Membeli sebagian besar saham berarti memiliki, dan itu artinya menyangkut uang ratusan juta dollar. Jika Manchester City dilega dengan harga Rp, 2,8 trilyun, dan Portsmouth ditebus dengan uang Rp. 986,7 milliar, maka Liverpool diperkirakan akan dialih-tangan dengan kisaran harga Rp5,15 triliun! Jumlah yang fantastis, dan jika terjadi, maka uang sebanyak itu bisa membayar utang-utang Indonesia yang tengah krisis.
Pertanyaannya: mengapa para penguasa dan pengusaha Arab itu gemar membeli klub-klub sepak bola dunia?
Salah satu yang menjadi kegemaran bagi bangsa Arab saat ini—setidaknya dalam dua decade belakangan ini—adalah sepak bola, baik memainkannya ataupun menontonnya. “Kegilaan” orang Arab terhadap sepak bola sudah sampai pada tingkat yang pribadi. Ketika Arab Saudi pertama kali lolos ke Piala Dunia 1998 di Prancis, semua pemainnya diberi hadiah mobil mewah oleh pemerintah Saudi. Plus, hadiah mewah lainnya kepada pemain yang berhasil menceploskan bola ke gawang lawan, peduli kalah ataupun tidak.
Stadion-stadion sepak bola di Arab selalu penuh oleh penonton. Dan mereka masing-masing mempunyai klub favorit. Jika Anda melihat video dari YouTube dan mencari potongan klip hasil pertandingan sepakbola Eropa yang direlay oleh stasiun televisi Arab, jangan heran jika si presenter pertandingannya bahkan sampai menyebut takbir “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” ketika para pemain bola yang jelas-jelas tidak beragama Islam membuat gol, seperti Ronaldinho, David Beckham, Zlatan Ibrahimovic dan sebagainya.
Jika pemain itu beragama Islam, maka rasa fanatisme mereka jangan ditanya lagi. Ada yang menggandrungi Zinedine Zidane sampai gelap mata karena Zidane seorang Muslim, berlepas pesepak bola Prancis itu beristrikan seorang Kristen, dan menamakan anaknya dengan Enzo dan Luca, dua nama yang sama sekali jauh dari Islam.
Pesepak bola negeri Barat dan Latin yang pernah top di Eropa, akan digaji selangit ketika memasuki usia udzur dan tak terpakai lagi klub-klub sepakbola manapun di Eropa, seperti Gabriel Batistuta misalnya. Pemain asal Argentina dan tenar di klub Seri A Italia, Fiorentina dan AS Roma, mungkin bisa menyetarakan penghasilannya selama 10 tahun di Italia dengan gaji satu tahun di negara Arab.
Dengan lingkungan yang seperti itu, tidak heran jika mereka orang Arab yang berduit melimpah bisa dengan mudahnya mengeluarkan uang ratusan juta dollar hanya untuk membeli kesenangan mereka akan sepak bola tersebut. Jika didasarkan pada keuntungan bisnis, rasanya kurang tepat. Saat ini, resesi ekonomi telah menampar semua sektor, termasuk sepak bola. Roman Abramovic, pengusaha asal Rusia sudah menderita rugi lebih dari Rp. 107 trilyun sejak membeli Chelsea enam tahun lalu. Itupun dengan prestasi Chelsea yang lumayan mentereng di tingkat liga setempat dan kejuaraan Eropa.
Dan ingat, semua klub sepak bola yang dijual itu merupakan klub yang tengah sekarat dalam segi finansial. Tak ada sejarahnya klub sepak bola yang untung dilepaskan begitu saja. Tercatat, hanya klub Manchester United (Inggris) saja yang terus-menerus mendulang emas setiap tahunnya. Dan itu dimiliki oleh orang Amerika.
Pangeran Faisal bin Fahd bin Abdullah mungkin bukan orang Arab terakhir yang membeli klub sepak bola Eropa. Mungkin aka nada banyak Sulaiman Al Fahiim dan Faisal bin Abdullah yang lainnya yang akan segera tampil, mengeluarkan uangnya yang demikian banyak. Sementara di Palestina, di Iraq, di Afghanistan, banyak anak-anak Muslim yang lebaran kemarin saja tidak bisa memiliki baju baru dan tidak punya sepatu untuk ke sekolah. (sa)