yang ada di dalamnya. Jika seorang anak pendiam dan pemalu biasanya hal tersebut adalah gambaran orang tuanya atau salah satu dari orang tuanya. Sebaliknya, jika seorang anak energik, luwes dalam bergaul, dan kritis dalam menyikapi fenomena di sekitarnya, biasanya memiliki orang tua yang cenderung demokratis, luwes pula dalam pergaulan dan berwawasan luas. Hal demikian membuktikan bahwa gambaran yang ada pada anak, adalah gambaran pola asuh yang diberikan orang tuanya. Maka tidak salah jika Islam mengatakan :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِه - رواه مسلم
“Tidak satupun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan “fitrah” (Islam), maka ‘orang tua’nyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Muslim)

Menukil hadits di atas, Islam telah menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk “fitrah”. Namun kemudian fakta yang terjadi kita sering melihat bahwa ternyata begitu banyak perilaku manusia yang tidak sesuai dengan “fitrah”nya, mengapa hal itu bisa terjadi?

Sesungguhnya ‘fitrah’nya manusia bersifat potensial. Ia tidak dapat menjadikan manusia dengan sendirinya menjadi ‘fitrah’, tergantung siapa yang kemudian memberi warna terhadap kefitrahannya.

Kita mungkin ingat cerita tentang Tarzan, seorang anak manusia yang dipelihara oleh seekor orang utan, maka jadilah dia Tarzan yang manusia tapi berperilaku orang utan.

‘Fitrah’nya manusia perlu dijaga, dipelihara, ibarat tanaman yang dipelihara petani di kebun. Orang tua berperan sebagai pemelihara kebun itu. Jika ingin tanamannya tumbuh dengan baik, maka tanaman tersebut harus diberi pupuk yang baik, dijaga pertumbuhannya dari gulma (tumbuhan pengganggu) yang akan menghambat pertumbuhannya.

Pupuk yang baik bagi tumbuh kembangnya seorang anak manusia agar menjadi insan kamil adalah pola didik dan pola asuh yang terarah. Nilai-nilai kebajikan yang harus terus menerus ditanamkan sejak dini, memberikan uswah yang baik kepada anak, dan tentunya do’a orang tua kepada Alloh agar menjadikan anaknya menjadi sholeh, adalah satu paket yang tidak boleh dipisahkan.

Mendidik anak bisa dikatakan gampang-gampang susah. Tapi tentunya hal ini tidak boleh mengabaikan metoda pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan usia anak. Pendidikan hanya berupa doktrin semata hanyalah akan menghasilkan anak yang tidak memiliki kepribadian, atau bahkan justru malah lari jadi pemberontak.

Pendidikan yang baik adalah yang berlandaskan hati, cinta dan kasih sayang. Seorang orang tua harus mampu meraih hati anaknya terlebih dahulu, baru kemudian nilai-nilai kebajikan dapat ditanamkan.

Dalam buku yang berjudul Kiat Mempengaruhi Jiwa dan Akal Anak, Dimas M. Rasyid mengungkapkan bahwa ada beberapa kiat yang dapat mempengaruhi jiwa anak pada saat tumbuh :

1. Bersahabat dan jadilah teladan baginya.

2. Tunaikan hak-hak anak, yaitu ajari Al Quran, menjadi ibu yang sholeh, beri nama yang baik.

3. Gembirakan dan hiburlah hatinya.

4. Tumbuhkan rasa percaya diri pada anak, yaitu dengan memperkuat kemauan anak, menumbuhkan kepercayaan social, kepercayaan ekonomi dan bisnis.

5. Motivasi anak untuk kebajikan dan mengingatkan akan keburukan

6. Perhatikan kecenderungannya, angkatlah potensinya dan perbaiki kelemahannya.

7. Berbicara sesuai tingkat intelektualitasnya.

8. Latih mereka. Memberi tugas sesuai dengan jenis kelaminnya, memberi tugas sesuai dengan usianya, bertahap dalam melatih, tidak mencercanya ketika salah, memantaunya di awal tugas (control), tidak menugaskan sesuatu pada waktu yang tidak tepat.

9. Dengarkan dia, secara reflektif. Hendaknya kita menghargai perasaannya dan tunjukkan bahwa kita memahami perasaan anak, tampakkan bahwa kita benar-benar menyimak apa yang dikatakan, ulangi apa yang dia ucapkan, dan ekspresikan bahwa kita sedang memikirkan perasaannya, berikan respon positif, berikan umpan balik dengan nasihat atau usulan yang membangun jiwanya.

10. Perbanyak kegiatan yang mengembangkan : permainan cerita dan buku-buku fiksi ilmiah, lukisan dan hiasan, drama anak-anak seusianya, kegiatan ekstrakurikuler, membaca buku, dan menyalurkan hobinya.

Itulah dia kiat-kiat sukses meraih hati anak. Mudah-mudahan tulisan ini dapat mengubah paradigma cara berpikir kita, bahwa anak adalah betul-betul titipan Alloh, bukan hanya sebuah implikasi dari ritual sebuah perkawinan. Anak adalah juga sebuah investasi berharga yang harus kita jaga kehidupan lahir batinnya.


www.persis.or.id