Qarun adalah sepupu Nabi Musa AS. Ia dikenal sebagai seorang hartawan di Mesir. Dalam Alquran, nama Qarun disebut sebanyak empat kali. Satu kali dalam surat Almu’min dan Al-’Ankabut, dua kali dalam surat Alqashas. Allah SWT memberikan anugerah nikmat kepada Qarun berupa limpahan harta kekayaan. Tetapi, Qarun mengingkari nikmat ini. Dia berkata, ”Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS Alqashas [28]: 78).
Oleh karena itu, Allah SWT menimpakan bencana sebagai hukuman untuknya sekaligus sebagai pelajaran bagi yang lain. ”Maka, kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka, tidak ada suatu golongan pun yang dapat menolongnya dari azab Allah.” (QS Alqashas [28]: 81).
Kisah Qarun ini mengajarkan kita tentang bahaya sifat kufur, cinta dunia, dan sombong. Allah SWT berfirman, ”Dan sesungguhnya Musa telah datang kepada mereka (Qarun, Fir’aun, dan Haman) dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di muka bumi, maka tidaklah mereka luput dari kehancuran.” (QS Al-’Ankabut [29]: 39).
Kisah Qarun pun sekaligus mengajarkan kita arti penting sifat bersyukur. Allah SWT melalui syariat yang dibawa Muhammad SAW mengajarkan kita bagaimana cara menghindari karakter Qarun dengan berbagai cara. Di antaranya adalah dengan membelanjakan harta di jalan-Nya seperti sedekah, zakat, infak, dan wakaf.
Dalam Alquran, Allah SWT menjanjikan, ”Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan harta di jalan Allah adalah serupa sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas lagi Maha penyayang.” (QS Albaqarah [02]: 261).
Islam memberikan rambu-rambu bagi manusia supaya tidak tersesat seperti Qarun. Karenanya, Allah SWT mengingatkan bahwa hendaklah kita bersyukur atas limpahan nikmat kekayaan itu. Inilah yang tidak dilakukan Qarun sehingga Allah SWT menimpakan bencana terhadapnya.
”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim [14]: 7). Bila sudah begitu, apakah masih bernilai harganya? Adakah kekayaan akan bisa menyelamatkannya? Wallahu a’lam bish-shawab.