Oleh : Dudung Abdul Rohman
Sejatinya kekuasaan itu bukan tujuan, tetapi alat untuk mencapai tujuan. Namun dalam praktek perpolitikan di Negara kita, sepertinya kekuasaan itu menjadi tujuan utama. Sehingga semua daya dan upaya dikerahkan untuk mengejar dan mendapatkan kekuasaan. Bahkan ada beberapa oknum yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan; apakah dengan cara melakukan politik uang, menggunting dalam lipatan, mencela dan menghina lawan politiknya.
Model politik kotor tersebut dimungkinkan terjadi di Negara yang menganut sistem politik bebas dan terbuka. Orang-orang yang memiliki modal besar yang dapat memainkan dan memenangkan pertarungan politik. Sementara orang-orang yang hanya mengandalkan idealisme akan tergilas dan tergerus terbawa arus. Akhirnya tetap saja kekuasaan itu akan bersanding dengan kekayaan yang ujung-ujungnya bermuara pada jabatan yang menguntungkan segelintir orang.
Inilah realitas politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sekalipun Pemilu Legislatif yang Luber dan Jurdil sudah dilaksanakan pada 09 April 2009, tapi hasilnya tak jauh dari perkiraan, bahwa pemain dan pemenangnya hanya itu-itu saja, paling ditambah dengan pemain pengganti yang memiliki modal besar dan talenta yang dapat diandalkan. Sedangkan pemain yang lainnya hanya cukup turun ke arena sebagai penggembira dan kembali menjadi penonton yang setia.
Kalau kita mau jujur, sebenarnya politik itu syarat dengan kepentingan sesaat dan kesenangan dunia yang menggiurkan. Kalau istilah al-Qur’an kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelalaian, perhiasan dan bermegah-megahan. Bahkan kesenangan yang menipu. Ibarat tanaman yang baru disiram air hujan yang tumbuh subur dan mengagumkan para petani. Kemudian tiba-tiba mengering, menguning dan hancur dimakan usia dan hama. Bahkan boleh jadi kesenangan dunia yang sementara itu hanya akan mengundang siksaan di sisi Allah SWT kelak di akhirat – kecuali kalau dapat memanfaatkannya sebaik-baiknya. Allah SWT berfirman:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Katakanlah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu dan berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. Al-Hadiid [57]:20).
Supaya kita tidak terjebak pada sistem perpolitikan yang menyesatkan, maka kita harus mampu menjalankan sistem politik yang etis, bermoral dan mencerahkan. Nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan tetap menjadi acuan dan tujuan dengan kekuasaan sebagai instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi sebesar-besarnya masyarakat di bawah naungan ridha Ilahi. Bahkan idealnya kekuasaan dan jabatan itu menjadi ladang amal ibadah dan amal shaleh untuk mendapatkan keridhaan dan maghfirah di sisi Allah SWT kelak di akhirat. Dalam ayat selanjutnya Allah SWT berfirman:
سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QS. Al-Hadiid [57]:21).
Dengan demikian, kekuasaan dan kedudukan itu sesungguhnya adalah karunia dari Allah SWT yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sekalipun kita sudah berusaha mati-matian untuk mengejar dan memperoleh kekuasaan, tapi bila Allah tidak berkenan, maka nasib (bagian) kita akan sesuai dengan pemberian-Nya; dan itulah yang terbaik bagi kita menurut pandangan Allah SWT yang Maha Tahu segalanya. Itulah nasib yang sudah dijatah dan dibagi-bagi oleh Allah; dan nasib ini bukan hanya berlaku bagi manusia, tetapi juga bagi semua makhluknya dan sudah ditetapkan sejak zaman ajalinya dan tertulis di Lauh al-Mahfuuzh sebelum semua makhluk diciptakan. Allah SWT berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS. Al-Hadiid [57]:22).
Mengenai penafsiran ayat tersebut, diungkapkan dalam Kitab At-Tashiil, bahwa segala urusan semuanya sudah ditentukan di alam azali dan tertulis di Lauh al-Mahfuzh sebelum segalanya ada. Sebagaimana dikatakan dalam hadits, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan ketentuan-ketentuan segala sesuatu sebelum menciptakan langit dan bumi dalam jarak lima puluh ribu tahun” (At-Tashiil li’uluumit Tanziil, IV:99).
Kesadaran terhadap nasib ini perlu ditanamkan, karena berdasarkan hasil Pemilu kemarin banyak yang gagalnya daripada yang berhasilnya. Sehingga pemerintah pun mengantisipasinya dengan menambah fasilitas rumah sakit jiwa, kalau-kalau ada yang stres, depresi dan sakit mental gara-gara gagal dalam pencalonan.
Maka hikmah dari adanya nasib ini adalah supaya manusia tidak meratapi kegagalannya dan tidak congkak terhadap keberhasilannya. Inilah konsekwensi dari pertarungan, ada yang menang dan ada yang kalah; yang menang jangan bersikap berlebihan dan yang kalah jangan sampai jadi pecundang. Ibnu Abbas ra. berkata, “Tiada seorang pun kecuali dia akan merasakan sedih dan senang, akan tetapi orang yang beriman akan menerima musibah dengan sabar dan karunia dengan syukur”. Sebahagian ahli hikmah berkata, “Siapa yang mengetahui rahasia Allah dalam takdir, maka akan terasa ringan musibah yang dideritanya” (Tafsir al-Kabiir, 29/239). Ini merupakan penafsiran dari ayat berikut:
لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadiid [57]:23).
Akhirnya kita semua menyadari, bahwa manusia hanya bisa berencana, berusaha dan berdoa, pada ujungnya kembali pada ketentuan dan guratan nasib yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Dengan demikian, kekuasaan dan kedudukan bukan segalanya. Bahkan boleh jadi hal itu akan menjadi sumber kehinaan dan kehancuran apabila tidak amanah dalam menjalankannya. Maka selamat berjuang bagi yang berhasil mendapatkan kekuasaan, semoga amanah dalam menjalankannya. Juga jangan bersedih bagi yang belum mendapatkan kesempatan, masih banyak lapangan pekerjaan yang dapat menjadi ladang amal ibadah dan amal shaleh sepanjang kita mau melakoninya.
Wallaahu A’lam Bish-Shawaab.