Loading...

16 November 2009

FatahKun

Al Quran Sebagai Wawasan Peradaban

Oleh: Yusuf Burhanudin
Alumnus Universitas Al Azhar Mesir, Kabid Hubluneg PP Pemuda Persis.


Al-Quran bukan teks statis. Al-Quran pedoman dinamis karena kebenarannya bersifat mutlak; melintasi batas waktu (trans-historis) dan sekat geografis. Fakta mukjizat teks Al-Quran tidak bisa dirubah, menjadikan ketahanan kebenaran isinya sepanjang masa.

Beberapa kali kaum orientalis berusaha memapankan studi kritik Al-Quran, selalu nihil. Ignaz Goldziher, Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, dan Arthur Jeffery termasuk di antara beberapa nama orientalis yang gagal mengecoh kebenaran Al-Quran.

Sulit sekali melakukan tahrif (menambah/mengurangi huruf) atau tabdil (merubah makna dan sasaran) Al-Quran yang teriwayatkan mutawatir. Allah SWT berfirman, “Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah,” (QS. Yunus (10): 64). Jangankan kesalahan kalimat atau kata, keliru huruf dan harakah (bunyi huruf) saja akan kelihatan.

Kesungguhan para sahabat memelihara autentisitas dan orisinalitas Al-Quran terlihat dari metodologi riwayat dan isnad. Keduanya termasuk peninggalan luhur mereka dalam melestarikan teks Al-Quran. Riwayat adalah proses transmisi berita dari perawi terakhir sampai Rasulullah SAW.

Sedangkan isnad, jalan berita dari seorang rawi (pembawa berita) hingga Rasulullah SAW (mu’an’an). Belum lagi jumlah para penghapal Al-Quran (hafizh fi al sudur) yang tidak terhitung, turut menjaga teks Kitab Suci. Sungguh benar janji Allah, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan Kami benar-benar memeliharanya,” (QS. Al Hijr (15): 9).

Khazanah

Bahasa Arab sebagai bahasa paling tua di dunia, merupakan khazanah tak ternilai bagi umat Islam. Tentu saja, belajar bahasa Arab tidak serta menjadi bangsa Arab sekaligus. Ia hanyalah salah satu alat transformasi Al-Quran dalam menyampaikan nilai-nilai Islam.

Bahasa Arab juga dikenal unik dan kompleks. Selain mengajarkan huruf-huruf hijaiyyah, juga bunyi dengung, harakah (vokal atau konsonan huruf hijai; fathah, dlammah, kasrah, dan sukun), predikat suatu kalimat yang menentukan makna subjek (fa’il), predikat (fi’il), kata benda (ism), keterangan (maf’ul), perubahan huruf dari tiga sampai delapan (tashrif). Ada lagi kaidah sastra seperti ilmu Balaghah, Ma’ani, Badi’, dan Bayan. Semua ilmu itu terangkum dalam Ulumul Qur’an.

Inilah kemukjizatan Al-Quran yang disinggung Gamal Al Banna (2003) sebagai unsur kekekalan yang mengiringi sejarah kemanusiaan universal. Sebuah kitab atau bacaan, memungkinkan setiap generasi menelaah, menemukan inspirasi, kerahmatan, dan juga pengetahuan (baca: peradaban). Persinggungan Al-Quran dengan ragam zaman dan sejarah kemanusiaan, bukti Al-Quran mengandung wawasan peradaban selain risalah kebenaran.

Al-Quran hendak mengarahkan pembacanya pada peradaban Tauhid, di mana perilaku manusia melandaskan diri pada prinsip keesaan Tuhan namun tanpa mengabaikan kepentingan kemanusiaa. Sebuah wawasan peradaban–meminjam istilah Kuntowijoyo—humanisme teosentris.

Fakta sejarah peradaban manusia selalu mengalami pergeseran dan pergantian di satu sisi, dan kelanggengan peradaban Al-Quran dalam sejarah umat manusia di lain pihak, seharusnya memantapkan umat Islam guna melanjutkan gerak peradaban Qurani. Apalagi di saat peradaban lain cenderung memfaktakan realitas keadaban yang anti-kemanusiaan universal dan juga menghalangi laju perdamaian dunia, kehadiran peradaban Al-Quran kian teruji dan terus tertantang menjadi alternatif solusi.

