Sampai sehari menjelang pernikahan, segala yang Indah selalu kubayangkan tentang hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri. Ijab kabul pun menjadi ritual yang sangat kunanti. Akhirnya hari yang sakral dan indah pernikahanku segera kulalui dengan penuh suka cita. Malam pertama yang sudah lama kurindukan kulalui. Bahagia sekali rasanya hati ini melalui malam penuh cahaya kegembiraan di wajah kami berdua.
Satu minggu, dua minggu; satu bulan dua bulan, kesenangan dan kebahagiaan masih kurasakan. Aku benar-benar merasa menyesal kenapa tidak sejak dulu saja aku putuskan untuk menikah. Namun, setelah beberapa bulan pernikahan itu ku lalui, lambat laun apa yang aku rasakan saat awal menikah mulai terkikis. Masalah demi masalah segera muncul di depan mata.
Masalah pertama justru soal pasanganku. Sebelum menikah tentu aku tidak tahu sepenuhnya bagaimana fisik dan perangai istriku yang sesungguhnya. Sebelum menikah semuanya ternyata lebih banyak yang disembunyikan dan dikamuflase. Bahkan karena rasa suka kepada calon istriku dulu, kekurangan-kekurangan yang dimilikinya kuanggap tidak masalah dan bisa diperbaiki nanti setelah menikah.
Setelah beberapa bulan memasuki usia pernikahan, ternyata masalah-masalah kecil yang dulu kuanggap tidak masalah justru menjadi sangat mengganggu pikiranku. Kecantikan istriku yang dulu aku kagumi, setelah beberapa bulan menikah menjadi sesuatu yang hambar dan biasa-biasa saja. Pesonanya seolah-olah semakin memudar. Apalagi semakin kelihatan kebiasaan-kebiasaan buruk istriku. Jujur saja aku sangat terganggu dengan banyak tingkahnya yang aku anggap aneh.
Sekali dua kali aku mencoba sabar atas tingkahnya. Tapi lama kelamaan kesal juga. Aku tegur istriku soal kelakuannya itu. Sekali ia menurut. Tapi kelihatannya bukan perkara mudah mengubah perilaku yang sudah menjadi kebiasaan dan terbentuk lama. Aku pun seringkali naik pitam kalau melihat tingkah istriku yang sebetulnya hanya tidak sreg saja dengan yang aku inginkan. Kalau sudah naik pitam, rasanya tangan ini begitu ringan untuk segera dihujamkan pipi atau bagian tubuh mana saja dari istriku.
Kelihatannya buka aku saja yang kesal. Istriku pun rupanya punya batas kesabaran. Memang istriku bukan tipe yang suka meladeni kemarahan suaminya. Ia lebih banyak diam. Tapi kelihatannya dalam diam itu ia menyimpan marah juga atas tindakanku. Kadang ekspresinya ditumpahkan dalam air mata. Kalau sudah begitu berjam-jam ia memilih untuk mengurung diri di kamar. Kadang aku kasihan, tapi egoku mengatakan bahwa “aku yang benar dan kelakuan istriku itu salah.”
Ada lagi yang semakin membuat egoku meninggi. Aku selalu curhat ke orang yang kelihatannya tidak tepat. Kawan curhatku rupanya bukan orang yang bijak. Ia malah mendukung sikapku dan mengatakan bahwa istriku memang belum layak menjadi istri yang baik. Anehnya, ia malah menawarkan kepadaku wanita lain yang menurutnya lebih layak.
Semula aku tersanjung bahwa aku memang benar, istriku salah dan tidak berharga. Tapi lama kelamaan aku berpikir lagi apa benar kesalahan itu selalu ada pada istriku. Kelihatannya, ia selalu berusaha untuk mengikuti kata-kataku. Bahkan, saat orang tuanya (mertuaku) memintanya pulang karena kangen dan aku melarangnya, ia mau mengikuti kata-kataku. Apa yang aku minta pun selalu diturutinya. Tapi kenapa selalu saja setiap kali ada sedikit kesalahan yang dilakukan istriku rasa marahku memuncak? Mulut dan tanganku tak bisa kukendalikan untuk segera memarahi atau bahkan memukulnya.
