Loading...

03 April 2010

FatahKun

Janji Sebelum Segala Janji

” Mitsaq yang diambil oleh Allah Ta’ala dari Adam dan keturunannya adalah benar adanya.”

Mitsaq berarti janji. Makna matan ini, Allah Ta’ala telah mengambil janji dari seluruh manusia dan mempersaksikan kepada mereka, bahwa Dia adalah Rabb alam semesta. Landasan matan yang menerangkan tentang mitsaq ini adalah firman Allah,

“(Ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari punggung (sulbi) mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Benar, (Engkau adalah Rabb kami). Kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (anak-cucu Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah); atau agar kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Allah sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka, apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?’.” (QS. Al-A’raf: 172-173)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RDL bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai ayat ini. Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah mengambil janji dari punggung Adam as (saat dia berada) di Na’man—dekat Arafah. Dari sulbi-nya Allah mengeluarkan semua keturunannya dan menebarkan mereka di hadapan-Nya, kemudian Dia berbicara kepada mereka. Allah berfirman, ‘Bukankah aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Benar, (Engkau adalah Rabb kami). Kami menjadi saksi.’

Penciptaan Ruh

Berdasarkan ayat di atas, sebagian ulama menyatakan bahwa ruh diciptakan lebih dahulu daripada jasad. Allah telah menciptakan semua ruh anak-cucu Adam, yakni ruh yang Allah keluarkan dari punggungnya pada hari persaksian itu. Jika Allah berkehendak untuk menciptakan seseorang, Dia memerintahkan malaikat yang bertugas mengurus ruh, lalu ruh pun ditiupkan pada janin manusia yang berusia 120 hari di kandungan.

Menurut sebagian ulama yang lain, ayat tersebut tidak harus dipahami seperti itu. Bagi Allah yang Mahakuasa, mudah saja mengeluarkan mereka dari punggung Nabi Adam lalu mengembalikannya. Kemudian, ketika janin manusia berumur 120 hari dalam kandungan, Allah menciptakan ruhnya dan ditiupkanlah ruh itu kepadanya. Yang seperti itu bukan perkara yang sulit bagi Allah.

Apa pun, kita wajib mengimani bagian yang disepakati oleh para ulama—pada bagian yang diperselisihkan, kita diperbolehkan memilih salah satu pendapat yang menurut kita dalilnya lebih kuat—bahwa Allah telah mengambil janji kepada kita semua dan mempersaksikan bahwa Dia adalah Rabb kita. Bahwa kita telah mengucapkan, “Balaa syahidnaa.”

Dalil Fitrah

Berdasarkan ayat di atas pula—dan dalil-dalil yang lain—para ulama menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan di atas fitrah, di atas pengakuan terhadap tauhid Rububiyah, bahwa Allah adalah Khaliq (Pencipta), Malik (Pemilik), dan Mudabbir (Pengatur) mereka. Rasulullah SAW bersabda,

“Tidak ada seorang pun yang dilahirkan, melainkan ia dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R. Muslim)

Karena itulah sejatinya tidak ada udzur dan hujjah bagi orang yang mengingkari Rububiyah Allah dan beribadah kepada selain-Nya di dunia, lalu pada hari Kiamat kelak dia mengatakan, “Kami telah lalai dari hal itu.” Atau mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Allah sejak dahulu, sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang sesudah mereka, hanya mengikuti mereka.”

Sejatinya dalil fitrah itu cukup. Ada ulama mengatakan, jika ada bayi yang ditinggal di hutan belantara atau di dalam gua sebatang kara sehingga dia besar di tempat itu, niscaya dia akan meyakini Rububiyah Allah. Sebab tidak ada yang menyimpangkannya dari fitrahnya.

Meskipun demikian, Allah tidak mencukupkan dalil fitrah ini sebagai alasan untuk meminta manusia bertanggung jawab atas semua amal perbuatan dan ucapan mereka. Mereka baru dimintai pertanggungjawaban atas semua itu setelah sampainya hujjah/risalah kepada mereka. Allah berfirman,

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisa`: 165)

“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (al-A’raf: 6)

Alangkah luas kasih sayang Allah kepada kita!

Testimoni Muallaf

Ketika kita berdakwah atau menyeru seorang Yahudi, Nasrani, Majusi, atau yang lain untuk berislam, sesungguhnya kita sedang menyeru mereka kepada sesuatu yang sudah terpahat dalam jiwanya. Kita menyerunya untuk kembali kepada fitrahnya.

Banyak di antara para muallaf itu yang memberikan kesaksian bahwa agama yang selama ini mereka anut, mereka rasakan sebagai agama yang batil dan dipenuhi keragu-raguan. Setelah berislam, barulah mereka merasakan ketentraman batin.

Ada juga di antara tokoh agamawan non-muslim yang sebelum memeluk Islam sudah yakin bahwa agama yang selama ini mereka anut bukanlah agama Allah. Begitu dia mengenal dan mempelajari Islam, dia pun yakin bahwa Islam adalah agama yang benar dan al-Qur`an itu datang dari Pencipta langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya.

Demikianlah, tidak ada perubahan dalam fitrah Allah. Dan itu adalah dien Allah yang lurus. Hanyasaja kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Salah Paham Ahli Kalam

Orang-orang yang mendalami filsafat dan ilmu kalam seringkali membuat kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan yang dihasilkan oleh para ulama ahlussunnah wal jamaah. Salah satu perbedaan itu menyangkut masalah fitrah.

Para ulama Ahlussunnah meyakini bahwa semua manusia dilahirkan di atas fitrah, sehingga apabila seorang anak muslim hidup di tengah-tengah keluarga muslim yang bersungguh-sungguh dalam menjaga fitrahnya, maka statusnya tetap muslim—telah muslim—ketika dia mencapai akil balig. Sedangkan menurut ulama kalam, masalah agama itu adalah masalah taklid. Maknanya, seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan islami, saat dia mencapai akil balig, dia tidak serta mesta menjadi seorang muslim. Dia harus mengikrarkan dua kalimat syahadat, sehingga dengan itu dia mendapatkan statusnya sebagai seorang muslim.

Sesungguhnya ini adalah kesimpulan yang keliru. Apatah lagi, sudah jamak diketahui bahwa sebelum balig sekalipun, jika seorang anak berbuat baik -mengerjakan shalat, berbakti kepada kedua orang tua, atau berkata jujur, misalnya-maka kebaikannya akan dicatat sebagai amal shalihnya; namun jika dia berbuat dosa -meninggalkan shalat, durhaka kepada kedua orang tua, atau berkata bohong, misalnya – maka pena pencatat amal buruk masih belum berlaku baginya. Sekali lagi, alangkah luas kasih sayang Allah kepada kita!

Wallahu a’lam.

Sumber : arrisalah.net