Loading...

25 November 2009

FatahKun

Mengenal Allah Lebih Dekat

Allah berfirman yang artinya, "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. Al-Hasyr: 19)

Dari ayat yang mulia ini, kita dapat memetik faidah bahwa barangsiapa yang tidak mengenal atau melupakan Allah, maka Allah akan membuatnya lupa atas hakikat dirinya sendiri. Sehingga ia tidak mengetahui sesuatu yang menyebabkan kebaikan bagi dirinya baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan kunci untuk mengenal Allah adalah dengan mempelajari Nama dan Sifat-Sifat-Nya. Karena di alam dunia ini kita tidak bisa melihat Allah secara langsung, maka tentunya tidak ada jalan lain untuk mengenal Nama dan Sifat-Sifat Allah kecuali melalui wahyu dalam Al Qur'an atau melalui hadits Rosululloh shollAllahu 'alaihi wa sallam yang shohih. Rosululloh shollAllahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Ketahuilah, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang dapat melihat Allah 'Azza wa Jalla (di dunia ini, pent) sampai ia meninggal." (HR. Muslim)

Kaidah-Kaidah Penting Untuk Mengenal Allah

Pengenalan kita terhadap Nama dan Sifat Allah harus sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah dan Rosul-Nya. Sehingga kita tidak boleh sembarangan dalam memahami Nama dan Sifat Allah. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh setiap muslim dalam memahami Nama dan Sifat Allah. Di antaranya adalah:

1. Menetapkan Nama dan Sifat bagi Allah sesuai dengan yang telah Ia tetapkan bagi diri-Nya melalui Kitab-Nya atau melalui lisan Rosul-Nya tanpa tahrif, ta'thil, takyif maupun tamtsil.

Yang dimaksud dengan tahrif adalah mengubah lafadz, makna ayat atau hadits yang berkaitan dengan Nama dan Sifat Allah. Contoh tahrif adalah seperti dalam firman Allah yang artinya,

"Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris." (QS. Al-Fajr: 22). S

ebagian orang mengubah makna "datanglah Tuhanmu" menjadi "datanglah perintah Tuhanmu". Ini merupakan jenis tahrif yang dilarang di dalam agama kita. Ayat di atas harus difahami sesuai dengan hakikatnya, yaitu pada hari kiamat nanti, Allah akan benar-benar datang sesuai dengan keagungan-Nya untuk memutuskan perkara para hamba-Nya.

Di antara contoh bentuk tahrif yang lain adalah mengubah makna "tangan" bagi Allah menjadi "nikmat atau kekuasaan" dengan tidak mengimani bahwa Allah mempunyai tangan. Allah Ta'ala berfirman dalam kisah Nabi Adam dan Iblis, yang artinya,

"Wahai Iblis, apa yang menghalangimu untuk sujud kepada orang yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?" (QS. Shood: 75).

Dari ayat ini dapat kita fahami bahwa Allah memang benar-benar mempunyai tangan sesuai dengan keagungan-Nya. Tetapi sebagian orang memaknai "tangan" dengan "kekuasaan". Tentunya ini semua tidak dapat dibenarkan karena telah mengubah maksud dari yang dikehendaki oleh Allah. Kewajiban kita hanyanlah menerima sesuai dengan apa yang telah dikabarkan Allah kepada kita tanpa harus mengotak-atik ayat.

Alangkah indahnya apa yang telah dikatakan oleh Imam Syafi'i rohimahulloh. Beliau berkata, "Aku beriman kepada Allah dan ayat apa yang datang dari Allah, sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Dan aku beriman kepada Rosululloh dan hadits yang datang dari Rosululloh, sesuai dengan yang dikehendaki oleh Rosululloh."

Sedangkan yang dimaksud dengan ta'thil adalah mengingkari Nama atau Sifat Allah Ta'ala. Contoh dari ta'thil misalnya mengingkari keberadaan Allah yang berada di atas langit. Padahal ayat atau hadits yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas langit sangatlah banyak jumlahnya.