Aku mulai berpikir jangan-jangan justru bukan karena kebiasaan istriku yang aku anggap buruk yang membuatku menjadi selalu terganggu. Bukankah sejak awal menikah pun aku sudah mulai tahu kebiasaan-kebiasaan istriku yang kuanggap buruk itu. Tapi kenapa di awal pernikahan aku lebih mudah memaafkannya, tapi setelah beberapa waktu pernikahan berlalu aku menjadi sulit sekali menerima istriku apa adanya.
Saat istriku terlelap, kutatap wajahnya. Tidak ada segaris pun wajah seorang istri pembangkang di wajahnya. Garis-garis wajahnya tulus dan polos. Kenyataan sehari-hari pun begitu. Istriku sebetulnya wanita yang taat dan penurut. Kalau aku bilang jangan keluar rumah, seharian ia bisa hanya duduk di depan tivi. Sesekali bosan, rumah yang sudah rapi diulanginya untuk dibersihkan. Ke manapun ia akan pergi, sebelum ada izin dariku, ia tidak pernah mau melangkahkan kakinya keluar rumah.
Ia pun bukan tipe istri yang banyak permintaan. Tidak pernah istriku mengeluh karena makanan yang apa adanya. Kontrakan petak sederhana yang kami huni pun tidak pernah disesalinya. Ia tidak pernah menuntut macam-macam yang membuat pikiranku selalu terbebani. Pendek kata, sebetulnya istriku ini perangainya amat baik.
Ahh..ternyata, kalau aku pikirkan segala kebaikannya, segala cela istriku mendadak sirna dalam pikiranku. Di sela-sela hatiku terselip kembali kerinduan padanya, kerinduan yang sudah lama tidak aku rasakan. Aku memang picik. Kenapa harus selalu kesalahan dan kekurangannya yang aku ingat-ingat. Aku juga sangat menyesal menceritakannya pada orang lain sampai-sampai aku dipanas-panasi untuk meninggalkannya dan berpaling ke wanita lain.
Aku sadar sekarang bahwa kebahagiaan, termasuk dalam berumah tangga, tidak terletak pada kesempurnaan apa yang kita dapatkan. Bukan pada rumah dan kendaraan yang mewah, istri yang cantik-sempurna bak bidadari, makanan yang lezat-lezat setiap hari atau yang semisalnya. Kebahagiaan ternyata bermula dari sikap qona’ah (nrimo), menerima apa adanya segala yang sudah Allah berikan padaku.
Aku jadi ingat kembali kata-kata Allah, “Jika kamu syukuri (nikmat-Ku), pasti akan aku tambah nikmatku itu.” Bukankah kunci pertama untuk mensyukuri nikmat itu adalah menerima apa adanya yang kita terima dari Allah Swt.? Bukankah istriku yang cantik itu adalah pemberian Allah Swt. untukku? Kenapa aku selalu saja merasa tidak ada yang sempurna dalam diri istriku hingga membuat kenikmatan menjalani rumah tangga sirna?
Ya Allah…ampunilah aku yang sudah khilaf. Bukan… bukan karena istriku aku tersiksa, tapi karena diriku sendiri yang tidak mau mensyukuri apa yang Engkau anugerahkan padaku. Seandainya aku mau menerima apa adanya yang Engkau berikan, niscaya kenikmatan dan kebahagiaan berumah tangga itu akan segera engkau limpahkan padaku. Senang, rindu, dan bahagian akan segera aku rengkuh segara. Ukankah bahagia itu juga milik-Mu? Tentu kehendakMu-lah yang menentukan siapa yang akan mendapatkannya. Aku ingin segera menjadi orang yang mendapatkan limpahan nikmat dan bahagia dari-Mu.