Peradaban Qurani

Al-Quran merupakan petunjuk hidup yang mencakup akidah (spirit), ibadah (ritus), mu’amalah (sosial), dan syari’ah (hukum). Al-Quran menegaskan sifat yang melekat di dalamnya sebagai transformatif; membawa misi perubahan yang mengeluarkan manusia dari sistem kegelapan (sektor hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya) kepada benderang cahaya (demi kebahagiaan dan kesentosaan hidup di dunia dan akhirat).

Ada tiga alasan penting kenapa perlu melacak wawasan Al-Quran dalam merumuskan peradaban Islam. Pertama, kemandirian struktur ilmu pengetahuan yang dibangun atas dasar pandangan hidup Islam. Kedua, tantangan modernitas dan globalisasi di mana penegasan identitas diri secara komprehensif begitu dominan.

Ketiga, adanya sentimen ideologis yang bukan sekedar konflik atau benturan peradaban yang bersifat ekonomis-politis-ideologis (konspiratif), melainkan karena perbedaan kultural murni yang secara tradisional ditunjukkan oleh fakta perbedaan bahasa, sejarah, nilai, adat istiadat, dan yang paling penting adalah agama.

Terorisme 11/9 di New York tahun silam, bukti peradaban –atau minimalnya persepsi dalam istilah Peter Berger—tengah dibenturkan satu sama lain. Eksposisi Huntington, sebenarnya deklarasi perang pemikiran (ghazwul fikr) yang bukan hanya prediksi masa depan buram tapi juga sekaligus gambaran sejarah masa kini dan silam. Ia bukan asumsi spekulatif tapi realitas yang bisa diterima (Hamid FZ: 2006).

Silaturahim global

Musim haji merupakan momentum yang tepat guna merestorasikan kembali kesadaran berkeadaban umat Islam secara global. Kesadaran ini bukan sikap opensif untuk kontra-peradaban dengan peradaban lain. Melainkan upaya defensif yang merefleksikan sikap introspeksi ke dalam terutama berkaitan dengan nasib dunia Islam saat ini mulai dari soal kelaparan, kemiskinan, dan pendidikan. Dalam hubungan luar negeri, umat Islam perlu berpartisipasi menyoal kerjasama antarnegara, kekompakan, serta perdamaian dunia.

Inilah kesempatan dan peluang utama di mana umat Islam dari berbagai penjuru dunia datang ke tempat suci Mekkah dan Madinah (haramain; dua tempat suci yang menjadi simbol keseimbangan dunia/akhirat, QS.2: 201) tiada lain panggilan jihad sosial.

Apa artinya ibadah haji ke Mekkah dalam seruan global jika implikasinya hanya kembali pada kepentingan sendiri. Inilah kenapa Al-Quran menyinggung ibadah haji memiliki fadhilah/keutamaan (QS.2: 198). Salah satunya kepentingan ekonomi maupun politik.

Menurut Prof. Dr. Muhammad Husaini Ghazali, Guru Besar Filsafat Universitas Al Azhar Mesir, di antara tantangan umat Islam saat ini ialah mudahnya umat terasuki cara pandang Barat. Hal itu terjadi diakibatkan lemahnya motivasi keagamaan, rendahnya wawasan keislaman, silau oleh peradaban Barat kemudian mengadopsinya tanpa sikap kritis.

Selain itu, upaya menyamakan problem Al-Quran dengan Bibel (bermasalah dari segi orisinalitas dan autentisitas teks), keterjajahan, serta mengidentifikasi dan mendramatisasi peradaban Islam sebagai mundur dan peradaban Barat maju (Al Tayyarat Al Fikriyyah Al Mu’ashirah: 2006).

Hemat penulis, terdapat tiga upaya penting yang harus ditempuh guna merumuskan kembali kedigdayaan peradaban Al-Quran. Pertama, mengenal penyakit umat. Kedua, normalisasi penyakit. Ketiga, implementasi doktrin. Setelah mempurifikasi ragam anasir peradaban sekular (buatan manusia), umat akan cenderung mudah menerima peradaban Al-Quran secara murni, utuh, dan konsekuen.

Bangunan peradaban mesti dilandaskan pada pandangan hidup eksklusif –karena memiliki struktur konseptualnya sendiri—dan karenanya memiliki implikasi keadaban berbeda satu sama lainnya. Demikian presumsi (baca: mukaddimah pemikiran) yang melandasi perlunya umat Islam merenung kembali mentransformasikan peradaban Al-Quran saat ini.***