Yang dimaksud dengan takyif adalah membicarakan hakikat atau "membagaimanakan" Sifat Allah Ta'ala. Contoh dari takyif ini adalah misalnya tentang firman Allah yang artinya, "Ar-Rohman (Allah) bersemayam di atas 'arsy." (QS. Thooha: 5). 'Arsy adalah singgasana Allah yang berada di atas langit. Orang yang melakukan takyif misalnya dengan mengatakan, "Bagaimana Allah bersemayam?" Pertanyaan seperti ini tidak diperbolehkan karena Allah tidak memberitahukan kepada kita bagaimana Allah bersemayam, apakah dengan berdiri, sambil duduk atau berbaring. Yang wajib bagi kita adalah mengimani bahwa Allah bersemayam di atas 'Arsy-Nya.

Sedangkan yang dimaksud dengan tamtsil adalah menetapkan permisalan bagi Sifat-Sifat Allah seperti sifat para makhluk-Nya. Contoh dari bentuk tamtsil ini seperti orang yang mengatakan, "Tangan Allah seperti tangan manusia." Ini adalah bentuk tamtsil yang dilarang di dalam agama kita.

2. Meniadakan sifat-sifat yang telah ditiadakan penyandarannya kepada Allah, baik peniadaan itu melalui Al-Qur'an maupun hadits-hadits Rosululloh, dengan meyakini bahwa Allah disifati dengan sifat kesempurnaan yang berkebalikan dari sifat yang ditiadakan tersebut.

Contoh dari prinsip ini adalah seperti yang terdapat di dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, yang artinya, "Wahai para hambaku, sesungguhnya Aku mengharomkan kedzoliman atas Diri-Ku..." (HR. Musilim). Dari hadits di atas kita dapat mengetahui bahwa Allah Ta'ala meniadakan bagi Diri-Nya sifat kedzoliman. Oleh karena itu, kita juga harus mensucikan Allah dari sifat kedzoliman dan menetapkan sifat kesempurnaan dari kebalikannya, yaitu keadilan. Sehingga kita menetapkan sifat adil bagi Allah.

3. Tidak menolak dan tidak pula menetapkan terhadap sesuatu yang tidak ada penjelasannya di dalam Al-Qur'an maupun Hadits Rosululloh.

Berkaitan dengan prinsip ini, kita tidak bisa menetapkan atau menolak lafadznya secara mutlak akan tetapi membutuhkan perincian makna dari istilah atau lafadz tersebut. Jika maknanya benar dan sesuai bagi Allah, maka kita tetapkan maknanya. Tetapi jika maknanya tidak sesuai bagi Allah, maka kita menolaknya. Sebagai contoh dari prinsip ini misalnya Allah disifati dengan jihhah (mempunyai arah). Lafadz jihhah tidak terdapat di dalam Al-Qur'an maupun Hadits. Oleh karena itu kita tidak bisa menetapkan atau menolak lafadz ini secara mutlak, namun kita perlu merincinya. Jika yang dimaksud dengan lafadz 'jihhah' tersebut adalah bahwa Allah berada di atas sana dan bersemayam di atas 'Arsy-Nya yang berada di atas langit, maka makna ini benar dan kita terima. Akan tetapi, jika yang dimaksud dengan 'jihhah' tersebut adalah bahwa Allah berada di mana-mana atau menyatu dengan hambanya atau berada di hati para hamba-Nya, maka makna ini tidak benar dan kita menolaknya.

Kita tidak menetapkan lafadz-lafadz tersebut secara mutlak karena memang tidak ada keterangan dari Al-Qur'an maupun hadits yang menetapkannya. Sehingga tatkala kita menetapkannya tanpa merincinya terlebih dahulu, berarti kita telah terjatuh ke dalam larangan Allah yang artinya,

"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak ada ilmu bagimu." (QS. Al-Isro': 36)

Demikian pula kita tidak menolaknya secara mutlak karena Nama dan Sifat Allah yang diberitahukan kepada kita hanyalah sedikit, dan masih ada Nama dan Sifat Allah yang tidak diberitahukan kepada kita. Sebagaimana hal ini terdapat dalam sebuah hadits Nabi shollAllahu 'alaihi wa sallam,

"(Ya Allah), aku meminta kepadaMu dengan nama yang menjadi milikmu, yang engkau namai Diri-Mu dengan-Nya atau yang Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seorang dari makhluk-Mu atau Nama yang engkau simpan dalam ilmu ghoib di sisi-Mu...."

(HR. Ahmad dan lainnya, Shohih). Dari hadits di atas kita dapat mengetahui bahwa Nama dan Sifat Allah tidaklah dibatasi dengan bilangan tertentu.