Dari tempat kerja buru-buru aku ingin segera pulang. Tidak sabar rasanya ingin meminta maaf pada istri cantikku. Aku ingin memulai lagi lembaran baru hidup bersamanya. Akan aku terima segala kekurangannya sepanjang itu bukan sesuatu yang melanggar aturan-Nya. Kalau itu kesalahan terhadap Allah Swt., aku akan menasihatinya dengan bijak. Ya..Allah, maafkan segala khilaf dan salahku selama ini pada istriku. Amin Ya Rabbal Alamin
Satu minggu, dua minggu; satu bulan dua bulan, kesenangan dan kebahagiaan masih kurasakan. Aku benar-benar merasa menyesal kenapa tidak sejak dulu saja aku putuskan untuk menikah. Namun, setelah beberapa bulan pernikahan itu ku lalui, lambat laun apa yang aku rasakan saat awal menikah mulai terkikis. Masalah demi masalah segera muncul di depan mata.
Masalah pertama justru soal pasanganku. Sebelum menikah tentu aku tidak tahu sepenuhnya bagaimana fisik dan perangai istriku yang sesungguhnya. Sebelum menikah semuanya ternyata lebih banyak yang disembunyikan dan dikamuflase. Bahkan karena rasa suka kepada calon istriku dulu, kekurangan-kekurangan yang dimilikinya kuanggap tidak masalah dan bisa diperbaiki nanti setelah menikah.
Setelah beberapa bulan memasuki usia pernikahan, ternyata masalah-masalah kecil yang dulu kuanggap tidak masalah justru menjadi sangat mengganggu pikiranku. Kecantikan istriku yang dulu aku kagumi, setelah beberapa bulan menikah menjadi sesuatu yang hambar dan biasa-biasa saja. Pesonanya seolah-olah semakin memudar. Apalagi semakin kelihatan kebiasaan-kebiasaan buruk istriku. Jujur saja aku sangat terganggu dengan banyak tingkahnya yang aku anggap aneh.
Sekali dua kali aku mencoba sabar atas tingkahnya. Tapi lama kelamaan kesal juga. Aku tegur istriku soal kelakuannya itu. Sekali ia menurut. Tapi kelihatannya bukan perkara mudah mengubah perilaku yang sudah menjadi kebiasaan dan terbentuk lama. Aku pun seringkali naik pitam kalau melihat tingkah istriku yang sebetulnya hanya tidak sreg saja dengan yang aku inginkan. Kalau sudah naik pitam, rasanya tangan ini begitu ringan untuk segera dihujamkan pipi atau bagian tubuh mana saja dari istriku.
Kelihatannya buka aku saja yang kesal. Istriku pun rupanya punya batas kesabaran. Memang istriku bukan tipe yang suka meladeni kemarahan suaminya. Ia lebih banyak diam. Tapi kelihatannya dalam diam itu ia menyimpan marah juga atas tindakanku. Kadang ekspresinya ditumpahkan dalam air mata. Kalau sudah begitu berjam-jam ia memilih untuk mengurung diri di kamar. Kadang aku kasihan, tapi egoku mengatakan bahwa “aku yang benar dan kelakuan istriku itu salah.”
Ada lagi yang semakin membuat egoku meninggi. Aku selalu curhat ke orang yang kelihatannya tidak tepat. Kawan curhatku rupanya bukan orang yang bijak. Ia malah mendukung sikapku dan mengatakan bahwa istriku memang belum layak menjadi istri yang baik. Anehnya, ia malah menawarkan kepadaku wanita lain yang menurutnya lebih layak.
Semula aku tersanjung bahwa aku memang benar, istriku salah dan tidak berharga. Tapi lama kelamaan aku berpikir lagi apa benar kesalahan itu selalu ada pada istriku. Kelihatannya, ia selalu berusaha untuk mengikuti kata-kataku. Bahkan, saat orang tuanya (mertuaku) memintanya pulang karena kangen dan aku melarangnya, ia mau mengikuti kata-kataku. Apa yang aku minta pun selalu diturutinya. Tapi kenapa selalu saja setiap kali ada sedikit kesalahan yang dilakukan istriku rasa marahku memuncak? Mulut dan tanganku tak bisa kukendalikan untuk segera memarahi atau bahkan memukulnya.
Aku mulai berpikir jangan-jangan justru bukan karena kebiasaan istriku yang aku anggap buruk yang membuatku menjadi selalu terganggu. Bukankah sejak awal menikah pun aku sudah mulai tahu kebiasaan-kebiasaan istriku yang kuanggap buruk itu. Tapi kenapa di awal pernikahan aku lebih mudah memaafkannya, tapi setelah beberapa waktu pernikahan berlalu aku menjadi sulit sekali menerima istriku apa adanya.
Saat istriku terlelap, kutatap wajahnya. Tidak ada segaris pun wajah seorang istri pembangkang di wajahnya. Garis-garis wajahnya tulus dan polos. Kenyataan sehari-hari pun begitu. Istriku sebetulnya wanita yang taat dan penurut. Kalau aku bilang jangan keluar rumah, seharian ia bisa hanya duduk di depan tivi. Sesekali bosan, rumah yang sudah rapi diulanginya untuk dibersihkan. Ke manapun ia akan pergi, sebelum ada izin dariku, ia tidak pernah mau melangkahkan kakinya keluar rumah.
Ia pun bukan tipe istri yang banyak permintaan. Tidak pernah istriku mengeluh karena makanan yang apa adanya. Kontrakan petak sederhana yang kami huni pun tidak pernah disesalinya. Ia tidak pernah menuntut macam-macam yang membuat pikiranku selalu terbebani. Pendek kata, sebetulnya istriku ini perangainya amat baik.
Ahh..ternyata, kalau aku pikirkan segala kebaikannya, segala cela istriku mendadak sirna dalam pikiranku. Di sela-sela hatiku terselip kembali kerinduan padanya, kerinduan yang sudah lama tidak aku rasakan. Aku memang picik. Kenapa harus selalu kesalahan dan kekurangannya yang aku ingat-ingat. Aku juga sangat menyesal menceritakannya pada orang lain sampai-sampai aku dipanas-panasi untuk meninggalkannya dan berpaling ke wanita lain.
Aku sadar sekarang bahwa kebahagiaan, termasuk dalam berumah tangga, tidak terletak pada kesempurnaan apa yang kita dapatkan. Bukan pada rumah dan kendaraan yang mewah, istri yang cantik-sempurna bak bidadari, makanan yang lezat-lezat setiap hari atau yang semisalnya. Kebahagiaan ternyata bermula dari sikap qona’ah (nrimo), menerima apa adanya segala yang sudah Allah berikan padaku.
Aku jadi ingat kembali kata-kata Allah, “Jika kamu syukuri (nikmat-Ku), pasti akan aku tambah nikmatku itu.” Bukankah kunci pertama untuk mensyukuri nikmat itu adalah menerima apa adanya yang kita terima dari Allah Swt.? Bukankah istriku yang cantik itu adalah pemberian Allah Swt. untukku? Kenapa aku selalu saja merasa tidak ada yang sempurna dalam diri istriku hingga membuat kenikmatan menjalani rumah tangga sirna?
Ya Allah…ampunilah aku yang sudah khilaf. Bukan… bukan karena istriku aku tersiksa, tapi karena diriku sendiri yang tidak mau mensyukuri apa yang Engkau anugerahkan padaku. Seandainya aku mau menerima apa adanya yang Engkau berikan, niscaya kenikmatan dan kebahagiaan berumah tangga itu akan segera engkau limpahkan padaku. Senang, rindu, dan bahagian akan segera aku rengkuh segara. Ukankah bahagia itu juga milik-Mu? Tentu kehendakMu-lah yang menentukan siapa yang akan mendapatkannya. Aku ingin segera menjadi orang yang mendapatkan limpahan nikmat dan bahagia dari-Mu.
Dari tempat kerja buru-buru aku ingin segera pulang. Tidak sabar rasanya ingin meminta maaf pada istri cantikku. Aku ingin memulai lagi lembaran baru hidup bersamanya. Akan aku terima segala kekurangannya sepanjang itu bukan sesuatu yang melanggar aturan-Nya. Kalau itu kesalahan terhadap Allah Swt., aku akan menasihatinya dengan bijak. Ya..Allah, maafkan segala khilaf dan salahku selama ini pada istriku. Amin Ya Rabbal Alamin
Sumber : Persis.or.id